Mohon tunggu...
Iman Suwongso
Iman Suwongso Mohon Tunggu... Penulis/Wartawan -

Ketika angin berhembus kutangkap jadi kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Aba Gofar Meledakkan Halilintar di Ubun-ubun

8 April 2016   00:19 Diperbarui: 8 April 2016   00:54 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Si Rambut Kumal di Dermaga"][/caption]

Cerpen: Iman Suwongso

Subhanallah…! Sesudah solat magrib aku bertemu Bandil di parkiran masjid kota ini. Kami sama-sama menuju mobil yang parkir bersebelahan. Awalnya aku tak percaya dia itu Bandil oleh beberapa sebab. Sebab pertama adalah pertemuan ini merupakan pertemuan kami kembali, setelah sepuluh tahun dia seperti ditelan bumi. Selama itu aku tidak pernah mendengar kabarnya lagi.

Pertemuan ini tidak direncanakan. Kami sama-sama mampir untuk solat magrib di masjid barokah ini. Kami sama-sama sedang melintas di kota ini untuk tujuan kota yang berbeda. Sebab kedua, Bandil yang dihadapanku ini berbeda dengan Bandil sepuluh tahun lalu. Berubah 180 derajad. Bandil sekarang mengenakan peci putih, berbaju koko, bersarung, dan bersandal selop. Dulu dia kumal, rambutnya panjang kempal seperti tak keramas seumur hidupnya. Rasanya kutu pun tak sanggup hidup di dalamnya. “Kecuali kecoak.” Goda teman-teman. Celananya jeans bulak robek di lututnya. Alas kakinya jangankan dari kulit sapi, sandal jepit saja talinya sudah diganjal peniti. Aku pasti menjadi pangling kalau kami tidak saling berpandangan, kemudian dia tidak menyapaku.

Subhanallah. Hidup Bandil telah berubah. Namun, bukan saja penampilannya yang berubah. Namanya juga telah berubah menjadi A. Gofar. Nama itu tidak polos, ada tambahan Aba di depannya. Menjadi Aba A. Gofar. Nama barunya ini aku ketahui dari kartu nama yang disodorkan padaku sesaat setelah dia memelukku dan mengucapkan “Kalau ke kota ini mampirlah ke gubugku.” Lantas ia masuk Alpard hitam dan meluncur mantap di jalan raya.

***

Aku mengenalnya pertama kali di rumah Ratmini, temanku sekaligus narasumberku, seorang penari yang sangat dikenal di kota kami. Ia tiba-tiba muncul di pintu seperti orang-orangan sawah. Kumal. Dan sama sekali tidak rapi. Ketika Ratmini memperkenalkannya padaku sebagai pelukis aku menjadi maklum. Waktu itu kesanku pada pelukis adalah orang yang tidak mengurus dirinya. Pakaian seadanya, tidak pernah ganti, juga tidak pernah mandi.

Karena orang-orang yang datang ke rumah Ratmini juga semacam Bandil, antik, dan aku bisa akrap dengan mereka, maka aku juga bisa cepat akrap dengan Bandil. Pada pertemuan kedua dengannya di teras Ratmini, kami sudah bisa bertukar pikiran secara bebas. Pada ujung obrolan itu ia mengatakan padaku, kalau dia meyakini aku bisa mengusahakan suatu tempat untuk pameran karya lukisnya.

Apa salahnya membantu orang lain? Aku penuhi kepercayaannya dengan mendapatkan sebuah gedung kecil. Meskipun letaknya tidak strategis tapi cukuplah untuk debutan seorang pelukis. Namun, untuk menyampaikan kabar baik itu aku menemui kesulitan. Bandil tidak muncul di rumah Ratmini. Aku tidak memiliki alamat tinggalnya, apalagi nomor teleponnya. Tempat tongkrongannya tidak ada yang tahu. Demikian juga dengan Ratmini. Apa boleh buat, aku tunggu saja sampai dia muncul.

Suatu sore Si Kumal itu muncul di pintu gerbang rumahku. Sebelum aku mengatakan hasil usahaku, dia lebih dulu memberondongku dengan keluhan-keluhan. “Waduh, sulit sekali ditemui.” Lagi, “Wah, kalau cari rumah jangan terlalu minggir, angkotnya sulit.” Aku tertawa saja.

Rupanya Ratmini telah memberi tahu padanya kalau aku mencarinya untuk perkara rencana pamerannya. Katanya, seharian dia datang ke kantorku –aku bekerja di sebuah media masa lokal. Karena diberi tahu temanku kalau aku cuti, dia langsung meluncur ke rumahku setelah mengantongi alamatku. Dia datang untuk mengatakan kalau rencana pamerannya batal. Katanya, beberapa lukisannya sudah terjual. Hasilnya sebagian untuk membantu temannya yang sakit, sebagian untuk biaya makan, sebagian lagi untuk ongkos angkot, termasuk ongkos angkot ke rumahku.

Sesaat aku kecewa. Tapi dia telah minta maaf padaku sambil wajahnya ditekuk menunjukkan rasa bersalahnya. Aku memaafkannya, dan aku anggap sudah tidak ada apa-apa lagi. Aku anggap masalah rencana pameran selesai. Aku anggap dia teman yang baru aku kenal, dan mungkin hanya akan numpang lewat saja dalam pergaulanku.

Sesudah kedatangannya ke rumah, aku tidak pernah bertemu dia lagi. Lenyap! Begitu kira-kira yang bisa dikatakan. Setiap ke tempat Ratmini, aku tidak pernah bertemu dengannya. Aku juga tidak pernah bertanya kepada Ratmini, apakah Bandil masih datang ke rumahnya. Tak terlintas lagi dalam pikiran.

***

Hampir lima bulan rambut kawul itu tak mengusikku. Sampai suatu petang ia tiba-tiba berdiri di belakangku saat aku menikmati kopi di warung kecil dekat stasiun. Rupanya dia tak menyangka akan bertemu aku disini. Tangannya agak gemetar. Ia mengajakku untuk duduk di pojok yang sepi. Ajakan yang menurutku agak didramatisir. Agar tidak menarik perhatian pengunjung lain, aku menuruti ajakannya.

Aku belum bertanya apa-apa. Pikiranku masih berkutat pada sikapnya yang aneh. Ia malah menjelaskan lebih dulu, kenapa aku selama ini tidak dapat berjumpa dengannya.

“Kemana saja?” tanyaku. Pertanyaan yang sesungguhnya muncul begitu saja. Aku sama sekali tidak butuh jawabannya. Namun, penjelasannya sungguh membuat aku menahan nafas.

“Selama ini aku tidak pergi kemana-mana. Aku hanya menghindarimu. Aku tahu kapan kamu di rumah Ratmini. Ini tadi aku kepergok kamu karena cahaya di warung ini remang-remang.” Katanya.

“Menhindariku?” Aku betul-betul tidak mengerti pikirannya.

“Karena pameran yang gagal itu. Aku merasa bersalah sama kamu. Aku tahu kamu sudah mengeluarkan uang muka untuk gedung itu. Barangkali kamu juga sudah memperoleh info, sebenarnya aku tidak punya banyak lukisan. Baru satu. Itu pun belum jadi. Maafkanlah aku…” Matanya menatapku berkaca-kaca, seperti kambing yang pasrah menghadapi jagal.

Aku geleng-geleng kepala, tapi aku tak tega. Aku menepuk pundaknya. “Sudahlah. Aku sudah melupakannya.” Ia memelukku.

Terus terang pertemuan di warung kopi dengan Bandil itu merupakan awal teror bagiku. Teror yang menggerakkanku untuk mengorek siapa sesungguhnya Bandil. Hasilnya tidak lain, Bandil adalah sosok gelap. Pekat. Kepercayaan hidupnya telah digerogoti semacam penyakit lepra.

Kesimpulan itu tiba-tiba memunculkan sosok Kyai Dim dalam ingatanku. Aku yakin Kyai Dim bisa memotifasi Bandil agar bisa hidup lebih baik. Aku perkenalkan Bandil kepada Kyai.

Rupanya Bandil cocok dengan Kyai Dim. Ia kerap sowan padanya tanpa harus aku antar. Alhamdulillah. Bandil menjadi rajin solat. Suatu saat aku bersaksi, ketika dari membran masjid memekik suara adzan duhur. Bandil yang sedang gayeng berdebat dengan Ratmini dan beberapa teman yang ada di ruang itu, tiba-tiba menghentikan pembicaraannya. Dia bangkit dari duduk sila di lantai dan keluar. Mengambil air wudu. Solat tepat waktu. Subhanallah.

Namun sayang! Sayang sekali. Dia cepat berubah. Belum ada sebulan setelah solat tepat waktu di rumah Ratmini itu aku datang ke rumah kontrakannya –sekarang aku tahu alamat tinggalnya, kontrakan kecil di pinggiran kota. Ia tetap menekuni coretan-coretan di layar komputer saat jamaah masjid sudah berdzikir.

“Jam karetnya kumat ya?” Aku ingatkan dia.

Ia menjawab dengan dingin. “Aku tak percaya lagi!”

Astagfirullahaladzim. Serasa halilintar meledak di ubun-ubunku.

***

Bisa jadi karena aku kecewa padanya. Aku anggap dia tidak ada lagi di dunia ini. Sejak itu aku tak pernah melihat lagi rambut sarang kecoak itu. Sepuluh tahun lamanya. Hingga Si Misterius itu muncul di pelataran parkir masjid dengan keadaan yang sama sekali lain.

Aku kira, aku sekarang sedang sock. Aku perlu menilpun teman-teman Bandil, yang juga temanku. Titik terang aku peroleh dari Huda. Ia tahu secara kebetulan, dari sebuah cerita koran lokal yang tidak terkenal, tentang penggalan cerita Bandil. Penggalan cerita yang mengantar Bandil menjadi Aba A.Gofar.

Sembilan tahun lalu, kira-kira setahun setelah pertemuanku dengannya yang mengguncang itu, Bandil naik kereta kelas tiga menuju Jakarta. Di sebuah kota perbatasan Jawa Tengah dengan Jawa Barat waktu telah menggelincir dari tengah malam. Bandil seperti dilemparkan oleh tangan kekar dari dalam gerbong.

Paginya, ia ditemukan seorang tua renta dalam keadaan antara hidup dan mati. Si Tua Renta itu seorang penolong. Si Penolong itu membawa Bandil ke gubuk tak jauh dari rel kereta. Nyawa Bandil dapat diselamatkan. Selama melakukan penyembuhan Si Penolong itu membisikkan dzikir di telinga Bandil. Ketika Bandil betul-betul sembuh, bisikan dzikir itu telah mengendap di dalam dirinya. Setiap melangkah dia melafalkan dzikir itu. Sebelum meninggalkan gubuk, Si Penolong yang telah berjasa itu memanggil namanya dengan sebutan Gofar.

“Saya Bandil, mbah.” Kata Bandil.

“Bukan. Kamu Gofar. A. Gofar.” Tekannya, tanpa memanjangkan inisial A itu.

Bandil merenung. Ia ambil nama baru itu. Ia yakin dengan nama itu.

Nama baru itu kemudian memang bertuah. Ketika Bandil yang sudah menjadi A. Gofar baru saja keluar dari musolah kecil, ada seorang perempuan sedang hamil besar. Ia bilang, “Besok keluar lancar. Perempuan cantik kayak ibunya.” Betul sekali. Sebelum maghrib keesokan harinya jabang bayi lahir selamat dan perempuan pula.

Ucapan A. Gofar pada ibu bayi itu tersebar luas. Setiap hari ada saja orang mencarinya. Bermacam-macam tujuannya. Ada yang membawa air putih minta dido’ai untuk anaknya kelas enam SD agar ujiannya bisa berhasil. Ada yang membawa uang logam untuk dido’ai agar dagangannya bisa laris. “Apa semuanya terbukti manjur?” Tanyaku. Huda tidak tahu. “Yang jelas orang yang datang kepadanya kian hari kian banyak.Orang yang datang memanggilnya Aba Gofar.”

***

Aku berhenti di alamat yang tertera di kartu nama ini. Aku memastikan alamatnya tidak salah. Bangunan rumahnya seperti istana. Memiliki dua lantai dengan tiang-tiang penyanggah yang kokoh. Di depan rumah ini banyak kendaraan parkir. Di dalam rumahnya banyak orang duduk di sofa yang empuk. Aku bertanya kepada seorang yang mengatur parkir. Alamat yang kupegang ini benar.

Aku masuk. Seorang pria berpeci, berbaju koko putih, dan bersarung menyambutku. Aku sampaikan maksud kedatanganku. Namun, pria itu bilang, “Sabar Pak, sebaiknya Bapak menunggu sampai tamu-tamu ini selesai dilayani. Kasihan, mereka antri sudah lima jam yang lalu.”

Aku putuskan untuk menunggu.  Aku duduk di kursi kayu yang sedang kosong, bersebelahan dengan seorang pria setengah baya. Aku ingin bertanya maksud kedatangannya  untuk sekedar basa-basi. Namun aku urungkan, takut membuat dia tidak enak hati. Dia malah bertanya asalku. Aku jawab sekenanya. Untuk mengimbangi percakapan aku balik bertanya. Asalnya dari luar kota yang jaraknya hampir 70 kilometer. Ia juga memperkenalkan sebagai pegawai kabupaten di kota itu.

Percakapan belum terlalu jauh, ketika nama pria itu dipanggil untuk masuk ke sebuah ruangan. Kira-kira di ruang itu tamu-tamu itu dilayani Aba Gofar. Karena aku tanpa teman, mataku menangkap apa saja yang ada di rumah ini. Akhirnya mataku parkir di sebuah lukisan kaligrafi yang menempel di dinding. Konfigurasi lukisan itu membentuk telunjuk yang mengacungkan ke atas. Lafal yang tertulis surah al-Ikhlas, tentang Keesaan Tuhan. Aku membacanya berkali-kali seperti sedang berdzikir.

Pada bacaan ke 33, pria pegawai kabupaten itu mengulurkan tangan padaku. Aku berdiri menyambutnya. Wajahnya terpancar sumringah. Setengah berbisik aku bertanya padanya. “Sudah, Pak?”

“Alhamdulillah…” pujinya.

“Apa yang disampaikan Aba Gofar?” Tanyaku lagi setelah menyaksikan seperti ada kemenangan di sorot matanya.

“Alhamdulillah… Kata Aba, enam bulan lagi saya akan jadi kepala bagian.”

Ia cepat-cepat melangkah pergi. Aku jatuh terduduk di kursi kayu. Mulutku sepontan mengucapkan istigfar, “Astagfirullah…” (***)

 

Djoglo Pandanlandung Malang,     2014/2016

iman.suwongso@yahoo.co.id

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun