Mohon tunggu...
Iman Suwongso
Iman Suwongso Mohon Tunggu... Penulis/Wartawan -

Ketika angin berhembus kutangkap jadi kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Iblis Penguasa Hutan Jati

29 April 2016   09:15 Diperbarui: 29 April 2016   10:37 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Culas pergi meninggalkan segumpal batu dalam pikiranku. Menggelisahkan aku sepanjang malam. Mengapa juga memikirkan iblis? Tapi tidak, teman tidak mengenal bangsa...

Esok siang, aku pergi ke hutan Jati. Tidak mencari renceklagi, hanya menengok Culas. Dari ujung desa aku mendengar suara mesin yang ramai di hutan sana. Apa lagi ini?

Di perbatasan desa dan hutan Jati, persis di titik dulu Culas mengantarku sehabis mencari rencek, aku berhenti sejenak. Dari tempat ini, dari sela-sela pohon yang berdiri, aku menyaksikan pohon-pohon bertumbangan. Suara mesin senso mengiang mengusir suara merdu burung-burung. Ada dua begho dan dua buldoser parkir di tanah lapang. Uh! Hutan ini segera rata!

Pikiranku segera ke Culas. Betul! Di pohon jati besar aku tidak menemukan Culas lagi. Kerabatnya juga tak aku temukan jejaknya. Aku segera ke jurang yang kemarin diceritakan Culas. Aku tahu dimana letak jurang itu. Aku telusuri bibirnya.

Di dekat rumpun bambu aku temuka Culas. Ia merintih. Rintihnya berkejaran dengan suara mesin gergaji. Tubuhnya memar. Kaki mengangkang, tangannya merentang. Katanya, sepulang dari tempatku ia kepergok tiga manusia yang pernah melemparkannya. Lantas ia diikat, diseret dan dipasak di tebing ini.

“Aku tak bisa kemana-mana, hanya di sini. Pohon-pohon tempatku berayun telah lenyap, tak akan ada lagi rencekyang bisa dipungut anak-anak.”

Pada semburat merah senja aku memandang wajah Culas. Tebayang kisah  leluhurku, “Iblis yang menguasai hutan Jati itu.”

Aku tidak terisak, air mataku meleleh di pipi jatuh berkilap di ujung ibu jari kakiku.

            ***

Djoglo Pandanlandung Malang,
 2003/2016
 iman.suwongso@yahoo.co

  • diothak-athik-gathuk = logika khas masyarakat desa
  • yup-yupan = tempat berteduh
  • linuwih = memiliki ilmu gaib
  • meneng =berdiam diri, konsentarsi, meditasi
  • Yen dulur ojo nggoda, yen musuh tak depi saiki = kalau saudara jangan menggoda, kalau musuh aku hadapi sekarang
  • seda = mati
  • rencek= ranting
  • nylonong = masuk tanpa permisi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun