Rizal Fahreza, S.P, belum pernah menggunakan ijazahnya untuk melamar kerja.
Ijazah sarjana pertanian dari Institut Pertanian Bogor (IPB) itu kini tersimpan rapi di lemari Rizal Fahreza, S.P. Pemuda asal Kabupaten Garut, Jawa Barat, itu belum pernah menggunakannya untuk melamar kerja seperti para sarjana pada umumnya. Saat lulus ia malah kembali ke kampung halamannya di Kecamatan Cikajang, Kabupaten Garut. Di sana ia mengelola kebun jeruk yang ia rintis sejak masih kuliah pada 2013.
Rizal mengebunkan 1.400 pohon jeruk jenis siam asal Garut di lahan 1,2 hektare. "Dari populasi itu yang tersisa saat ini sekitar 1.200 pohon karena ada beberapa pohon yang tumbuh kurang optimal dan mati," ujar alumnus Program Studi Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian IPB itu. Ia mulai panen perdana pada 2016. Kini Rizal memanen rata-rata 5---10 kg jeruk dari setiap pohon per tahun.
Agrowisata
Rizal menjual hasil panen kepada para pengunjung yang datang ke kebun. Sejak Februari 2017, Rizal membuka kebun untuk dikunjungi masyarakat umum. "Jadi konsepnya sebagai kebun edukasi dan agrowisata," tutur anggota Dewan Pakar Himpunan Alumni IPB 2013---2017 termuda itu.Â
Di kebun yang berlokasi di Kampung Leuwiereng, Desa Mekarsari, Kecamatan Cikajang, Kabupaten Garut, itu para pengunjung dapat memetik sendiri  buah jeruk yang sudah matang. Cirinya kulit buah sudah mulai bersemburat kuning. Setelah dipetik, pengunjung menimbang hasil petik lalu membayarnya di kasir. Rizal membandrol harga jual jeruk Rp20.000 per kg. Kebun edukasi dan agrowisata berjuluk Eptilu---diambil dari akronim Fresh from Farm (F3)---itu  juga menyediakan beberapa saung bambu di beberapa titik di dalam area kebun. Di sana para pengunjung dapat beristirahat dan menikmati hidangan nasi liwet khas Parahyangan.
Menurut Rizal dengan konsep kebun edukasi dan agrowisata itu mampu menyerap hasil panen hingga 600 kg jeruk per bulan. "Terkadang kami kekurangan pasokan karena saat pengunjung datang jumlah buah yang siap panen sedikit. Kekurangan itu saya tutupi dengan jeruk dari pekebun mitra," kata pemuda 25 tahun itu.
Konsep kebun edukasi dan agrowisata jeruk itu adalah hasil inovasi Rizal bersama tim, yaitu Chikameriana Adyanisa, S.Komp. dan Dasep Badrusallam, S.T. Sebelumnya Rizal bersama kedua rekannya hanya fokus menggenjot produksi. Ia membudidayakan jeruk secara intensif, lalu menjual hasil panen kepada konsumen. "Pada awalnya kami menyasar niche market (pasar khusus, red)," tutur anak ketiga dari lima bersaudara itu. Ia menjual hasil panen kepada perusahaan-perusahaan katering, koperasi karyawan di perusahaan-perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan hotel bintang lima di kawasan Jakarta dan Kota Bogor, Jawa Barat.
Karena target pasarnya kalangan khusus, Rizal hanya menjual jeruk berkualitas prima. Oleh sebab itu ia menyortir hasil panen menjadi dua grade, yaitu besar dan sedang. Grade besar terdiri atas jeruk berukuran sekilogram isi 8---9 buah, sedangkan grade sedang sekilogram isi 10---12 buah. Di luar kedua grade itu berakhir sebagai jeruk peras. Rizal menjual jeruk yang lolos sortir dengan harga Rp17.000---Rp20.000 per kg. Ia mengemas jeruk dalam dus karton berisi 3 kg per dus.
Harga jual itu relatif terjangkau. Di salah satu pasar swalayan di Kota Bogor, harga sekilo jeruk lokal berkisar Rp19.000---Rp26.000 per kg. Menurut Rizal dengan harga jual itu masih meraup keuntungan. Padahal, ia harus mengeluarkan biaya kirim dari Garut ke Kota Bogor. Dari Kota Hujan ia mendistribusikan jeruk kepada para pemesan di seputar Jabodetabek. Rizal menuturkan biaya produksi jeruk di kebunnya rata-rata Rp3.500 per kg.
Itulah sebabnya jeruk produksi Rizal laris manis. Bahkan ia pernah kewalahan melayani permintaan sehingga terpaksa membeli jeruk dari pekebun lain di Kabupaten Garut. "Namun, karena tidak dibina sebelumnya, ternyata kualitas jeruk dari pekebun itu mengecewakan," tutur salah satu pendiri gerakan Revolusi Oranye, yaitu kampanye pengembangan buah nusantara dalam skala perkebunan yang digagas IPB.
Namun, Rizal tak ingin hanya fokus menggenjot produksi jeruk. "Saya juga ingin membuat pusat pembelajaran pertanian," tutur pemuda kelahiran 8 Mei 1991 itu. Ia juga berharap dapat menjadi contoh bahwa bertani itu keren dan kekinian. "Sektor pertanian juga bisa menjadi salah satu pilihan karir yang penghasilanya setara dengan sektor lain, seperti lembaga keuangan, konsultan, dan produsen produk konsumsi," jelasnya.
Pada 2016 ia bersama rekannya, Chikameriana Adyanisa, S.Komp., dan kakak kandung Rizal, Dasep Badrusallam, S.T., mendirikan kebun edukasi bernama Eptilu. Nama itu diambil dari pelafalan akronim Fresh from Farm (F3) dalam dialek bahasa Sunda. Dalam mengelola Eptilu ketiganya berbagi tugas. Chikameriana bertugas sebagai marketing dan Dasep bertanggung jawab dalam pengembangan bisnis. "Alhamdulillah setiap minggu mulai banyak pelajar serta mahasiswa dari beberapa perguruan tinggi seperti IPB, Universitas Padjadjaran (Unpad), Universitas Garut (Uniga), dan perguruan tinggi swasta lokal lain yang berkunjung ke kebun kami," ujarnya. Bahkan para pejabat di lingkungan Kabupaten Garut dan Provinsi Jawa Barat pun pernah menyambangi kebun Eptilu.
Sayangnya sejak mendirikan Eptilu dan membuka kebun edukasi dan agrowisata, para konsumen di Jabodetabek seringkali tak kebagian pasokan karena buah selalu habis di kebun. Harap mafhum, pengunjung terus berdatangan meski saat hari kerja. "Kalau akhir pekan bahkan seringkali tidak tertampung," ujarnya. Untuk memenuhi kekurangan pasokan ia berencana bermitra dengan para pekebun jeruk lain di 4 kecamatan di Kabupaten Garut dengan total luas area tanam 14 ha. "Sebetulnya potensi jeruk di Kabupaten Garut yang sudah saya identifikasi mencapai 75 ha. Nanti secara bertahap akan kami perluas," ujar juara I Wirausaha Muda Pemula Berprestasi Tingkat Nasional 2016 dari Kementerian Pemuda dan Olahraga itu.
Ide Rizal mengembangkan jeruk sejatinya tercetus sejak 2012. Ketika itu ia bertemu dengan Ir. Achmad Syamsudin, M.B.A., yang juga alumnus IPB angkatan 21. Dalam pertemuan itu tercetuslah visi dan misi untuk membangun pertanian di Indonesia. Sebagai langkah awal, Rizal melakukan penelitian mengenai komoditas buah nusantara yang bernilai ekonomi tinggi. Salah satunya jeruk.
Menurut hitung-hitungan Rizal, jeruk memiliki peluang bisnis yang besar. Seandainya jumlah penduduk Indonesia sebanyak 200 juta jiwa dan 25% di antaranya mengonsumsi jeruk, maka kebutuhan jeruk nasional mencapai 3,7 juta ton per tahun. "Apalagi jeruk pernah menjadi ikon Kabupaten Garut," tutur peraih penghargaan Young on Top Duta Petani Muda Indonesia 2016 itu.
Itulah sebabnya saat Rizal lolos mengikuti International Agriculture Internship Program, program magang yang diselenggarakan IPB bekerjasama dengan The Ohio State University, Amerika Serikat, ia memilih magang di sebuah perusahaan produsen jeruk di Kalifornia. "Di sana saya dapat banyak ilmu tentang jeruk dan bisa saya terapkan untuk pertanian jeruk di sini," ujar putra dari Dikdik Sontani itu.
Meski baru berumur 7 purnama, Rizal senang kebun edukasi dan agrowisata Eptilu yang ia kembangkan ternyata turut membangkitkan ekonomi masyarakat sekitar. Pondok Pesantren Nurul Falah yang berlokasi di dekat kebun Eptilu memperoleh pendapatan tambahan dari karcis masuk dan jasa parkir. "Ada juga produsen makanan ringan skala rumahan milik masyarakat sekitar yang menitipkan produknya di kedai Eptilu," papar pria asli Garut itu.
Dengan berbagai upaya dan hasil yang telah dicapai pantas bila Rizal mewakili Indonesia sebagai salah satu penerima penghargaan pada  ajang Youth Social Entrepreneurs Award 2017 dari Assosiation of South East Asia Nation (ASEAN) dalam rangka ulang tahun ASEAN ke-50 di Filipina. "Namun, perjalanan masih panjang. Dari target 100%, baru tercapai 2%," tutur Rizal. (Imam Wiguna)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H