Saya ingin kembali memutar mesin waktu di era 1980-an. Sebuah era di mana “perselingkuhanku” dengan sepak bola dimulai. Saat itu saya masih berumur enam tahun ketika Piala Dunia 1986 digelar di Meksiko, dan masih duduk di kelas 1 SD. Saat itu pula saya “jatuh cinta” pada sebuah negara bernama Argentina. Saya pun saat itu mendeklarasikan diri sebagai fans sejati Argentina dan menganggap negara penghasil Anggur tersebut sebagai negara kedua saya sesudah Indonesia untuk urusan sepak bola. Terlebih lagi, Argentina diperkuat Diego Armando Maradona, bintang muda bertalenta istimewa. Meski berpostur pendek, Maradona menjadi primadona di Meksiko 1986.
Sepanjang gelaran Piala Dunia 1986, Argentina menjadi daya tarik tersendiri bagi saya. Semua laga yang melibatkan Argentina selalu saya nonton, meski harus bermalam di rumah teman. Kebetulan rumahnya persis di belakang rumah saya. Untuk menonton bola, saya terpaksa harus meminta izin sama orang tua untuk bermalam karena hampir seluruh laga kick off-nya dimulai pada pagi dini hari. Waktu itu di rumah saya belum ada televisi. Sebagai satu-satunya stasiun televisi saat itu, TVRI memanjakan kami dengan siaran sepak bola piala dunia.
Moment yang paling saya kenang, yang hingga kini tak bisa hilang dari ingatan saya, adalah moment di mana Maradona menciptakan gol dari tengah lapangan kontra Inggris dengan melewati lima pemain Inggris. Ya, kala itu Argentina menyingkirkan Inggris 2-1 di babak perempatfinal. Satu gol lainnya tak kalah heboh. Maradona memasukkan bola lewat bantuan tangannya yang kemudian melegenda dengan sebutan “Hand of God” goal. Maradona 2 Inggris 1. Maradona betul-betul menjadi daya magis dan membawa Argentina melenggang ke final menantang Jerman (Barat), setelah sebelumnya menyingkirkan Belgia 2-0 di semifinal.
Laga final tak terlewatkan, meski saya harus (lagi-lagi) begadang di rumah teman. Lawan yang dihadapi adalah Jerman (Barat). Rivalitas Argentina dan Jerman dimulai. Meski diunggulkan, terlebih Argentina bermain di tanah Amerika, tidak mudah bagi Argentina menaklukkan Jerman (Barat). Unggul 2-0 di babak pertama, Argentina malah mendapat perlawanan sengit dari Jerman di babak II. Hasilnya, Jerman menyamakan kedudukan menjadi 2-2. Di penghujung waktu normal, Argentina mengunci kemenangan bersejarah lewat gol Jorge Burruchaga. Kedudukan akhir 3-2. Argentina bersama Maradona-nya menjadi kampiun untuk kali kedua, setelah Mario Kempes dkk melakukannya di Piala Dunia 1978.
Mesin waktu kembali kuputar menuju tahun 1990. Saya masih ingat, kala Piala Dunia 1990 digelar di Italia, saya masih duduk di bangku kelas 5 SD menuju naik ke kelas 6 SD. Dan dalam keadaan selesai disunat, saya masih menyempatkan menonton beberapa laga di Piala Dunia, utamanya yang melibatkan negara-negara besar, seperti Argentina, Jerman Barat, Italia, Brasil, Inggris dan Uruguay. Singkat cerita, dua finalis Piala Dunia 1986 kembali bersua di laga final. Bagi Jerman (Barat), inilah saatnya untuk melakukan balas dendam. Beda dengan Jerman (Barat) yang begitu perkasa di awal turnamen, Argentina malah sebenarnya tampil tidak terlalu istimewa meski Maradona masih bermain. Di partai pembuka saja, Claudio Caniggia dkk ditundukkan debutan dari Afrika, Kamerun, dengan skor tipis, 1-0.
Akhirnya pada laga final, Jerman mampu membalas kekalahannya di final 1986 dengan skor tipis, 1-0. Gol semata wayang diciptakan pemain belakang, Andreas Breahme, lewat titik putih yang berbau kontroversial. Argentina menangis, Maradona menangis, dan harus pulang ke negaranya dengan predikat runner-up. Pada Piala Dunia berikutnya, Argentina selalu gagal menembus final. Piala Dunia 1994 langkah Argentina terhenti di babak 16 besar. Piala Dunia 1998, hanya sampai di perempatfinal. Pada Piala Dunia 2002, Argentina malah kandas di babak penyisihan grup. Piala Dunia 2006 dan 2010, langkah Argentina terhenti di Perempatfinal.
Nah, Piala Dunia 2014 kini sudah mendekati ujung. Lagi-lagi laga final mempertemukan Argentina dan Jerman. Meski sudah tidak membawa embel-embel “Barat” di belakang namanya, Jerman tetaplah sebuah tim yang sama dengan Jerman Barat 1986 dan 1990. Masih mengandalkan kekuatan fisik pemainnya yang tinggi menjulang dan penuh power. Penantian yang cukup panjang dan saya mengharapkan ending-nya adalah senyum kemenangan. Kebanggaanku “menanam” warna putih dan biru langit di hatiku tak pernah luntur. Sejak era Gabriel Batistuta, Juan Riquelme, Hernan Crespo hingga Lionel Messi, saya selalu bersabar menunggu kabar gembira itu. Akhirnya, 24 tahun adalah waktu yang tepat untuk melihat Argentina kembali berlaga di final Piala Dunia. Dua kata buat Messi; JADILAH LEGENDA (Lukman Hamarong)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H