Mohon tunggu...
Iman Suwongso
Iman Suwongso Mohon Tunggu... Penulis/Wartawan -

Ketika angin berhembus kutangkap jadi kata.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Wukir Suryadi: Spirit Musik dari Bumi Tempatnya Berpijak

21 April 2016   20:33 Diperbarui: 22 April 2016   17:05 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Foto: Anak-anak bermain kuda lumping"][/caption]Menatap sepak terjang Wukir Suryadi dalam panggung-panggung seni musik “alternatif” menerbangkan kenangan masa lalu. Tahun 1980-an Wukir, yang nama kecilnya saat itu Sukir Suryadi, adalah bocah berseragam merah putih yang duduk di deretan depan forum-forum kesenian.

Komunitas teater tempatnya menempa diri. Ia sudah berkenalan dengan karakter-karakter imajiner teater, membongkar tema dan alur drama, menafsirkan suasana batin panduan teks peristiwa imajiner di dalamnya. Ia menguji dirinya dengan pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan di forum diskusi.

Komunitas yang juga sangat berpengaruh padanya adalah kesenian tradisional yang hidup dan tumbuh di kampungnya, Sumbersari Kota Malang. Seni yang sangat memikatnya Jaran Kepang (Kuda Lumping). Pergaulan dalam komunitas-komunitas seni ini menginspirasinya, dan ia sanggup memanfaatkannya sebagai apa yang disebut WS Rendra “daya hidup” berkesenian.

Wukir Suryadi hanya lulus SMP. Pernah masuk SMA tapi tak betah. Jiwanya bebas, tak ingin terikat dengan berbagai formalitas yang menghadang di depannya. Perjalanan hidupnya dipenuhi kegelisahan-kegelisahan kreatif, yang menurutnya tidak ditemukan di ruang-ruang kelas formal. Ia adalah anak alam, hidup dan menghidupi bumi pertiwi. Keteguhan yang ia genggam, justru membawanya melanglang buana, perjalanan lintas Negara yang mungkin tidak terpikirkan orang lain.

Ia sungguh jenius, seperti kejeniusan yang disampaikan Thomas Alva Edison, “1 % inspirasi dan 99 % keringat. Tidak ada yang dapat menggantikan kerja keras.”

 

Bambu Wukir

Latar itu mendukungnya menjadi kreator. Ia tidak sekedar bermain kesenian, lebih dari itu ia mencipta kesenian. Puncak terkini perjalanan panjangnya adalah menemukan intrumen musik berbahan dasar bambu. Musik temuannya itu diberi nama Bambu Wukir. Sebuah tanda sederhana, namun memiliki makna sebuah perjalanan panjang yang alamiah, otodidak, unik, cerdas, karenanya menjadi temuan yang orisinal.

[caption caption="Foto dari theinstrumentbuildersproject.com"]

[/caption]Bentuk alat musik ciptaan laki-laki gondrong yang sekarang memiliki grup bernama Senyawa, ini berupa sebatang bambu runcing panjangnya kurang lebih satu meter, dikombinasi dengan bentangan string dan iratan kulit bambu. Cara memainkannya digesek dan dipetik. Suara yang dihasilkan berkarakter khas Bambu Wukir, ada yang mengesankan seperti synthesizer, alat musik elektronis yang membangkitkan suara dengan menggunakan tone generator. Penonton dan pengamat pertunjukan Wukir dengan Senyawa-nya akan kehilangan kesan tentang alat-alat musik seperti sasando, sitar, dan celempung.

Keunikan seni musik Wukir diungkapkan dalam wawancaranya dengan Tess Joyce dari Indonesia Expat, "Saya hanya mencoba untuk terus berjuang, membuat seni dari bumi yang kita huni, dengan instrumen terinspirasi oleh sejarah bangsa ini."

 

Panggung Wukir

Instrumen musik dan memainkannya di atas panggung merupakan satu kesatuan karakter berkesenian Wukir. Bambu Wukir sudah menjadi satu kesatuan dengan jiwanya. Alat musik dengan material dasar bambu ini ia mainkan dengan leluasa. Dasar-dasar penguasaan panggung telah menjadi bagian pertunjukannya yang memukau.

Penghayatannya yang intens menggesek dan memetik Bambu Wukir menerbangkannya dalam situasi yang total, menghanyutkan penonton ke dalam kegelisahan dan pemberontakan jiwa Sang Seniman. Tergambarlah modus-modus kalap (trans) jaran kepang yang menginspirasi dan menjadi spiritnya. Tess Joyce mengaguminya sebagai energi magis. Begitu kiranya ia berbagi dengan penonton.

Komposisi-komposisi yang dihasilkan Wukir bersama Rully Shabara dalam Senyawa bukanlah irama merdu yang meninabobokkan. Alunannya menyayat, hentakannya sekeras cadas. Meraka memainkan ritme, melodi, dan suasana.

Seorang penonton dalam suatu pertunjukannya di Jogyakarta memberikan komentar, “Anda memainkan musik tradisional (etnik) namun tiba-tiba bermusik layaknya Rock Star.”

[caption caption="Foto dari bambuwukir.blogspot.co.id"]

[/caption]Seni musik ciptaan Wukir memang terbukti unik, mengakar, sekaligus inovatif. Banyak orang memperhatikannya semenjak ia dan kelompoknya melakukan perjalanan musiknya dari kota ke kota di Indonesia. Musiknya yang inspiratif membawanya memenuhi undangan untuk memainkanya di Australia, Asia, dan Eropa.

Catatan perjalanan Wukir dan Senyawa-nya tahun 2011 memulai melanglang buana di International Jazz Festival Melbourne sepanggung dengan musisi besar seperti Faust, Yoshida Tatsuya, Tony Conrad dan Charlemagne Palestina. Selanjutnya tampil di MONA FOMA Festival di Tasmania, Festival Adelaide dengan penyanyi Korea Bae II Dong, tur sebagai tamu khusus dari supergrup Australia Regurgitator, di Glatt und Verkert Festival di Austria, serta Sommarscen Festival Malmo di Swedia, Salihara Festival Sastra di Jakarta, Copenhagen Jazz Festival, Festival Clandestino di Norwegia, CTM Festival di Berlin dan Oktober Loft Jazz Festival di Cina. Sempat juga residensi satu bulan di AIR Krems.

Juni sampai Juli 2014, Wukir dan kelompoknya juga berkesempatan melakukan pertunjukan di kota-kota Eropa seperti Bruxelles, Marseille, Lausanne, Paris, Kopenhagen, dan Gothenburg. Ketika Kampusplus menghubunginya tengah bulan September 2014, Wukir dan Senyawa-nya baru saja mendarat di Jogyakarta dari Jepang.

Belum berhenti, tahun 2016 tercatat dia juga memenuhi even-even internasional, seperti di Jerman, Lebanon, maupun Rumania.

Perjalanan Wukir, prestasi yang menginspirasi bermula dari memetik instrumen musik bamboo, menggenggam spirit bumi tempatnya berpijak.

 

Djoglo Pandanlandung Malang
April 2016
iman.suwongso@yahoo.co.id

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun