Mohon tunggu...
Lukman Hamarong
Lukman Hamarong Mohon Tunggu... Administrasi - Sangat sulit menjadikan aku seperti kamu, karena aku adalah aku, kamu ya kamu

Mengalir seperti air

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

Ketegaran Hati Seorang Lionel Messi

14 Juli 2014   21:27 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:21 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gol Mario Goetze di menit ke-113 membuyarkan harapan Lionel Messi menyamai prestasi Diego Maradona di Piala Dunia 1986. Hasil itu lagi-lagi menempatkan Argentina di bawah Jerman seperti pada Piala Dunia 1990 di Italia, di mana Argentina juga tunduk dengan skor identik di final. Argentina menangis. Bahkan hampir sebagian besar pemainnya juga turut larut dalam kesedihan dan nampak menangis meratapi kegagalan tersebut. Pemandangan tersebut sangat kontras dengan ekspresi pemain Jerman yang tertawa, tersenyum, berteriak histeris, sesekali menari-nari, mencium dan memeluk para istri/pacar mereka, bahkan ada yang menggendong buah hati mereka sambil berloncat-loncat ria di sisi lapangan Stadion Maracana.

Pemadangan seperti itu sangat wajar dan lazim terjadi. Apalagi levelnya sekelas Final Piala Dunia. Namun pemandangan lain dari yang lain ditunjukkan Messi. Meski terpukul akibat kekalahan tersebut, Messi menunjukkan ketegaran hatinya. Dia tidak meratapi kegagalan dengan linangan airmata, melainkan tetap tegar berdiri di tengah situasi yang tidak memihak dirinya, di mana ia kembali memikul beban akibat gagal membawa Argentina merengkuh trofi Piala Dunia untuk kali ketiga. Setelah percobaan itu dia lakukan sejak Piala Dunia 2006 di Jerman dan Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan.

Coba kita bandingkan dengan pemain-pemain Argentina lainnya. Sangat kontras ketika kita melihat Kun Aguero, Angel Di Maria, Javier Mascherano, Marcos Rojo, dan Fernando Gago, yang sangat meratapi kegagalan tersebut. Airmata yang keluar dari kelopak mata pemain mencerminkan kesedihan yang luar biasa mendalam, bahkan pelukan sang pelatih Alejandro Sabella pun belum cukup menenangkan hati mereka yang telanjur terluka. Di saat yang lain menangis sejadi-jadinya, Messi tampak berdiri kokoh dengan pandangan yang agak rendah, seolah menahan rasa perih akibat kekalahan tipis tersebut, sembari menyaksikan pemain Jerman melakukan selebrasi kemenangan. Messi pantang mengeluarkan airmata kesedihan.

Messi tahu betul bahwa untuk menjadi pemain yang hebat dan diakui dunia, tidak perlu mengangkat trofi Piala Dunia, karena kebintangan seseorang tidak hanya diukur seberapa banyak dia memegang trofi Piala Dunia, melainkan seberapa banyak ia mempersembahkan gelar bergengsi buat klubnya, negaranya maupun prestasi dan penghargaan individu yang diraihnya. Coba kita lihat Pele dan Maradona. Meski sudah merasakan indahnya mengangkat trofi berlapiskan emas 18 karat tersebut, namun pernahkah mereka menyentuh “Si Kuping Besar”? Pun dengan Zinedine Zidane. Pemain berdarah Aljazair ini sudah merasakan manisnya juara Piala Dunia, Piala Eropa serta gelar Ballon d’Or. Tapi coba tanyakan kepadanya, apa dia sudah memegang trofi Ballon d’Or sebanyak empat kali? Semua pemain punya moment tersendiri untuk menunjukkan kualitasnya, dan Messi mampu melakukannya lebih banyak dibanding bintang yang sudahmelegenda. Plus, trofi Golden Ball sebagai Pemain terbaik Piala Dunia 2014 yang kembali menambah pengakuan dunia akan kehebatan seorang Lionel Messi.

Messi bukan tanpa prestasi di level negara. Dirinya sudah pernah mengharumkan nama Argentina di Piala Dunia U-20 tahun 2005 dan keluar sebagai top skor dan pemain terbaik. Pun di Olympiade Beijing 2009 silam. Medali emas dan gelar top skor adalahpersembahan terindah Messi buat negaranya. Coba kita tanyakan kepada rival abadinya, Cristiano Ronaldo, yang sudah merengkuh dua trofi Ballon d’Or dan dua trofi Liga Champion. Apa prestasi CR7 buat negaranya sejauh ini? Tidak ada. Jadi, sekali lagi Messi secara tidak langsung mengirim pesan kepada dunia bahwa tanpa trofi Piala Dunia, dirinya tetap akan dikenang sebagai salah satu pesepak bola terbaik, tersukses di dunia, dan tentunya akan dikenang sebagai legenda sepak bola paling unik. Itulah kenapa Messi tidak perlu meratapi kegagalan dengan tangisan yang tentunya akan menambah beban bagi dirinya di kemudian hari. Mengingat usianya yang sebenarnya masih tergolong muda, 27 tahun.

Leo, kami tak perlu menuntutmu mendapatkan Piala Dunia buat Argentina. Kami hanya ingin engkau tampil menghibur dengan segala kelebihan yang kau punyai. Biarkan orang mencibirmu karena kegagalan ini adalah awal kesuksesan di masa datang. Mungkin statemen Jose Mourinho berikut ini bisa menguatkan klaim saya tersebut; "Amat mudah untuk menghormati dirinya ketika ia menang. Namun, ketika ia kalah, hal tersebut tidak terlalu mudah. Ia masih merupakan pemain yang sudah membuat sejarah. Ia tidak perlu jadi juara dunia untuk menjadi pemain yang bersejarah”. Ungkapan Mou membuat saya semakin yakin, tanpa trofi itu Messi tetaplah seorang pemain terbaik sepanjang masa. Barcelona menanti aksimu di musim 2014-2015. (Lukman Hamarong)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun