Mohon tunggu...
Iman Kartamadjana
Iman Kartamadjana Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Pria Indonesia yang lahir di Surabaya pada 26 sha'ban 1379 H. Menyukai politik tetapi tidak suka berpolitik. Pernah belajar akuntansi di Unibraw Malang dan menjalani karir yang berbeda dengan bidang studi. Baru belajar menulis dan membuat blog imankartamadjana.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Komisi Pemberantasan Korupsi Effektifkah Untuk Melawan Korupsi?

12 Februari 2015   20:19 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:19 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Saat ini perhatian kita banyak tersedot oleh  konflik KPK-Polri terkait isu korupsi dan pelanggaran pidana. Sidang Pra peradilan yang diajukan oleh kuasa hukum kubu Polri ( BG ) terhadap penetapan sebagai tersangka oleh KPK masih berlangsung.

Apakah pencalonan  Budi Gunawan sebagai Kapolri  adalah benar dalam arti BG memang pantas untuk menduduki jabatan tersebut ? Apakah komisioner KPK semuanya adalah orang-orang yang pantas diandalkan untuk memberantas korupsi ?

Kita semua tahu bahwa polisi yang jujur dan tidak korup hanyalah polisi tidur dan polisi patung.  Dan kita pun tahu bahwa para komisioner KPK adalah orang-orang yang di fit & proper oleh DPR. Sulit rasanya untuk percaya bahwa tidak ada motif politik yang mempengaruhi putusan KPK mengingat para ketuanya dipilih oleh para politisi. Biarlah waktu yang akan menjawab siapakah sebenarnya yang bermasalah.

Pada situasi kemelut KPK yang terjadi saat ini , ada baiknya kita bertanya apakah Komisi Pemberantasan Korupsi ini effektif menjalankan tugas  dan fungsinya untuk memberangus koruptor di negeri ini ?

Niat mendirikan KPK  adalah untuk memerangi korupsi yang sudah sangat mengerikan. Korupsi di negeri ini sudah seperti mendarah daging. Tidak ada lagi ruang yang bebas dari tindak korupsi. Hampir semua sisi kehidupan tercium aroma korupsi. Bahkan para orang tuapun banyak yang secara sadar mendorong anak atau anggota keluarganya untuk korupsi. Jika ada seorang pegawai negeri yang tidak memiliki penghasilan selain dari gaji , maka diapun akan dicap bodoh oleh lingkungannya. Tidak kreatif dan tidak peduli keluarga. Itu sebabnya para orang tua tidak segan-segan untuk mencari dana dalam jumlah besar agar anaknya dapat diterima di instansi pemerintahan. Jumlahnya mencapai puluhan hingga ratusan juta rupiah.

Apakah dalam situasi moral social masyarakat yang permisif terhadap korupsi seperti ini , kita dapat berharap KPK akan mampu memerangi korupsi ? Saya tidak yakin. Apalagi melihat beberapa kelemahan yang dihadapi KPK. Sebagai institusi KPK ini sifatnya adhoc karena hanya berstatus komisi. Dalam pengambilan keputusan harus kolektif. Jika ada satu saja ketua KPK tidak berada di kantor atau berhalangan maka keputusan sepenting apapun harus ditunda. Untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka korupsi harus memiliki 2 alat bukti. Dalam persidangan korupsi yang dilaksanakan oleh pengadilan tipikor , pada akhirnya hakim memutus hukuman bagi koruptor dengan hukuman ringan. Maksimal paling hanya 8 tahun. Belum lagi kalau KPK menghadapi masalah seperti yang terjadi saat ini. Semua ketua KPK dilaporkan ke Bareskrim , dan mulai muncul wacana untuk mengundurkan diri oleh beberapa penyidik KPK.

Harus diakui pemberantasa korupsi di negeri ini sebenarnya hanya basa-basi. Pembentukan badan pencegah / penindak korupsi yang bersifat adhoc adalah bukti dari basa-basi itu. UU tipikor yang digunakan sebagai dasar untuk mengadili para koruptor juga tidak sungguh-sungguh berniat memberantas korupsi. Adanya syarat harus ada kerugian negara adalah celah yang sengaja dibuat oleh para politisi untuk berkelit.

Sampai kapanpun selama UU tipikor dan badan hukum lembaga anti korupsi tetap seperti sekarang maka akan sangat sulit menghapus predikat negara korup di negeri ini. Sementara itu waktu dan anggaran yang tentunya tidak kecil terbuang sia-sia. Korupsi tetap akan berlangsung dengan modus yang lebih canggih , dan rakyat tertipu oleh trik-trik pemberantasan korupsi .

Tulisan ini  bukan untuk menjelekkan KPK atau siapapun. Tapi  untuk memposisikan kembali niat pemberantasan korupsi di negeri ini. Jika kita ingin sungguh-sungguh memberantas korupsi , maka kita harus meredefinisi makna korupsi. Korupsi tidak hanya mencakup mark-up, manipulasi , suap , gratifikasi seperti yang sering disangkakan dalam kasus korupsi. Korupsi adalah segala bentuk penyalahgunaan wewenang yang dimiliki karena jabatan. Dalam lingkup definisi ini maka segala bentuk kolusi , nepotisme adalah korupsi. Dan kita harus menghapus slogan orde reformasi ( katanya ) yaitu KKN. Kolusi dan Nepotisme adalah bagian dari korupsi. Jadi jangan pisahkan ketiga kata itu. Karena kalau dipisah berarti Kolusi dan Nepotisme bukanlah korupsi.

UU Tipikor harus direvisi dengan menerapkan azas pembuktian terbalik. Korupsi adalah kejahatan ruang gelap yang dilakukan oleh mereka yang memiliki kuasa atau wewenang. Korbannya adalah rakyat yang jumlahnya sangat banyak. Oleh sebab itu korupsi tidak bisa diberantas seperti kejahatan pada umumnya yang harus dimulai dengan alat bukti. Pembuktian untuk tindak korupsi cukup dengan menilai harta kekayaan pejabat. Jika jumlah harta yang dimiliki dalam kurun waktu tertentu tidak sesuai dengan gaji dan tidak bisa membuktikan asal-muasalnya maka harta itu harus dinyatakan sebagai hasil korupsi. Pengadilan dapat memutus untuk menyita harta hasil korupsi dan pejabatnya dihukum mati atau penjara minimal 20 tahun tanpa grasi atau remisi.

Lembaga anti korupsi harus diperkuat agar tidak seperti sekarang yang bersifat adhoc. Lembaga ini harus berupa badan negara yang memiliki wewenang luas dalam mengusut dan menindak kejahatan korupsi. Dipimpin oleh pejabat setingkat menteri yang langsung bertanggung jawab kepada presiden. Tugas dan tanggung jawab pimpinannya adalah menurunkan tingkat kejahatan korupsi . Parameternya adalah hasil survey peringkat korupsi . Wewenang dan tanggung jawabnya tidak kolektif kolegial. Modelnya harus lebih kuat dari BIN ( Badan Intelijen Negara ). Dan kerjanya mirip seperti densus 88. Yang pasti koruptor harus diperlakukan seperti teroris karena merongrong wibawa negara. Perbuatan korupsi dapat dikategorikan sebagai subversi dengan ancaman maksimal hukuman mati.

Jika pemerintah dan rakyat mau bersama-sama secara bersungguh-sungguh memberantas korupsi tentunya merubah UU tipikor dan membentuk lembaga anti korupsi yang kuat bukanlah hal yang sulit. Korupsi di negeri ini sudah menjadi budaya. Tanpa kesungguhan dan tindakan yang sangat tegas maka sulit menghapus predikat sebagai negara korup. Jika negara-negara yang bersih dari korupsi dapat melakukannya kenapa kita tidak ?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun