Mohon tunggu...
Iman Suwongso
Iman Suwongso Mohon Tunggu... Penulis/Wartawan -

Ketika angin berhembus kutangkap jadi kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Menerkam Daging Segumpal

8 Mei 2016   21:26 Diperbarui: 8 Mei 2016   23:04 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: Rumah di Tepi Hutan I Dok.Pribadi

Kalau kamu mau menjadi pendamping Desa, dan lolos tes, dari mana pun asalmu, coba dengarlah ceritaku ini. Karena akan percuma Desa memiliki uang besar tapi masih ada warganya yang tidak berdaya, hidupnya terjepit, bahkan pada dirinya sendiri ia menipu. Mudah-mudahan kamu ditempatkan di kampung ini.

Kampung ini adalah bagian dari sebuah desa. Di kampung ini hanya berdiri lima rumah. Jaraknya saling berjauhan satu sama lainnya. Salah satu rumah yang tampak ada kehidupan berdiri paling ujung, dekat hutan. Kalau kamu menemukan kampung ini, kamu akan tahu rumah ini lebih tepat disebut gubug. Lantainya dari tanah, dindingnya dari bambu, dan gentingnya bukan genting pilihan yang jenisnya tidak satu macam. Dari kejauhan sudah pasti tampak tidak berdiri tegak dan megah melainkan reot dan hampir roboh.

Rumah itu dihuni seorang perempuan dan seorang anak laki-laki usianya sembilan tahun. Mereka ibu dan anak. Hidup berdua saja. Kalau kamu sempat mengamati seharian roda hidup mereka terasa sarat dan lambat. Kamu akan kerap menahan nafas, sambil bergumam, “Hidup yang tenggelam.”

Karenanya, tak ada rutinitas setiap pagi, seorang anak keluar pintu rumah berseragam sekolah, mencangklong tas, apa lagi bersepatu. Ada suatu cerita yang mungkin akan membuatmu menahan nafas:

Suatu siang Karto, anak sembilan tahun itu, duduk bersimpuh di lantai tanah makan nasi thiwul dan sebongkah daging goreng yang sedikit menghitam. Ia makan dengan lahap. Memang ia hampir tidak pernah makan dengan lauk daging. Dan daging itu dia cuil sedikit demi sedikit. Kalau nanti thiwul-nya sudah habis dia akan menutup makannya dengan daging itu. Dia ingin merasakan gurihnya.

Namun sebelum thiwul’ Karto habis, seekor kucing melompat dari kolong meja. Kucing itu dengan tangkas menyambar daging di piring Karto. Seketika anak laki-laki yang tak pernah memakai baju ini meraung. Suaranya mengeluarkan sisa-sisa tenaganya. Tulang-tulang iganya semakin menonjol hendak mencuat dari kulitnya yang tipis. Kucing yang sama kurusnya dengan dia terkejut hingga daging curiannya lepas dari mulutnya.

Karto menerjang dan berhasil merampas kembali dagingnya. Kucing itu betul-betul tidak punya rasa takut. Binatang ini berbalik melompat dan menerkam genggaman Karto. Taringnya menancap pada daging di genggamannya. Kebuasan kucing ini seperti sedang mendapatkan seekor tikus yang telah ditunggunya sejak lama. Dan Karto masih membayangkan kelezatan daging itu.

Karto sampai mengeluarkan tenaga penuh untuk mempertahankannya. Kucing kurapan itu pun tak bersedia melepaskan gigitannya. Mereka bergumul. Karto memukulkan genggamannya ke punggung kucing. Hanya geraman yang keluar dari tenggorokan kucing, sambil kakinya mencakar lengan Karto. Kuku-kunya menacap menggores lengan Karto sampai lecet. Karto kesakitan. Meraung. Dan mengibaskan kucing itu. Si kucing terpental. Namun, gigi-giginya masih mencengkeram daging milik Karto. Dengan beberapa kali lompatan kucing beruntung ini menelusup di pagar perdu.

***

Karto pasti tidak ingat, pada usia berapa makan daging untuk terakhir kalinya. Mungkin tiga atau empat tahun lalu. Kala itu bapaknya belum terenggut TBC akut. Karimin nama bapaknya, mendapat pekerjaan untuk memulai mengerjakan ladang di desa seberang. Pekerjaannya memang tidak jelas, namun kerap kali menjadi buruh tani. Saat memulai membuka ladangnya, petani pemilik ladang menyelenggarakan selamatan. Karimin mendapat bagian sedekah nasi tumpeng dan seiris daging sayap ayam. Sedekah itu ia bungkus daun jati, dibawa pulang untuk Karto.

Tidak setiap hari Karimin dapat memberi uang istrinya untuk membeli beras. Tidak banyak pekerjaan yang dia peroleh. Kalau ada kadang TBC-nya mulai menyerang. Pernah ia paksakan untuk ikut mencangkul di kebun tebu milik Haji Sis yang jarak dari rumahnya dua kilometer. Semalam batuknya sudah menggelisahkannya. Dia kuatkan semangatnya untuk membolak-balik tanah sejengkal demi sejengkal. Namun, belum dapat satu lajur batuknya menggigil, tubuhnya mengucur deras keringat dingin, matanya berkunang-kunang dan tubuhnya ambruk.

Haji Sis bilang, “Kalau sakit jangan kerja dulu Kang Imin.”

Karimin amat malu. Dia mengatakan kepada istrinya, “Kita memang miskin, tapi jangan merepotkan orang lain.”

Suminah, istri Karimin menggenggam amanat suaminya. Hingga Karimin meninggal, perempuan kurus yang tertular TBC suaminya ini tak pernah mengeluh kepada tetangga atau saudaranya yang tinggal jauh di luar daerah.

Diapun lebih jarang mendapat pekerjaan seperti suaminya. Tenaganya tentu lebih lemah dari laki-laki yang menikahinya lima belas tahun lalu. Kalau ia ikut menjadi buruh tani di Haji Sis takut pekerjannya tidak memuaskan. Akhirnya, sehari-hari Suminah mencari kayu bakar. Dia menjual ke warung nasi di perempatan dekat pangkalan ojeg tiga hari sekali. Pagi berangkat, siang baru sampai di rumah lagi, membawa hasil jualan kayu bakar yang tidak semahal harga beras seliter.

Pergi ke kota menjadi babu tak pernah ada dalam pikirannya. Mana ada juragan yang mau dengan tubuh kurus tenaganya lemah dan berpenyakitan?

***

Hari itu Suminah akan membuatkan Karto daging goreng lagi. Kemarin sudah berjanji kepada anak semata wayangnya ini untuk mengganti daging goreng yang direbut kucing. Dia akan membuatkan agak banyak. Siapa tahu kucing kelaparan itu merebut kembali daging yang akan dimakan Karto.

Suminah meletakkan bungkusan pelastik hitam di kursi bambu dekil dekat tungku. Parutan kelapa yang ia temukan di pinggir jalan kemarin sudah mendidih di atas api tunggku. Minyaknya sudah keluar. Sebentar lagi akan dia gunakan untuk menggoreng daging dalam pelastik hitam itu.

Suminah hari itu ingin melihat anaknya bersuka cita makan nasi ‘thiwul’ dengan daging goreng.

Ketika Karto masuk ke dapur Suminah sedang mengambil kayu bakar di belakang rumah. Kucing yang sudah mencengkeram bungkusan pelastik hitam terkejut mendengar suara Karto. Cakar kucing itu merobek pelastik hitam. Isinya berhamburan. Ada segumpal yang berlompatan dari tas plastik hitam. Kucing itu mengejar dan menerkamnya.

“Mak! Ada tikus dalam plastik.” Teriak Karto.

Perempuan itu batuknya tersengal-sengal. Dia menubruk Karto dan memeluknya. Suminah membujuk Karto seolah melarangnya melihat daging dalam pelastik hitam itu.

“Tapi aku calon pendamping Desa.” Katamu, yang kamu simpan dalam benakmu.

Negara tak akan rugi mengontrakmu, kalau kamu ikut menyelesaikan masalah semacam itu. Dan hidupmu akan lebih mulia.***

Disunting dari cerpen Daging Goreng, versi cetak dalam Kumpulan Cerpen: Pledoi, terbitan Mozaik Book, 2009.

Djoglo Pandanlandung Malang
2009/2016
iman.suwongso@yahoo.co.id

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun