Mohon tunggu...
Imam Wiguna
Imam Wiguna Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan swasta

Karyawan swasta, ayah dua anak, tinggal di Bogor.

Selanjutnya

Tutup

Nature

Olah Air Hujan Jadi Air Minum Menyehatkan

17 September 2018   14:03 Diperbarui: 17 September 2018   14:07 535
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Selama ini air hujan selalu terbuang sia-sia ke selokan dan sungai-sungai.

PT Bina Sarana Swadaya mengolah air hujan menjadi air minum berkualitas dengan teknologi elektrolisis.

PT Bina Sarana Swadaya di Kota Depok, Jawa Barat, menampung air hujan dengan tangki berkapasitas 1.000 liter agar tidak terbuang sia-sia ke selokan dan sungai-sungai. Perusahaan yang bernaung di bawah Yayasan Bina Swadaya itu memanfaatkan air hujan untuk menyiram tanaman sekaligus sebagai sumber air minum sehat. Untuk menghasilkan air minum sehat, PT Bina Sarana Swadaya menggunakan teknologi elekstrolisis.

Petugas PT Bina Sarana Swadaya mengendapkan air hujan minimal 2 jam dan memasukkan ke dalam tangki berkapasitas 300 liter. Bagian sisi tabung dilubangi kemudian dipasangi pipa yang menghubungkan dengan sebuah tangki lain berkapasitas sama. Pada tutup tangki itu terpasang lempengan baja nirkarat. Di ujung lempengan baja nirkarat bagian dalam tutup terdapat gulungan kawat titanium berbentuk spiral.

Tingkatkan kualitas air

Jika tangki itu terisi, maka kawat spiral itu terendam air saat tangki ditutup. Adapun ujung plat di bagian luar tutup tangki terhubung dengan adaptor yang mengubah arus listrik bolak-balik atau alternating current (AC) dari jaringan menjadi arus listrik searah atau direct current (DC). Arus listrik bermuatan positif mengalir pada plat salah satu tangki dan muatan negatif pada tangki satunya lagi. Arus listrik itu mengelektrolisis air hujan di dalam tangki.

Air hujan pada tangki yang dialiri arus listrik bermuatan positif menghasilkan air yang bersifat asam atau tingkat keasaman (pH) kurang dari 7. Adapun air pada tangki yang dialiri arus listrik bermuatan negatif menghasilkan air hujan yang bersifat basa atau pH lebih dari 7. Air basa itulah yang dikonsumsi sebagai air minum untuk para karyawan PT Bina Sarana Swadaya dan Yayasan Bina Swadaya.

Menurut direktur PT Bina Sarana Swadaya, Emilia Tri Setyowati Nugrahaningrum,S.P. pembuatan instalasi pengolahan air minum itu mengadopsi teknologi elektrolisis. Teknologi  itu dikembangkan Vincentius Kirjito di Pastoran Sanjaya, Muntilan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Pada Juni 2018 Kirjito hadir di Yayasan Bina Swadaya untuk berbagi tentang teknologi elektrolisis air hujan untuk menghasilkan air minum sehat.

Kirjito giatkmengampanyekan pemanfaatan air hujan sejak bertugas di Desa Kemalang, Kecamatan Deles, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, pada 2001---2010. Ketika itu ia bertugas di daerah berketinggian 2.911 meter di atas permukaan laut itu selama 9 tahun. Desa yang hanya sekitar 5 km dari puncak Gunung Merapi itu tidak memiliki sumber air meski terletak di lereng gunung.

"Sehari-hari mereka hanya mengandalkan air hujan dari tampungan. Kalau habis, menunggu mobil tangki air bantuan dari berbagai pihak," kata Kirjito. Meski demikian, warga Kemalang sehat. Anak-anak pun lincah dan aktif. Ia menjadi yakin air hujan menyehatkan meski secara visual tidak sebersih air tanah.  Kirjito meningkatkan kualitas air hujan dengan mengolahnya menjadi air basa dengan teknik elektrolisis.

Air hujan ditampung dalam tangki dan diolah dengan teknik elektrolisis.
Air hujan ditampung dalam tangki dan diolah dengan teknik elektrolisis.
Faedah air basa

Menurut Kirjito air basa berfaedah amat besar. Faedah itu ia rasakan pascaoperasi pemasangan cincin pada jantungnya. Ia merasa tubuhnya lebih bugar setelah minum air basa. Menurut dokter di Denpasar, Bali, dr. Frederik Kosasih, M.Repro, tubuh manusia selalu menghasilkan asam. Buktinya, "Keringat, napas, dan sisa kotoran pun bersifat asam," kata alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Bali itu.

Untuk menyeimbangkan keasaman itu diperlukan asupan basa. Sejak itu Kirjito aktif mengampanyekan konsumsi air hujan terelektrolisis. Ia memberi nama teknologi pengolah air hujan terelektrolisis itu dengan sebutan labora udan. Nama labora berarti bekerja dan udan diambil dari bahasa Jawa yang berarti hujan.

Saat kemarau, PT Bina Sarana Swadaya mengganti air hujan dengan air tanah. Anton, teknisi yang juga menjadi penanggung jawab produksi air basa di PT Bina Sarana Swadaya, mengatakan, "Dengan labora udan kita bisa mengetahui kualitas setiap sumber air tanah yang digunakan," ujarnya. Pasalnya, sebelum dielektrolisis, ia selalu mengecek kadar padatan terlarut atau total dissolved solid (TDS) menggunakan alat TDS meter.

TDS merupakan benda padat yang terlarut dalam air, seperti semua mineral, garam, logam, serta kation-anion. Menurut Anton air tanah yang layak minum bernilai TDS maksimal 300 ppm. Menurut Emilia PT Bina Sarana Swadaya tak hanya mengolah air hujan menjadi air basa untuk keperluan para karyawan. Ia juga menyediakan ruang pelatihan untuk menyosialisasikan teknologi labora udan kepada masyarakat.

Di sana terpajang beberapa perangkat elektrolisis yang terbuat dari stoples berkapasitas 5 liter sebagai alat peraga.  "Kami tidak menjual alatnya, tapi kami memberikan pelatihan agar masyarakat bisa membuat sendiri alatnya," tutur perempuan yang kerap dipanggil Emil itu. Hal itu sejalan dengan misi Kirjito yang menginginkan masyarakat merdeka untuk menyediakan sendiri air minum berkualitas.

Air hujan yang dielektrolisis menghasilkan air asam dan air basa. Air basalah yang dapat diminum dan menyehatkan.
Air hujan yang dielektrolisis menghasilkan air asam dan air basa. Air basalah yang dapat diminum dan menyehatkan.
Menurut pendiri Yayasan Bina Swadaya, Bambang Ismawan, teknologi labora udan mampu memberikan kontribusi untuk warga miskin, seperti di Jakarta dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Inovasi itu juga sejalan dengan salah satu misi Yayasan Bina Swadaya, yakni mengembangkan inovasi yang manfaatnya dirasakan terutama sekali oleh masyarakat miskin dan terpinggirkan.

Oleh sebab itu Bina Swadaya mengirim tenaga ahli untuk belajar, mendalami, dan mengembangkannya agar bermanfaat bagi daerah-daerah yang membutuhkan. Apalagi jumlah air yang tersedia, terutama saat kemarau, lebih sedikit ketimbang kebutuhan air penduduk. Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup, Pulau Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara, rawan kekeringan. Jumlah air saat kemarau di Pulau Jawa dan Bali hanya 25,3 miliar m3.

Jumlah itu lebih sedikit dari kebutuhan air mencapai 38,4 miliar m3. Menurut ketua Masyarakat Air Indonesia (MAI), Ir. Fatchy Muhammad, ketiga pulau itu semestinya tak kekurangan air bila memanfaatkan air hujan sebaik-baiknya. Fatchy menghitung, dengan asumsi curah hujan di Jakarta rata-rata 2.250 mm per tahun, maka jumlah air hujan mencapai 1,488375 miliar m3 per tahun.

Dengan kebutuhan air rata-rata 73 m3/orang/tahun, maka air hujan itu cukup untuk memenuhi kebutuhan 20 juta penduduk atau 2 kali jumlah penduduk Jakarta jika dikelola dengan baik. Selama ini sungai diperlebar agar air hujan segera mengalir ke laut. "Artinya, setiap tahun kita selalu membuang-buang air hujan. Padahal, jika diresapkan ke dalam tanah, air hujan akan menaikkan muka air tanah sehingga saat kemarau jumlah air tidak menurun drastis dan bisa dimanfaatkan," kata Fatchy. (Imam Wiguna)


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun