Kaesang, putra Jokowi yang juga Ketua Partai Solidaritas Indonesia (PSI) saat wartawan meminta tanggapannya terkait pernyataan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri, tentang penguasa yang bersikap seperti Orde Baru.
"Ngomong sesuatu menghina Pak Presiden, ditangkap gak?" tanyaSeorang sopir angkutan barang yang berdiri tepat di belakangnya spontan menjawab, "ditangkap." Tak menyangka akan mendapatkan jawaban lugas seperti itu, Kaesang mencoba berkelit, lalu menjelaskan jika penangkapan itu dilakukan kalau penghinaannya sudah berlebihan.
Kaesang juga bertanya lebih jauh mengenai definisi Orde Baru yang dilontarkan Megawati tadi, meski jawaban ringkasnya sudah diberikan oleh pak sopir sebelumnya--kalau menghina, ya ditangkap.
Pembungkaman kritik dan oposisi dengan menggunakan pasal karet penghinaan presiden dan perangkat hukum lainnya memang lazim dilakukan Orde Baru untuk mengamankan kekuasaannya, yang sebagaimana diungkapkan Megawati, juga digunakan oleh pemerintahan Jokowi.
Meski Megawati mungkin lupa, bahwa watak Orde Baru yang melekat pada pemerintahan Jokowi sudah berlangsung selama sembilan tahun kekuasaan Jokowi sebagai petugas partai PDIP, jauh sebelum pecah kongsi di antara mereka baru-baru ini.
Pelaporan PDIP atas Rocky Gerung dengan menggunakan pasal penghinaan presiden karena kritiknya terhadap Jokowi menjadi bukti bahwa otoritarianisme ala Orde Baru itu tidak serta merta menjadi karakter Jokowi tanpa sokongan partai yang telah dipimpin Megawati selama 30 tahun itu.
Demikian juga dengan kriminalisasi terhadap Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti atas tuduhan pencemaran nama baik Luhut Binsar Pandjaitan sebagai salah satu pembantu Presiden Jokowi.
Dua kasus tadi berjalan seiring intimidasi atas Ketua BEM UI--Melki Sedek Huang--karena kritiknya terhadap putusan MK yang memuluskan jalan Gibran untuk maju sebagai cawapres pada Pemilu 2024, dan masih banyak lagi gejala "ke-Orba-Orba-an" lainnya.
Soeharto dapat tersenyum dan orang tetap takut setengah mati, yang dalam perspektif Ben Anderson merupakan 'kasekten' raja Jawa yang dapat mengeksersi kekuasaanya secara 'alus'.
Demikian juga, Jokowi dapat terlihat watados tapi banyak orang tetap masuk bui. Tentu tanpa menggunakan tangannya sendiri; kalau memukul masih terlihat, belum bisa disebut sakti.
Kesaktian tersebut dapat dikuasai oleh seorang raja dengan menghimpun unsur-unsur kekuatan yang ada, sehingga raja tersebut bisa "nglurug tanpa bala" atau "menang tanpa ngasorake."
Bukan raja jika harus melakukan semuanya sendiri, dan pembiaran oleh pihak yang memiliki kekuasaan terhadap para pembantunya bisa saja diterjemahkan sebagai pengiyaan.
Sebagaimana simbiosis mutualisme merupakan relasi dari dua atau lebih organisme yang berbeda tetapi saling menguntungkan, pembentukan sebuah rezim kekuasaan pun berlangsung secara kurang lebih serupa. Melalui simbiosis mutualisme ini, Jokowi dapat menunjukkan kesaktiannya.
Sebuah unjuk kesaktian yang jika merujuk Edward Aspinall dan Marcus Mietzner melahirkan regresi demokrasi terburuk di Indonesia pasca Reformasi 1998.
Ah, tapi tak perlu profesor seperti Ben Anderson, Aspinall atau Mietzner untuk sekedar menjawab pertanyaan Kaesang tadi, bahkan pak sopir pun tahu itu dan bisa menjawabnya dengan jauh lebih ringkas dan lugas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H