Mohon tunggu...
Imam Wiguna
Imam Wiguna Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan swasta

Karyawan swasta, ayah dua anak, tinggal di Bogor.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Srini dan Wanita Tani dari Lereng Merapi

29 Januari 2018   13:06 Diperbarui: 30 Januari 2018   09:41 2664
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Srini Maria. M, berhenti menjadi guru dan beralih menjadi petani. (Foto: Imam Wiguna)

Parsley atau peterseli, salah satu komoditas andalan Srini Maria. (Foto: Imam Wiguna)
Parsley atau peterseli, salah satu komoditas andalan Srini Maria. (Foto: Imam Wiguna)
Kelompok tani

Srini akhirnya menggeluti profesi sang ayah semula karena "terpaksa". Pada 2010 ia aktif melakukan pendampingan kepada masyarakat bersama organisasi sosial di lingkungan gereja. Sebagai bekal untuk materi pendampingan, Srini mengikuti program yang diselenggarakan Dinas Pertanian, Tanaman Pangan, dan Hortikultura Provinsi Jawa Tengah. 

Dalam program itu Srini bersama para petani lain melakukan studi banding tentang komoditas pertanian yang berpotensi ekspor ke Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. "Di antara peserta studi banding itu hanya saya yang bukan petani," tuturnya. Ia belajar budidaya sayuran organik di Pusat Pelatihan Organization for Industrial and Cultural Advancement (OISCA) di Karanganyar, Jawa Tengah.

Srini pun kebingungan saat panitia studi banding menugaskan para peserta untuk membuat rencana tanam. "Mereka kan petani beneran. Kalau saya mau tanam apa wong saya bukan petani," ujar istri Sukamta Leksy Wibowo itu. Karena bukan petani tulen, salah seorang staf Dinas Pertanian lalu menyarankan Srini untuk mengoordinir para petani perempuan dengan membentuk Kelompok Wanita Tani (KWT). Selanjutnya KWT membuat rencana tanam.

Srini menyambut baik ide itu. Sebagai aktivis kegiatan sosial ia juga ingin perempuan lebih berdaya, berperan aktif, dan tidak sekadar membantu para suami. Ia aktif mendatangi rumah warga hingga mengikuti acara arisan dan pertemuan ibu-ibu untuk mengajak kaum perempuan di dusunnya agar bergabung dalam KWT. Ia memanfaatkan kegiatan itu untuk menyampaikan materi tentang peluang membudidayakan sayuran yang berpotensi ekspor.

Dari berbagai upayanya itu Srini berhasil mengumpulkan 28 perempuan petani yang bersedia bergabung. Pada Juli 2010 KWT resmi berdiri dengan nama KWT Merapi Asri. Sebagai langkah awal program KWT, Srini memberi contoh dari kebun sendiri dengan mengebunkan buncis perancis di lahan milik sendiri seluas 400 m2. Ia memilih komoditas itu karena perawatannya relatif lebih mudah. Dari lahan seluas itu Srini mengekspor perdana hasil panen sebanyak 25-30 kg buncis perancis ke Singapura melalui pengepul sayuran asal Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.

Srini Maria bersama para peserta pelatihan budidaya sayuran organik. (Foto: koleksi Srini Maria)
Srini Maria bersama para peserta pelatihan budidaya sayuran organik. (Foto: koleksi Srini Maria)
Ekspor

Dua bulan berselang para anggota KWT lain mengikuti jejak Srini mengebunkan buncis baby-sebutan lain buncis perancis. Jumlah anggota KWT pun terus bertambah menjadi 42 orang. Tambahan anggota itu tak hanya berasal dari Dusun Gowokringin, tapi juga dusun tetangga, seperti Dusun Gowoksabrang dan Gowokpos. Bahkan ada juga anggota dari Desa Tlogolele, Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah.

Luas areal tanam buncis pun bertambah luas. Srini sendiri menanam buncis di lahan 1 hektar. Total luas areal tanam buncis seluruh anggota KWT mencapai 4 ha. Srini mengatur jangka waktu penanaman setiap pekan agar pasokan kontinu. "Ketika itu sekali tanam sebanyak 5 kg benih," ujar ibu tiga anak itu. Dari luas areal tanam itu Srini dan anggota KWT mampu memanen rata-rata 100 kg bunci per hari. 

Dari jumlah panen itu 70% di antaranya termasuk grade A untuk pasar ekspor. Cirinya panjang buncis seragam antara 10-12, bentuknya lurus, dan mulus. Buncis ukuran itu dapat diperoleh bila panen pada umur 30 hari setelah tanam. Srini menjual buncis grade A dengan harga Rp10.000 per kg.

Sebanyak 10% dari hasil panen masuk grade B karena buncis berukuran terlalu besar. Harga jual grade B Rp5.000 per kg. Aapun sisanya masuk grade C karena ukuran terlalu kecil, bentuk tidak lurus, dan ada cacat. Harga jual grade C hanya Rp1.500 per kg. Ia menjual buncis grade B dan C ke pengepul di pasar tradisional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun