Halo sahabat dan kerabat, khususnya sesama diabetesi yang bersemangat. Salam hebat dan juga salam sehat!
Kali ini saya mau menulis tentang lansia. Bukan karena para lansia adalah orang-orang dengan rentang umur yang istimewa. Bukan juga karena seorang lansia adalah seseorang yang hidup dengan tenaga yang masih tersisa. Saya menulis tentang lansia karena kamu dan saya dapat menjadi seorang lansia yang luar biasa. Waouw...!
Kalau begitu, ada apa dengan lansia sehingga saya ingin menulis tentang lansia? Kenapa lansia pada judul tulisan saya ini dihubungkan dengan diabetes? Bagaimana mungkin seorang lansia dengan diabetes bisa bersikap optimis? Kalau kamu mau tahu, silakan teruskan membaca tulisan saya ini sampai ke titik penghabisan. Oke?
Siapakah lansia? WHO (World Health Organization) mengklasifikasikan seorang lansia (elderly) dalam kelompok umur di atas 60 tahun. Selain itu, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia pun menjelaskan hal yang sama bahwa yang dimaksud dengan Lanjut Usia (Lansia) adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas.
Berapa banyak penduduk lansia di Indonesia? Hasil Sensus Penduduk Indonesia yang dilakukan pada tahun 2020 yang lalu, menurut data BPS, menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia adalah sebanyak 270.203.917 jiwa. Dari jumlah itu, hampir 10% (26.841.922 jiwa) adalah lansia atau yang berumur di atas 60 tahun. Hmmm....
Dilansir dari geriatri.id, berdasarkan survei yang dilakukan sebelum sensus penduduk 2020, BPS memproyeksikan bahwa penduduk Indonesia pada tahun 2045 akan mencapai 318,96 juta jiwa. Dari jumlah itu, hampir 20% (63,71 jiwa) adalah lansia. Artinya, porsi lansia dalam total penduduk Indonesia akan meningkat hampir dua kali lipat, dari 10% pada tahun 2020 menjadi hampir 20% pada tahun 2045. Waouw....ck...ck...ck...! Luar biasa peningkatan jumlah lansia ini. Ini adalah hal pertama yang ingin saya sampaikan kepada kamu. Lalu?
Hal kedua yang ingin saya sampaikan kepada kamu adalah bahwa pertambahan umur merupakan salah satu faktor risiko diabetes melitus tipe 2. Oh ya? Iya, tentu saja! Silakan lihat keterangan dan data berikut ini.
Dilansir dari pusdatin.kemkes.go.id, faktor-faktor risiko diabetes melitus tipe 2 adalah sbb:
- Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi, yakni: ras, umur, etnik, jenis kelamin, riwayat keluarga dengan diabetes melitus, riwayat melahirkan bayi > 4.000 gram, riwayat lahir dengan berat badan lahir rendah (BBLR atau < 2.500 gram).
- Faktor risiko yang dapat dimodifikasi: berat badan lebih, obesitas abdominal/sentral, kurangnya aktivitas fisik, hipertensi, dislipidemia, diet tidak sehat dan tidak seimbang (tinggi kalori), kondisi prediabetes yang ditandai dengan toleransi glukosa terganggu (TGT 140-199 mg/dL) atau gula darah puasa terganggu (GDPT < 140 mg/dL), dan merokok.
Data dari Pusdatin Kemenkes RI juga menunjukkan bahwa angka prevalensi diabetes melitus tipe 2 dari tahun 2013-2018 terlihat sangat meningkat pada kelompok umur 45-54 tahun, 55-64 tahun, 65-74 tahun dan > 75 tahun.
Jika melihat angka prevalensi diabetes pada kelompok umur 65-74 tahun dan kelompok umur 75 tahun ke atas, maka jumlah prevalensi diabetes pada dua kelompok umur tersebut mengalami peningkatan dari 7,0% (2013) menjadi 9,3% (2018). Angka ini baru menunjukkan prevalensi diabetes pada semua lansia yang berusia 65 tahun ke atas, belum termasuk pada lansia yang berusia 60-64 tahun.
Peningkatan angka prevalensi diabetes pada lansia tersebut tentu akan lebih tinggi lagi jika memasukkan angka prevalensi pada rentang umur 60-64 tahun yang sayangnya rentang umur tersebut digabungkan bersama dengan rentang umur 55-59 tahun dalam satu kelompok umur: 55-64 tahun, padahal rentang umur lansia dimulai dari umur 60 tahun.
Lalu, memangnya kenapa dengan semua data dan angka-angka itu? Mungkin kamu bertanya begitu. "So, what, geeto loh?"
= = =
Begini, sahabat dan kerabatku sekalian....
Mungkin ada banyak di antara kamu yang belum memasuki masa lansia. Tapi jika TUHAN yang Mahakuasa menganugerahkan umur panjang kepada masing-masing kita, maka kita semua akan memasuki masa lansia. Saya sendiri tahun depan akan meninggalkan masa 'muda' saya dan memasuki masa lansia. Horee...!
Lho, kok saya bersorak 'horee'!? Memang apa yang istimewa dari lansia? Lagi pula keberuntungan apa yang didapatkan dengan menjadi seorang lansia, apalagi lansia dengan diabetes? Dan sukacita yang bagaimana yang dapat menggetarkan hati seorang lansia dengan diabetes?
Padahal, ada anggapan bahwa lansia adalah bagaikan parutan kelapa yang sudah habis diperas santannya. Ada juga anggapan bahwa lansia adalah bagaikan serdadu tua yang kehabisan tenaga sehingga harus meninggalkan medan tempur karena sudah tidak dapat lagi memanggul senjata. Apa betul begitu? Hmmm ....
Lansia bukan bagaikan langit mendung yang selalu ditutupi awan kelabu. Lansia bukan juga bagaikan padang tandus yang tak ditumbuhi rerumputan hijau. Bahkan, lansia bukan juga bagaikan kutub bumi yang kedinginan diselimuti salju. Tapi lansia dapat menjadi pelangi yang menginspirasi hati yang beku.
= = =
Meningkatnya porsi lansia dalam komposisi jumlah penduduk Indonesia, tentu saja mendatangkan suatu kebanggaan tersendiri bagi kita yang hidup di republik ini. Semakin banyak rakyat Indonesia yang berumur lebih panjang. Kenapa? Suka atau tidak suka, harus diakui bahwa itu merupakan salah satu hasil pembangunan yang dilakukan di bidang ekonomi dan kesehatan.
Tapi meningkatnya prevalensi diabetes melitus tipe 2 pada kelompok umur lansia, tentu juga mendatangkan suatu permasalahan tersendiri bagi bangsa ini. Semakin banyak rakyat Indonesia yang memerlukan perhatian. Kenapa? Suka atau tidak suka, harus diakui bahwa diabetes melitus tidak dapat disembuhkan, dan hanya gejalanya yang dapat dikendalikan.
Dilansir liputan6.com, penyakit diabetes melitus menjadi salah satu penyakit yang paling sering dijumpai pada lansia. Dalam istilah medis, diabetes disebut sebagai penyakit degeneratif menyasar lansia. Penyakit degeneratif sendiri merupakan penyakit yang mengiringi proses penuaan.
Tapi, ini hal ketiga yang ingin saya sampaikan, bahwa menjadi seorang lansia bukanlah akhir dari segala-galanya. Seorang lansia dengan segala pengalaman dan penderitaannya bisa menjadi pelangi yang mengispirasi anak-cucunya, dan juga bagi sahabat dan kerabatnya.
Bahkan, menjadi seorang lansia dengan diabetes sekalipun bukanlah berarti langsung menjadi laskar tak berguna. Seorang lansia dengan diabetes dapat mengedukasi dan memotivasi siapapun orang yang ingin menjaga kadar gula darahnya untuk mencegah secara dini terjadinya diabetes beserta komplikasi-komplikasi penyakitnya yang berakibat fatal.
Menjadi lansia dengan diabetes bukanlah menjadi tua dengan sikap pesimistis. Menjadi lansia dengan diabetes, usia boleh saja tua, tapi sikap tetap optimistis.Â
Bagi seorang lansia, dunia boleh saja terasa sepi, tapi TUHAN tak akan pernah membiarkan dia hidup kesepian. Inilah yang perlu disadari oleh setiap lansia, bahkan bagi lansia dengan diabetes sekalipun.
= = =
Sebelum saya mengakhiri tulisan saya ini, saya ingin berbagi tentang sebuah pengamatan saya pada seorang nenek berusia 81 tahun yang menikmati hari-hari lansianya yang tanpa diabetes itu.
Di usianya yang sudah lanjut, sementara massa ototnya semakin susut dan kulitnya yang semakin keriput, semangat hidupnya masih belum surut. Kepada Tuhannya dia semakin sering bertelut. Kepada Sang Khaliknya dia semakin ingin menurut.
Dia sudah mulai bau tanah, mungkin begitu kata-kata canda yang ditujukan kepadanya. Tapi melihat langkah-langkah kakinya, ternyata dia masih bertenaga. Jarak 2,5 km ditempuhnya dalam waktu setengah jam saja.
Di tengah pandemi covid-19 yang mengancam nyawa, dia tetap teratur berolahraga, dia juga tetap selektif memilih menu makannya, dan dia juga asyik beraktivitas di dalam rumahnya. Mengisi kotak-kotak TTS adalah kebiasaannya saat masih ada waktu luang yang tersisa.
Dia cenderung masih sangat mandiri, terlihat mampu hidup sendiri. Tapi ketika tersadar di tengah sepi, maka sepenggal obrolan hangatlah yang dia cari. Senyumnya berseri-seri ketika anak-cucunya datang menyambangi.
Dia senang dibawakan makanan, tapi bukan mewahnya makanan yang membuatnya kegirangan. Maklum, satu demi satu giginya sudah mulai berguguran. Tak mudah lagi baginya untuk mengunyah makanan.
Dia juga suka dibawakan buah tangan, tapi bukan mahalnya buah tangan yang memberinya penghiburan. Dia terpuaskan oleh sekedar perhatian dan beberapa penggal kata sapaan.
Dia tidak berharap umur panjang kalau untuk mengisi umur panjangnya adalah penderitaan. Dia tidak ingin kalau umur panjangnya membuat anak-cucunya kerepotan. Dia lebih baik mati dalam kesederhanaan daripada hidup tapi terabaikan.
Sementara saya akan mengakhiri tulisan ini, sebuah lagu dalam bahasa Batak ciptaan Deny Siahaan terdengar merdu di telinga saya. Inti dari lagu tersebut adalah sebuah ajakan dari seorang lansia kepada anak-anaknya: Â "Berbuat baiklah kepada orangtuamu selagi orangtuamu masih hidup."
So marlapatan marende, margondang, marembas hamu molo dung mate au. So marlapatan nauli, na denggan patupaon mu molo dung mate au.
(Tak ada artinya kamu bernyanyi, menabuh gendang dan menari kalau aku sudah meninggal. Tak ada artinya hal baik yang kamu lakukan kalau aku sudah meninggal).
 Uju di ngolungkon ma nian tupa ma bahen angka na denggan. Asa tarida sasude holong ni roha mi mar natua-tua i.
(Semasa hidupku inilahlah kamu melakukan hal-hal yang baik, agar terlihat cinta kasihmu terhadap orangtuamu).
= = =
Okelah kalau begitu. Sekian saja dulu. Tapi kalau kamu memandang tulisan saya ini penting dan bermanfaat, silakan bagikan tulisan ini kepada sahabat dan keluarga yang membutuhkannya.
Selamat menjalankan gaya hidup sehat dan tetap semangat!
Bekasi, 28 Juni 2021
Si-Iman
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI