Wangsa, kamu harus mengerti, sebuah peristiwa itu bisa menimbulkan kebiasaan-kebiasaan karena dimaklumi, kebiasaan-kebiasaan itu kemudian menjadi hukum yang mengikat untuk semua orang.
Negeri ini, yang kemudian terkenal seantero jagat raya menjadi Negeri Maling, akhirnya memiliki tata peraturan tentang permalingan. Isi aturanya tidak mengatur bahwa mencuri, merampok, menggarong, ngutil, itu merupakan perbuatan kriminal, seperti peraturan di negeri-negeri baik itu. Tidak begitu!
Karena peraturan, seluruh penghuni negeri ini harus mengikuti. Setiap orang harus menjadi pencuri. Karena mencuri itu kewajiban. Kalau tidak melakukan ada hukumannya. Tapi, orang boleh melakukan kegiatan lain, misalnya datang ke tempat ibadah, membantu orang lain, bekerja, dan kegiatan apapun yang biasa mereka lakukan.
Aturannya juga dipahami, bahwa hukum mencuri itu, lebih besar yang dicuri semakin baik. Mencuri sandal di tempat ibadah itu pekerjaan apalah, terlalu kecil, hanya akan jadi bahan cemooh dan bulan-bulanan. Maka berlomba-lombalah mereka mencuri yang besar.
Hukum mencuri yang juga harus mereka perhatikan adalah bagaimana mencuri itu tidak tertangkap. Seandainya pun tertangkap bagaimana dia bisa mempengaruhi banyak pihak agar tidak masuk penjara. Kalau mencuri kemudian tertangkap, kemudian masuk penjara, ini seburuk-buruk warga negeri. Bagaikan kena kutukan cacar yang menahun.
Bagi masyarakat umum, mencuri tidak tertangkap atau pun tertangkap tidak bisa dipenjarakan, akan mengundang decak yang berbeda, keduanya menorehkan kesan yang nilainya berbeda di benak tiap orang.
Wangsa, di negeri ini mencuri menjadi hal biasa dan terbuka. Pencuri yang cerita hasil pencurian sambil tertawa-tawa di tengah plesiran mereka menjadi kebanggaan.
Apa, Wangsa? Apakah ada warga yang tidak mau mencuri? Ada nak, cukup banyak. Tapi mereka tersakiti. Memilih membayar denda. Tersakiti batinnya.
Dimana negeri itu, Mak? Tanya Wangsa sambil menguap.
Disana nak, nun jauh disana. Kamu jangan pernah kesana, sekalipun dalam mimpi. Selamat tidur nak.
Â