Mohon tunggu...
Iman Pitoy
Iman Pitoy Mohon Tunggu... -

Aku, seseorang yang sedang belajar menulis...\r\n\r\nhttp://imanpitoy.blogspot.com/\r\nhttp://imanpitoy.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Cinta yang Ditentang...

16 Maret 2011   14:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:44 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi ini,  Iman datang ke sekolah lebih pagi dari biasanya. Yang ada di sekolah baru beberapa siswa, itupun anak kelas 1 SMA. Dia duduk di pojok kantin, tempat favorit dia diwaktu istirahat jam pelajaran. Tiba-tiba terdengar satu suara memanggilnya dari belakang, "Iman! Ngapain kamu disitu sendirian?" refleks Iman menoleh kebelakang, ternyata si Luffi teman sekelasnya. "Eh kamu toh, Fi. Tumben kamu sudah ada di sekolah?" "Kamu sendiri juga tumben, biasanya juga telat melulu!" jawab Luffi setelah duduk tepat di depan Iman. "Ga tau nih, Fi. Hari ini kayanya beda banget, lagi ga pengen telat dateng," "Beda apanya nih? Suasana hati kamu kali yang lagi beda?" Luffi meledek. "Maksudnya?" ujar Iman tak mengerti. "Aku tahu kok. Kamu baru putus kan sama efrina? Dan penyebabnya, karena orang tuanya tidak setuju kan?" Iman tidak menjawab pertanyaan Luffi yang seakan tahu isi hatinya. "Ternyata benar!" ujar luffi lagi, "Heran deh aku, hari gini masih saja ada orang tua yang ikut campur urusan anaknya," Sekali lagi Iman tidak menjawab, dia hanya diam sejuta kata. "Apa kamu tidak kecewa, Man?" tanya Luffi menyelidik. "Bohong kalau aku tidak kecewa, Fi" jawab Iman akhirnya. "Tapi untuk apa? Toh, itu untuk kebahagiaannya juga. Dan aku menghargai keputusannya, asalkan dia bahagia, aku ikhlas.." Iman beralasan. "Salah, bukan seperti itu yang harusnya kamu lakukan," hentak Luffi. "Jika pertimbangannya bahagia, mestinya mereka membiarkan anaknya berhubungan dengan siapapun, bukan malah membatasi. Tugas mereka hanya mengawasi, mengontrol, yang menentukan si anaknya sendiri. Kan yang menjalani hubungan itu anaknya, bukan orang tuanya, ya kan?" Iman menghela nafas, sebelum akhirnya menjawab. "Sudahlah, Fi." ujar Iman pelan, "Aku hanya ingin melihat dia bahagia, tidak lebih. Aku yakin setiap orang tua ingin yang terbaik untuk anaknya. Jadi aku anggap ini wajar." "Jadi, kamu rela Efrina dengan laki-laki lain?" "Ya.." jawab Iman berusaha menahan diri. "Ini pelajaran, Fi. Cukup aku saja yang pernah jadi korban, bukan kamu atau orang lain. Anggap aku cermin untuk kalian berkaca. Karena, aku sudah tahu bagaimana sakitnya menderita akibat sebuah penolakan dan larangan. Biarkan mereka bahagia, aku cukup melihat dan tersenyum." Setelah berkata itu, butiran-butiran air mata terlihat menetes di pipi Iman. Dia seperti sudah tidak kuat lagi menahan diri. Kenyataan pahit untuknya. Kebahagiaanya direbut oleh mereka-mereka yang tidak ingin melihatnya bahagia. "Man..." teriak Luffi saat Iman beranjak pergi. Tapi, Iman terus saja melangkah, sambil melambaikan tangan membelakangi Luffi. Bait-bait lagu Yovie & Nuno terdengar dari salah satu warung bakso di kantin sekolah, mengiringi langkah Iman. 'Mengapa kita bertemu, bila akhirnya dipisahkan... Mengapa kita berjumpa, bila akhirnya di jauhkan... Aku hancur... Ku terluka... Namun engkaulah nafasku... Kau cintaku... Meski aku... Bukan dibenakmu lagi... Dan kuberuntung sempat memilikimu...'

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun