Kamu yang mencari seonggok emas dengan menjadi pemilik atau pemimpin perusahaan pasti pernah stres ketika memikirkan kelangsungan hidup perusahaanmu. Kamu mungkin mengalami gangguan memori dan mudah kehilangan konsentrasi.
Kamu yang menjadi seorang ayah atau ibu bagi anak-anakmu pasti pernah stres ketika kamu tidak mengerti kenapa anak-anakmu masih saja terus menangis. Kamu mungkin menjadi cemas dan kehilangan akal dan mungkin saja juga sampai kehilangan gairah seksual.
Bahkan, kamu yang menderita diabetes pasti pernah mengalami stres, entah itu ketika akan memeriksa kadar gula darahmu atau justru setelah pemeriksaan kadar gula darah yang menunjukkan tingginya kadar gula darahmu.
Stres tidak mengenal jenis kelamin. Stres juga tidak mengenal usia. Stres juga tidak mengenal pangkat atau derajat sosial seseorang. Stres juga tidak mengenal agama seseorang. Stres dapat menghampiri siapa saja, termasuk saya dan kamu yang sedang menulis dan membaca tulisan ini. Gila ya si stres ini? Kayak membabibuta aja dia menyerang siapa saja yang bisa diserangnya.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mendefinisikan stres sebagai reaksi seseorang baik secara fisik maupun emosional (mental/psikis) apabila ada perubahan dari lingkungan yang mengharuskan seseorang menyesuaikan diri.
Artinya, stres itu adalah suatu hal yang alami dan biasa terjadi di dalam kehidupan. Stres itu biasanya bersifat sementara dan akan berakhir begitu penyebabnya diatasi.
Dilansir dari medicalnewstoday.com, beberapa penelitian menunjukkan bahwa stres sekaligus berkontribusi terhadap dan sebagai konsekwensi dari penyakit diabetes. Stres berat yang berkepanjangan dapat menyebabkan seseorang terkena diabetes. Sebaliknya, diabetes dapat menyebabkan seseorang menjadi stres.
Saat kamu mengalami stres, entah karena menghadapi tekanan, ancaman, dan sesuatu yang baru, termasuk karena kegembiraan dan semangat yang terlalu berlebihan, maka tubuhmu akan merespon dengan mengeluarkan beberapa hormon. Salah satu hormon yang dihasilkan adalah kortisol yang dikenal juga sebagai hormon stres. Semakin berat stres yang terjadi di dalam tubuhmu, maka semakin meningkat pula kortisol yang diproduksi oleh tubuhmu.
Naiknya kadar kortisol di dalam darah akan meningkatkan kadar gula darah melalui proses metabolisme glukoneogenesis di dalam hati. Ini adalah proses pembuatan glukosa dari senyawa non karbohidrat seperti protein dan lemak di dalam tubuh. Dan naiknya kadar gula darah akan merangsang pankreas untuk memproduksi insulin lebih banyak lagi sebagai respon tubuh untuk menurunkan kadar gula darah ke kisaran normal dengan cara memasukkan glukosa ke dalam sel-sel otot dan hati. Tapi ketika stres berat masih terus berkepanjangan, maka kortisol masih akan terus dihasilkan. Begitulah seterusnya menjadi seperti lingkaran setan yang menakutkan.
Kebayang gak kalau sekiranya justru seorang diabetesi yang mengalami stres berat yang berkepanjangan? Seberapa banyak glukosa yang akan dihasilkan dari proses glukoneogenesis karena stres berat dan berkepanjangan itu? Seberapa tinggi kadar gula darah yang akan terjadi karena stres berat dan berkepanjangan itu? Padahal seorang diabetesi sudah mengalami resistensi insulin di dalam tubuhnya. Komplikasi-komplikasi diabetes yang mengancam nyawa akan menjadi semakin cepat datang dan tak terhindarkan.
Karena itu, banyak peneliti sependapat bahwa penurunan stres berdampak positif dalam pengendalian kadar gula darah. Semua kita, khususnya sesama diabetesi, perlu mengelola stres agar tidak berdampak buruk terhadap penyakit diabetes yang sedang diderita. Tapi bagaimana caranya?