Mohon tunggu...
Imaniar Miftachul Khoiriyah
Imaniar Miftachul Khoiriyah Mohon Tunggu... Full Time Blogger - International Relations

Student College

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Diplomasi pada Masa Ali bin Abi Thalib

1 November 2019   21:55 Diperbarui: 1 November 2019   22:06 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Ali bin Abi Thalib adalah keturunan Bani Hasyim. Ia dilahirkan di halaman Ka'bah dan sejak kecil diasuh oleh Khadijah, Istri pertama Rasulullah. Ali hidup bersama Rasulullah di Makkah dan dia memiliki kedudukan tersendiri karena dia bergaul secara dekat dengan Rasulullah, baik sebelum maupun setelah Islam. Dia adalah saksi mata dari semua yang terjadi. Setelah hijrah ke Madinah, Ali selalu ikut serta dalam semua peperangan yang dipimpin Rasulullah. Ali pernah diutus ke Yaman untuk menyampaikan pesan-pesan Islam kepada penduduk wilayah itu. Dan dia berhasil menyampaikan pesan Islam itu dengan sukses. Dia telah berhasil melakukan tugas diplomatik pertamanya dengan baik. 

Ali juga memiliki kontribusi yang besar dalam usaha konsolidasi Islam. Andaikan bukan karena sikap ko-operatifnya, negara Islam yang baru tumbuh itu akan dilanda perang saudara sejak awal lahirnya. Ali dipilih langsung untuk menjadi khalifah ketika keadaan saat itu tidak stabil setelah kematian khalifah Utsman. Dalam kondisi yang seperti itu, Ali terpaksa menerima "mahkota" kekhalifahan. 

Kasus pertama yang menuntut segera dari khalifah adalah mengenai hukuman yang akan dijatuhkan terhadap pembunuh Utsman. Utman berada dalam posisi dilematis, karena pelaku pembunuhan Utsman tidak dapat diidentifikasi. Ketika pembunuh Utsman tidak bisa diidentifikasi, maka proses legal formal pun tidak bisa dijalankan, dan tak adaseorang pun bisa dikecam akibat kematian itu. Ali tak sanggup untuk menjadikan seseorang yang tak berdosa sebagai kambing hitam demi mendiamkan keributan di masyarakat, dan dia memilih untuk bersabar.

Segera setelah dia memegang kendali pemerintahan pada bulan Juni, tahun 656 H, Ali memutuskan untuk melakukan pembersihan dalam pemerintahan lama. Pada saat kekuatan-kekuatan yang menginginkan balas dendam atas kematian Utsman mulai bergerak ke Makkah dan membuat keributan disana, Ali tidak mengadakan tindakan balasan kepada mereka. Seluruh pemikirannya terfokus untuk tujuan damai. Dia tidak memiliki perselisihan apapun dengan orang-orang yang menuntut keadilan atas kematian Utsman. Ali sadar bahwa menjatuhkan hukuman dengan cara indiskriminatif (sembarangan) akan menggiring kepada pembunuhan baru dan tindakan balas dendam yang tidak mungkin dihindarkan. Baginya orang yang melakukan tindakan kriminal sajalah yang wajib dibawa ke pengadilan.

Untuk menghindari semua pertumpahan darah, Ali bin Abi Thalib mengirimkan seorang sahabat terkemuka sebagai utusan khusus untuk Aisyah yang membawa misi damai. Ali sendiri memulai negosiasi dengan Thalhah bin Zubair dengan harapan akan menghasilkan rekonsiliasi. Ali juga melakukan dialog terbuka dengan Zubair dan Thalhah. Ketika kedua belah pihak bertikai, Ali dengan sabar berusaha menenangkan suasana dan mendamaikan kedua belah pihak yang bertikai. Seelah semua usaha damai menemui jalan buntu, barulah Ali membolehkan pasukannya untuk nertempur dalam rangka membela diri namun dengan batasan dan aturang yang telah ditetapkan oleh Ali.

Setelah Ali menjadikan Kufah sebagai ibu kota pemerintahan, semua gubernur dari berbagai propinsi datang berbondong-bindong ke Kufah, sebagai ibi kota baru, untuk menyatakan rasa setianya terhadap khalifah, namun gubernur Syria tak tampak hadir. Ali menguts Jarir bin Abdullah, salah seorang sahabat Rasulullah, untuk melakukan negosiasi dengan Muawiyah. Kemudian Muawiyah membalasnya dengan sepucuk surat yang dibawakan oleh utusannya, Abu Muslim. Ali juga menulis surat balasan yang isinya cukup keras sebagai jawaban atas surat Muawiyah yang isinya sangat provokatif.

Dalam Perang Shiffin, Ali senantiasa berusaha menawarkan perdamaian dan mengajak orang-orang Syria untuk berbai'at. Namun karena mereka tidak mau untuk diajak berdamai, maka akhirnya Ali dengan sangat terpaksa memutuskan untuk melancarkan serangan atas musuh-musuhnya pada tanggal 26 Juli 657. Namun Ali masih saja memrintahkan para pengikutnya untuk menanti para musunya menyerang lebih awal. Perang ini berlangsung sengit selama tiga hari. Perang ini diakhiri dengan menjadikan Abu Musa Al-Asyari untuk menjadi penengah di antara mereka. Prose perundingan antara Ali dan Muawiyah berhasil mencapai kesepakatan antara dua pihak yang bertikai tersebut.

Ketika perundingan tentang penggantiant kekhalifahan berlangsung, kedua belah pihak yakni dari Ali dan Muawiyah mesing-masing menawarkan orang-orang yang pantas untuk menjadi khalifah, namun keduanya tak pernah mencapa titik kesepakatan. Akhirnya Abu Musa mengusulkan pencopotan Ali dan Muawiyah dan pemilihan khalifah selanjutntya diserahkan sepenuhnya kepada Dewan Konsultatif yang terdiri dari para sahabat Rasulullah. Kemudian perundingan kedua terjadi keesokan harinya. Setelah dua tahun dari peristiwa itu, yaitu pada tahun661 M, Muawiyah memproklamirkan diri sebagai khalifah di Yerussalem.

Ali melakukan surat-menyurat dengan Muawiyah dalam usaha untuk mengakhiri pertikaian urusan kenegaraan yang kini berada dalam behaya. Gencatan senjata dilakukan pada tahun 660 (40 H) dimana kedua belah pihak setuju untuk menghormati batas kedua wilayah, dan jangan sampai ada yang melakukan intervensi terhadap teritorial lain. Dan hendaknya keduanya melakukan tindakan yang bersahabat.

Karakter Ali banyak yang patut kita hargai. Dengan sabar dan kasih, dia memperlakukan musuh-musuhnya di Bashrah, tatkala mereka takluk di bawah kakinya. Terhadap orang-orang fanatik yang merasa bosan dengan kesabarannya, lalu mereka melakukan intrik dan pemberontakan yang tak berperasaan secara terus-menerus, dia tidak memperlihatkan perasaan balas dendam, kecuali kepada Mu'awiyah, yang telah menggiring kebijakan konsiliasi, kepada suatu bahaya yang ekstrim.

Setelah peprangan Nahrawan, saat sejumlah orang-orang Khawarij dibunuh, mereka memutuskan untuk menyingkirkan Ali, Muawiyah, dan Amr bin Ash. Ketiga sasaran tersebut diserang sesuai dengan rencana, yaitu pada hari Jum'at 12 Ramadhan tahun 40 H, pada saat shalat subuh. Pada usia 60  tahun, Ali meninggal akibat kejahatan yang dilakukan oleh seorang Muslim. Kekuasaannya hanya berumur 4 tahun 9 bulan. Meskipun dia dihadapkan dengan intrik yang terus-menerus dan pemberontakan yang tanpa henti, dia tidak mmendam dendam. Keinginannya yang terakhir adalah bahwa sang pembunuh tidak perlu disiksa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun