Mohon tunggu...
Iman Suwongso
Iman Suwongso Mohon Tunggu... Penulis/Wartawan -

Ketika angin berhembus kutangkap jadi kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Fiksi Kuliner] Nasi Aron

6 Juni 2016   23:53 Diperbarui: 7 Juni 2016   00:01 272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Maaf Pak, tangannya penuh tepung.” Katanya. “Ini mau membikin nasi aron.”

Nasi aron? Pikirku. “Jadi ini tepung jagung putih?”

“Betul, Pak. Bapak sudah tahu jagung putih juga ya?” kata Bu Kepala Dusun.

“Haha... Dari membaca. Masih banyak jagung putih ya?”

Jagung putih merupakan tanaman jagung kas di pegunungan tengger. Salah satunya dipergunakan sebagai bahan untuk membuat nasi aron. Semula, aku bayangkan nasi aron itu seperti nasi jagung yang ada di Jawa. Nasi yang berasal dari gerusan biji jagung kemudian dicampur dengan beras dan ditanak. Tetapi, ternyata bahannya dibuat tepung dulu.

“Biji jagung ditumbuk dulu setengah halus, selanjutnya direndam dengan air tiga sampai empat hari, dan ditiriskan. Kalau sudah kering ditumbuk lagi dan diayak, hasilnya yang halus direbus. Besok kita masak nasi aron.” Kata perempuan berselempang sarung itu.

“Wah, boleh saya ikut makan Bu?”

“Lho, masak nasi aron ini kan memang untuk Bapak. Semua tamu yang datang harus dihormati. Penghormatan kami, tidak lain dengan penyajian nasi aron.” Kata Bu Kepala Dusun sunguh-sungguh.

Tiba-tiba aku merasa bukan menjadi peneliti disini, tetapi menjadi saudara dekat mereka. Aku merasa malu, karena beberapa waktu lalu aku masih merasa menjadi peneliti yang penting. Calon interogator narasumber, yang di dalam benakku hanya orang-orang desa.

Aku termenung di dalam kamar. Orang-orang desa ini begitu hangat. Mereka menyambut seakan-akan aku bukan orang lain. Aku rasa, aku harus segera menanggalkan kecongkakanku sebagai ilmuwan yang dipenuhi teori-teori dalam batok kepala.

Malam ini, aku tidak kemana-mana. Cukup di beranda dapur dengan api tungku penghangat. Berbicara ringan-ringan dengan Kepala Dusun dan istrinya. Aku mencoba melepaskan sekat-sekat yang terbangun cukup lama. Sambil tertawa-tawa, kadang menghayati kesedihan, membicarakan tentang gunung meletus, tanaman sayur, debu, air, dan kisah Roro Anteng dan Joko Tengger yang menjadi muasal nama Suku Tengger. Kami juga berbicara tentang nasi aron. Pembicaraan yang sampai terbawa dalam tidur. Dalam mimpi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun