Realitas imajinatif telah memaksa diterima umum yang seringkali
menafikan realitas aktual yang bersifat substansial ( Prof. Irwan Abdullah)
Upaya mengenalkan diri caleg dan parpol telah memaksa kreatifitas caleg dan parpol untuk seefektif mungkin dapat dikenal oleh warga dan bila ada kesempatan cara yang digunakan juga sebagai cara efektif untuk bisa dipilih. Berbagai media digunakan untuk mengenalkan dirinya dari media sederhana seperti spanduk sampai kepada media elektronik yang dikenal sangat mahal. Dalam konteks ini kreatifitas terlahir karena persaingan dan tuntutan warga yang semakin komplek. Namun yang menjadi persoalan adalah ketika kreatifitas tidak lagi memperhatikan batas-batas ideologi parpolnya, tidak lagi mencerminkan karakteristik dari parpolnya dan tidak memandang lagi apakah yang dilakukan tersebut akan memberikan dampak terhadap pemahaman ideologi parpolnya. Akhirnya kreatifitas telah memaksa aktifitasnya menjadi tindakan yang tidak lagi mendasarkan kepada ideologi parpol.
Kreatifitas, telah memaksa perilaku parpol untuk diterima oleh warga. Hal-hal yang tadinya dianggap simbol-simbol ideologi parpol tak lagi tampak dalam media kampanye. Inilah yang saya katakan dalam tulisan lalu, sebuah perilaku yang lepas dari induk idelogi parpolnya. Apakah ini sebuah kesalahan ? tentu tidak. Saya pun tidak kuasa untuk mengatakan penilaian terhadap hal tersebut, saya hanya ingin mengatakan bahwa sebaiknya kondisi apapun sebaiknya ideologi parpol tetap menjadi “ruh” dalam setiap akktifitas dan simbol-simbol yang diperlihatkan kepada warga termasuk media dalam kampanye.
Cerminan perubahan perilaku dalam dalam kampanye menjadi ukuran kekuatan dan kesungguhan dalam memegang ideologi. Dalam kondisi tuntutan warga yang komplek hanya parpol dan caleg yang kental dengan ideologi sajalah yang akan bertahan dan mampu mengendalikan keratifitasnya agar tidak keluar dari falsafah parpol. Kondisi tuntutan tak merubah sikapnya untuk menggeser ideologinya yang telah membesarkan parpolnya dalam meningkatkan “ruh” serta menumbuhkan keyakinan organisasi. Tantangan lainnya dalam menghadapi sikap seperti ini adalah realitas imajinasi. Mimpi menjadi seorang anggota legislatif tak lagi didasari oleh semangat merealisasikan ideologi dalam wujud pengabdian kepada masyarakat tetapi lebih terdorong karena akan mendapatkan fasilitas dan prestise sosial. Mimpi yang tidak mendasar tersebut kemudian menjadi sebuah prinsip “ yang penting”. Prinsip ini kemudian berkembang menjadi aktifitas dan kreatikfitas dalam bentuk apapun, yang penting popular dan menang dengan cara apapun ditempuh termasuk menggeser sedikit-demi sedikit prinsip-prinsip dan nilai-nilai ideologinya.
Akhirnya dalam kontestasi parpol tersebut warga tak lagi melihat sebuah persaingan sehat untuk memperjuangkan ideologi tetapi sebuah persaingan kreatifitas yang lepas dari budaya dan ideologi parpolnya. Padahal dalam penantian pesta demokrasi yang ditunggu adalah sebuah manifestasi ideologi yang mendasarkan kepada ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi kerakyatan untuk keadilan bangsa dan itulah cita-cita demokrasi Indonesia sekaligus demokrasi yang membedakan dengan negara-negara lain serta” bukan demokrasi yang penting diterima”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H