BPOM juga telah melansir sirup obat yang ditarik dari peredaran setelah terbukti mengandung cemaran EG DEG diatas ambang persyaratan, yaitu 0.1% dengan Tolerable Daily Intake (TDI) sebesar 0.5 mg/kg BB/hari.Â
Produk yang dicabut Nomor Izin Edar (NIE) nya adalah 6 produk sirup dari PT Yarindo Farmatama, 14 produk dari PT Universal Pharmaceutical, 49 produk dari PT Afi Farma, 6 produk dari PT Ciubros, 9 produk dari PT Samco, 32 produk dari PT Rama Emerald serta 1 sertifikat CDOB CV Samudra Chemical. Distributor obat (PBF) ini terbukti menyuplai bahan baku pelarut yang terbukti melebihi ambang batas cemaran EG DEG.
Adanya cemaran EG DEG ini terbukti berasal dari 4 jenis pelarut yang digunakan pada industri farmasi yaitu propilen-glikol (PG), polietilen-glikol (PEG), sorbitol dan gliserol. Keempat pelarut ini lazim digunakan dalam formulasi sediaan cair untuk memperbaiki sifat kelarutan yang kurang baik dari bahan baku seperti parasetamol.
Di dalam aspek Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB), industri farmasi wajib memenuhi aspek keamanan dan mutu produk akhir termasuk bahan baku obat. Untuk itu industri farmasi wajib memastikannya melalui certificate of analysis (CoA) setiap bahan baku atau pemastian mutu melalui uji laboratorium.
Setiap bahan baku yang digunakan, termasuk zat aktif, bahan penolong dan bahan tambahan, harus memiliki tingkatan pharmaceutical grade yang artinya memiliki kualitas yang baik untuk farmasi dan cemarannya sangat rendah sesuai dengan persyaratan Farmakope Indonesia (FI).
Adanya pemasukan bahan baku yang digunakan yang bukan pharmaceutical grade, tetapi chemical grade memiliki kualitas yang lebih rendah dan cemaran yang jauh di atas ambang persyaratan FI. Hal ini disebabkan karena harga bahan baku chemical grade jauh lebih murah ketimbang pharmaceutical grade. Sisi inilah yang dimanfaatkan oleh industri dan distributor farmasi nakal yang ingin mendapatkan profit yang lebih besar dengan mempertaruhkan nyawa anak-anak negeri ini.
Pengawasan Bahan Baku Obat Kewenangan Siapa?
Di dalam regulasi UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan pasal 105 ayat 1 disebutkan bahwa sediaan farmasi yang berupa obat dan bahan obat harus memenuhi syarat Farmakope Indonesia atau buku standar lainnya.
 BPOM sesuai dengan Perpres Nomor 80 Tahun 2017 Tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan, pasal 4 menjelaskan bahwa BPOM memiliki kewenangan dalam menerbitkan izin edar produk, pengujian obat dan makanan, melakukan intelijen dan penyidikan serta pemberian sanksi administratif.
Lalu pertanyaannya, pengawasan bahan baku merupakan kewenangan siapa? Bahan baku obat yang termasuk dalam non larangan dan pembatasan (non-lartas) seperti keempat jenis pelarut di atas, tidak membutuhkan Surat Keterangan Impor (SKI) dari BPOM dalam importasi ke negeri ini.
Keempat jenis pelarut tersebut juga digunakan di industri kimia seperti pada industri radiator kendaraan dan industri cat. Hal ini juga menjadi salah satu kelemahan masuknya bahan baku non-farmasi kedalam rantai produk farmasi.