Mohon tunggu...
Iman Suwongso
Iman Suwongso Mohon Tunggu... Penulis/Wartawan -

Ketika angin berhembus kutangkap jadi kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Aba Gofar Meledakkan Halilintar di Ubun-ubun

8 April 2016   00:19 Diperbarui: 8 April 2016   00:54 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Saya Bandil, mbah.” Kata Bandil.

“Bukan. Kamu Gofar. A. Gofar.” Tekannya, tanpa memanjangkan inisial A itu.

Bandil merenung. Ia ambil nama baru itu. Ia yakin dengan nama itu.

Nama baru itu kemudian memang bertuah. Ketika Bandil yang sudah menjadi A. Gofar baru saja keluar dari musolah kecil, ada seorang perempuan sedang hamil besar. Ia bilang, “Besok keluar lancar. Perempuan cantik kayak ibunya.” Betul sekali. Sebelum maghrib keesokan harinya jabang bayi lahir selamat dan perempuan pula.

Ucapan A. Gofar pada ibu bayi itu tersebar luas. Setiap hari ada saja orang mencarinya. Bermacam-macam tujuannya. Ada yang membawa air putih minta dido’ai untuk anaknya kelas enam SD agar ujiannya bisa berhasil. Ada yang membawa uang logam untuk dido’ai agar dagangannya bisa laris. “Apa semuanya terbukti manjur?” Tanyaku. Huda tidak tahu. “Yang jelas orang yang datang kepadanya kian hari kian banyak.Orang yang datang memanggilnya Aba Gofar.”

***

Aku berhenti di alamat yang tertera di kartu nama ini. Aku memastikan alamatnya tidak salah. Bangunan rumahnya seperti istana. Memiliki dua lantai dengan tiang-tiang penyanggah yang kokoh. Di depan rumah ini banyak kendaraan parkir. Di dalam rumahnya banyak orang duduk di sofa yang empuk. Aku bertanya kepada seorang yang mengatur parkir. Alamat yang kupegang ini benar.

Aku masuk. Seorang pria berpeci, berbaju koko putih, dan bersarung menyambutku. Aku sampaikan maksud kedatanganku. Namun, pria itu bilang, “Sabar Pak, sebaiknya Bapak menunggu sampai tamu-tamu ini selesai dilayani. Kasihan, mereka antri sudah lima jam yang lalu.”

Aku putuskan untuk menunggu.  Aku duduk di kursi kayu yang sedang kosong, bersebelahan dengan seorang pria setengah baya. Aku ingin bertanya maksud kedatangannya  untuk sekedar basa-basi. Namun aku urungkan, takut membuat dia tidak enak hati. Dia malah bertanya asalku. Aku jawab sekenanya. Untuk mengimbangi percakapan aku balik bertanya. Asalnya dari luar kota yang jaraknya hampir 70 kilometer. Ia juga memperkenalkan sebagai pegawai kabupaten di kota itu.

Percakapan belum terlalu jauh, ketika nama pria itu dipanggil untuk masuk ke sebuah ruangan. Kira-kira di ruang itu tamu-tamu itu dilayani Aba Gofar. Karena aku tanpa teman, mataku menangkap apa saja yang ada di rumah ini. Akhirnya mataku parkir di sebuah lukisan kaligrafi yang menempel di dinding. Konfigurasi lukisan itu membentuk telunjuk yang mengacungkan ke atas. Lafal yang tertulis surah al-Ikhlas, tentang Keesaan Tuhan. Aku membacanya berkali-kali seperti sedang berdzikir.

Pada bacaan ke 33, pria pegawai kabupaten itu mengulurkan tangan padaku. Aku berdiri menyambutnya. Wajahnya terpancar sumringah. Setengah berbisik aku bertanya padanya. “Sudah, Pak?”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun