Mohon tunggu...
Iman Haris M
Iman Haris M Mohon Tunggu... Freelancer - Loper Koran

Semua penulis akan mati

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Inflasi Nasi Goreng, Imaji Kepuasan dan Imagologi

30 Oktober 2023   02:59 Diperbarui: 30 Oktober 2023   06:19 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Empat belas ribu ya, man?" tanya saya kepada Lukman, penjual nasi goreng di dekat rumah. "Naik jadi lima belas," jawabnya sambil tersenyum, lalu menyerahkan nasi yang telah selesai dia bungkus.

Ah, inflasi nasi goreng rupanya, seolah melengkapi kabar tukang warung yang juga langsung mengawali percakapan kami dengan laporan kenaikan harga rokok tadi pagi, jadi ini info A1.

Harga beras dan sayuran di pasar beberapa hari terakhir ini juga terus merangkak naik, seolah tak ingin kalah dari tingginya hasil survei angka kepuasan masyarakat terhadap kinerja Presiden Jokowi yang dipublikasikan banyak lembaga dan media.

"Imagologi!" cetus Milan Kundera, "Pendapat umum merupakan instrumen kekuatan imagologi yang menentukan. Pendapat umum pula yang menyebabkan imagologi bisa hidup harmonis dengan masyarakat."

"Realitas, sekarang ini seolah-olah merupakan suatu daratan yang jarang dikunjungi dan tak begitu disukai. Pendapat sudah jadi semacam realitas tertinggi. Dengan kata lain sudah menjadi kebenaran," jelasnya lagi dalam L'Immortalit.

Kenyataan yang dialami Lukman si penjual nasi goreng, Yadi si penjaga warung, dan ibu-ibu yang beradu kelihaian menawar dengan para pedagang di pasar tentu tak berdaya di hadapan angka-angka yang dikutip para ahli dan politisi.

Terlebih jika angka-angka tadi dirangkai bersama pengabadian adegan para politisi turun ke gorong-gorong dengan lengan kemeja tersingsing atau potret mereka mengangkat padi hasil panen bersama para petani dengan wajah yang sumringah.

"Imagologi sungguh sudah jauh melibas ideologi. Imagologi lebih kuat dari realitas, apalagi manusia sudah lama tak melihat lagi realitas seperti yang dilihat nenek saya yang hidup di dusun kawasan Moravia," jelas Kundera tentang neologisme yang dia temukan bersama karakternya dalam novel itu.

Masih lanjutnya lagi, "Nenek mengetahui segalanya melalui pengalaman ... Nenek berjumpa dengan semua penduduk desa saban hari sehingga beliau tahu berapa pembunuhan yang terjadi selama sepuluh tahun di daerah itu. Bisa dikatakan beliau menggenggam realitas di bawah kontrol pribadinya, dengan demikian tidak ada satu hal pun yang sanggup membuatnya percaya bahwa pertanian di Moravia maju pesat jika tak ada apa yang bisa dimakan di rumah."

Ah, bukankah kita juga menggenggam realitas di tangan kita? Tentu realitas yang telah diramu oleh para imagolog dan disajikan melalui panggung media sosial, sehingga paripurnalah pengekalan imaji.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun