Mohon tunggu...
Iman kandias
Iman kandias Mohon Tunggu... Penulis - Dialektika tumbuh bersama tawa

Bersahabat tanpa kelas

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Konstruksi Realitas Politik Nasi Goreng ala Mega-Pro

6 Agustus 2019   08:40 Diperbarui: 6 Agustus 2019   09:05 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemilihan Presiden Republik Indonesia tahun 2019 telah berlangsung secara fenomenal. Hanya dua pasang calon presiden yang bertarung dalam pemilihan Presiden di Indonesia, yaitu Joko Widodo-Ma'ruf Amin (Jokowi amin) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno (PAS) hal ini seakan merupakan memori lama terulang kembali di tahun 2014, ketika Prabowo berhadapan dengan Joko Widodo dalam kontes Pemilu Presiden 2014. Ini adalah sebuah fenomena yang terulang kembali di Indonesia. Di tahun 2019 ini Kedua pasang calon ini bersaing ketat dalam kampanye. 

Partisipasi publik merupakan kata yang tepat dalam penyelenggaraan pesta Pemilu Presiden ini yang berdampak dalam skala nasional. Kualitas maupun kuantitas pada prinsipnya bisa menjadi sebuah ukuran sejauh mana paslon tersebut di percaya oleh masyarakat. 

Istilah civil society juga sempat digambarkan oleh Aristoteles, bahwa komunitas politik pada batas etika yang bebas dan egaliter berdasarkan kebaikan dan sikap tanggungjawab penuh dengan kesepakatan bersam, hidup dibawah sistem hukum yang adil dengan mengindahi norma norma dan nilai nilai masyarakat yang berdampak mulai dari kaum sepuh hingga milenials, bahkan emak emak ikut meramaikan kancah kampanye pilpres 2019. Melihat fenomena tersebut, dapat disimpulkan bahwa hegemoni politik ramai diperbincangkan melalui top-down. 

Pasca penetapan dari keputusan Komisi Pemilihan Umum tentang penetapan pasangan calon presiden dan wakil presiden terpilih dalam Pemilu tahun 2019. 

Menetapkan pasangan calon presiden dan wakil presiden terpilih dalam Pilpres 2019 nomor urut 01 saudara Ir H Joko Widodo dan saudara Prof Dr KH Ma'ruf Amin," kata Ketua KPU Arief Budiman saat membaca keputusan. Lika-liku tentang polemik politik masih terus berjalan, mulai dari agenda ''Rekonsiliasi''hingga penetapan kursi para menteri.

Ketika masyarakat dalam kondisi normal, rekonsiliasi berlangsung Dalam waktu yang cukup lama, pertemuan kedua calon terselengga setelah penetapan dari pihak Komisi Pemilihan Umum hingga sengkata Pemilu melalui Sidang Mahkamah Konstitusi. 

Pertemuan itu berlangsung pada hari sabtu tanggal 13 juli 2019 di bertemu di Stasiun MRT Lebak Bulus, Jakarta Selatan. 

Pemandangan yang menyejukkan mata juga bias dilihat ketika pertemuan Jokowi dan Prabowo kompak mengenakan baju putih. ketika Presiden Joko Widodo tiba di lokasi itu. 

Prabowo dengan langkah cepat mendekati Jokowi. Tinggal beberapa langkah lagi kemudian Ketua Umum Gerindra ini memberi hormat kepada Jokowi. 

Presiden terpilih ini membalas hormat tersebut. Keduanya lalu berpelukan dan tertawa. Momen Jokowi bertemu Prabowo ini pun menjadi perbincangan. 

Dalam pidatonya, Joko widodo mengatakan bahwa ia dan Prabowo merupakan sahabat dan saudara. Sehingga, ia meminta kepada para pendukung untuk berhenti bermusuhan. "Tak ada lagi 01 dan tak ada lagi 02. 

Tak ada lagi cebong dan tak ada lagi kampret yang ada adalah garuda, garuda pancasila," kata Joko Widodo. Prabowo pun membalas pidato Jokowi dengan mengatakan bahwa pertemuan keduanya merupakan wujud dari persatuan. 

Selain itu, Ketua Umum Gerindra ini mengatakan bahwa ia memang belum mengucapkan selamat kepada Jokowi. Alasannya, ia mengatakan, "saya ini bagaimanapun ada ewuh pekewuh, ada toto kromo, maunya langsung tatap muka jadi saya ucapkan selamat Pak." 

Pada saat itu prabowo juga menambahkan sebuah kalimat saya akan memastikan bakal membantu pemerintahan Jokowi. Dengan catatan, kata Prabowo, "Sekali-kali mengkritik tak apa ya Pak, Demokrasi kan butuh check and balance."

Tidak hanya itu, Dua poros kekuatan politik yang berseberangan selama Pilpres 2019 lalu, mesra sesaat, entah berlanjut atau tidak. 

Hal itu terwujud dalam pertemuan antara Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto di kediaman Megawati, Jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu 24 Juli 2019.Perubahan arah dari lawan hingga menjadi kawan di perlihatkan pasangan capres-cawapres 2009 silam, Mega-Pro. 

Dengan menyantap masakan Nasi Goreng, lahirlah sebuah dialek ''Politik Nasi Goreng'' yang ramai untuk dibincangkan mulai lewat dari media televisi hingga warung kopi ala rakyat. 

Ini adalah momentum yang sangat layak untuk diperbincangkan dikarenakan kedua ini adalah tokoh bangsa, ketua umum partai dan juga pasangan capres dan cawapres tahun 2009 silam. 

Saya sendiri mengira bahwa pertemuan ini adalah sebuah reformasi konstruksi realitas politik yang disajikan lewat Nasi Goreng. Adanya sebuah fakta sosial sebagai kenyataan bahwa tokoh bangsa ini pernah bersama, ''diskusi semeja'' untuk memikirkan nasib mau dikemanakan Negara Indonesia ini  pada tahun 2009. 

Fakta sosial menurut Max Weber (Ritzer dan Goodman, 2002) mendefenisikan fakta sosial sebagai realitas subjektif. Pada kenyataannya fakta subjektif merupakan landasan interaksi sosial individu dan masyarkaat pada umumnya. 

Adanya reformasi konstruksi realitas politik dari kedua tokoh bangsa ini membentuk pemetaan baru, mengubah arah dari dinamika pilpres kini menjadi lebih ''soft'' perseteruan kini telah redam. 

Tujuan ini saya kira untuk membuat perubahan yang serius dan bertahap agar seluruh elemen masyarakat memiliki nilai-nilai baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Melakukan sebuah penataan kembali terhadap seluruh struktur kenegaraan, termasuk konstitusi dan perundang-undangan yang selama ini menyimpang dari arah perjuangan dan cita-cita masyarakat dan negara. Saya kira reformasi konstruksi realitas politik dari kedua tokoh politik patut dihargai, di apresiasi. 

Saya kira cara ini elegant nya tokoh bangsa, bersilaturahmi langsung di kediaman salah satu tokoh bangsa dan ketua umum partai  saya kira ini adalah kedewasaan berkehidupan berpolitik yang sedang kita rawat dan tumbuh, seperti yang tertera pada sila ke-3 Persatuan Indonesia

Semoga tulisan ini bermanfaat dan mampu menjadi referensi untuk selanjutnya, terima kasih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun