Satu balabba rerata beratnya 17 kg. Dari kalkulasi ini bisa kita simpulkan bahwa sagu basah dengan Rp 35 ribu per kg, bisa tiga – empat kali lipat naiknya jika dijual dalam bentuk sagu kering.
Nah, ini menjadi problem kita, problem petani sagu, di satu sisi sangat menggiurkan, tapi di sisi lain tidak didukung peralatan yang mumpuni. Padahal prospek sagu secerah pagi, sebening embun, dan sindah senja.
Mereka berhasil membuat mie sagu yang kualitasnya tidak berbeda jauh dengan mie yang ada di pasaran. Di tempat lain, KWT Buangin Jaya juga melakukan praktek pengolahan pangan lokal.
Lagi-lagi sagu dijadikan sumber olahan pangan. Dan makanan khas Palembang, mpek mpek singkong, dengan menggunakan tepung sagu kering menjadi makanan yang dijadikan objek praktek. Luar biasa, hasilnya pun tak kalah nikmat dengan mpek mpek Palembang.
“Lebih menguntungkan kalau kita jual kering, tapi sayangnya kita tak punya alat pengeringnya.” Kalimat yang dilontarkan Ketua Poktan Sikarampa menjadi penutup dari tulisan ini, sekaligus menjadi perenungan bagi kita semua yang peduli pada kelestarian sagu, bahwa kelestarian sagu menjadi pekerjaan rumah bagi kita, bagi pemerintah, dan bagi siapa saja yang merasa peduli pada tanaman yang produktivitasnya sangat tinggi tersebut, utamanya dalam memenuhi kebutuhan akan alat modern yang selama ini menjadi dambaan para petani sagu.
(Lukman Hamarong)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H