Mohon tunggu...
Iman Suwongso
Iman Suwongso Mohon Tunggu... Penulis/Wartawan -

Ketika angin berhembus kutangkap jadi kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Jangan Masukkan Ranting-ranting dalam Terali

10 April 2016   10:07 Diperbarui: 10 April 2016   21:07 380
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Pencari rumput"][/caption]Jalanan sedang lengang. Rintik hujan mengurai mendung yang mengambang di langit bersama burung-burung sriti. Suara sepeda motor meraung dari belakang punggung Bawon. Putaran rodanya melesat mengibarkan angin yang diam menyambut  rintik hujan. Sedetik kemudian kuda besi itu menghantam Bawon dari belakang. Tubuhnya terpelanting ke udara. Bagai buah apel jatuh terhempas di permukaan aspal yang mengkilat. Becaknya ringsek. Rodanya melengkung membentuk angka 8.

Siapa pengemudi gila itu? Tidak ada yang tahu. Ia melesat sesudah menubruk hingga ditelan ujung jalan. Mungkin ia setan, mungkin juga dia malaikat, yang ditugaskan mengubah hidup Bawon.

Bawon tidak terlalu mengutuk penabrak itu. Ia merasa bersalah karena mengayuh becak tidak memperhatikan jalan. Tapi Bawon tidak sepenuhnya salah, tagihan uang sekolah anaknya yang harus cepat dibayar sebelum ujian sekolah dimulai membuat pikirannya melayang-layang. Mungkin sekolahan anaknya juga tidak salah, sebab barangkali uang itu dibutuhkan segera untuk membayar gaji gurunya.

Nahas di tengah gerimis itu sungguh melemparkan Bawon ke dunia baru. Tulang kakinya patah, otot-ototnya lumpuh, tak dapat menahan beban tubuhnya yang kerempeng itu. Becaknya menjadi seonggok rongsokan di gudang kantor polisi. “Selamat tinggal,” ucapnya lirih kepada si roda tiga yang setia menemani mengucurkan keringat bertahun-tahun. Bawon pensiun.

Kecelakaan itu juga menghentikan mimpi Zal, anak Bawon. Zal tidak berani masuk sekolah sebelum uang sekolahnya bisa dibayarkan. Tapi, rasanya tidak mungkin Bawon dapat menyediakan. Untuk mengurus Bawon di rumah sakit dan beli obat, Kam, istri Bawon telah menggadaikan perkakas dapur. Masih ditambah lagi utang pada tetangga.

Bawon menghibur Zal, “Nak, sekolahmu bisa dilanjutkan tahun depan. Kalau Bapak sudah sembuh. Kalau Bapak sudah bisa bekerja lagi. Kamu masih bisa belajar dari buku-buku bekas....”

Untungnya Zal penurut. Ia mengerti kesulitan bapaknya.

***

Hari-hari Zal berubah. Tidak ada lagi seragam sekolah. Tidak ada lagi sepatu jebol tungkainya. Tidak ada berangkat sekolah terburu-buru karena menunggu uang saku. Yang tidak berubah, Zal masih bangun pagi, saat adzan subuh berkumandang. Namun, dia tidak pergi ke sungai untuk mengucurkan badannya yang masih lunglai di pancuran sumber, seperti waktu masih sekolah. Ia mencangkung di pojok rumah memandangi matahari merekah di pucuk gunung. Ia menekuk kakinya, meletakkan dagunya di ujung runcing lututnya. Tangannya menggores-goreskan lidi di tanah, menorehkan sesuatu tak berbentuk.

Sementara Min, adik Zal, masih melungker di bilik gelap pengap. Ia ikut-ikutan tidak mau sekolah. Tidak jelas alasannya. Dia memang anak batu yang mampu diam dalam waktu yang panjang. Bawon tidak tega untuk berbuat kasar kepadanya. Ia belai-belai rambut anak bungsunya itu. Rambut yang kering dan berbau debu bantal.

Kam pulang ketika matahari belum setinggi tombak. Ia telah selesai mencuci pakaian di rumah Bu RW. Ia pulang membawa beras, tempe gembos, tahu gembos, seunting bayem. Rumah menjadi ramai oleh suaranya yang menghentak-hentak. Kadang tersengal-sengal karena napasnya pendek. Suaranya berturut dari depan rumah; mengomeli Zal yang mencangkung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun