Mohon tunggu...
Imam Tabroni
Imam Tabroni Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

hobi futsal

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

sejarah pajak dan pengaruhnya pada perekonomian dunia

10 Januari 2025   13:51 Diperbarui: 10 Januari 2025   13:51 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan. Pajak bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Pajak saat ini menjadi sumber penerimaan suatu negara, dana yang berhasil dikumpulkan itu akan dimanfaatkan untuk kemakmuran rakyat, seperti di Indonesia akan dialokasikan ke beberapa program pembangunan ekonomi. Semua itu tujuannya demi kemakmuran rakyat.

SEJARAH PAJAK DUNIA

Sejarah mencatat kehadiran pajak berawal dari peradaban masyarakat maju (Frecknall-Hughes, 2015). Awalnya dari ditemukannya beberapa dokumen berupa tulisan kuno berbentuk baji di Mesopotamia, sekarang lokasi itu dikenal sebagai negara Irak.

Dalam dokumen kuno itu menunjukkan pemungutan pajak dimulai sekitar 3300 sebelum masehi (SM). Pada saat itu objek pajaknya dalam bentuk emas, hewan ternak, dan budak yang diterima oleh kuil sebagai pusat kekuasaan dan simbol kemasyarakatan bangsa Sumeria (Smith, 2015).

Hal itu diceritakan oleh Darussalam selaku Managing Partner Danny Darussalam Tax Center (DDTC). Cerita sejarah kehadiran pajak ini pun hasil dari risetnya yang berasal dari banyak sumber. Beberapa sumber tersebut Jane Frecknall-Hughes, The Theory, Principles and Management of Taxation: An Introduction (New York: Routledge, 2015). Stephen Smith, Taxation: A Very Short Introduction (United Kingdom: Oxford University Press, 2015). Samuel Blankson, A Brief History of Taxation (New York: Lulu Inc., 2007). Ferdinand H.M Grapperhaus, Taxes through the Ages (The Netherlands: IBFD, 2009). Anthony Arlidge dan Igor Judge, Magna Carta Uncovered (United States: Hart Publishing, 2014).

Menurut dia, penemuan dokumen sejarah tertulis di Mesopotamia telah membuktikan bahwa pajak merupakan suatu subjek yang memiliki sejarah besar dan sangat panjang, yang praktiknya telah dilakukan sejak ribuan tahun lamanya.

"Sejarah pemungutan pajak pun tidak berhenti di Mesopotamia, tetapi juga merambah ke berbagai belahan dunia dengan bentuk pemungutan yang semakin berkembang," seperti dikutip dari riset Darussalam.

Bentuk awal pemungutan pajak juga ditemukan di Mesir Kuno sejak 3000 SM atau pada saat sistem pembayaran dengan mata uang belum dikembangkan seperti sekarang ini. Pembayaran pajak di Mesir Kuno dalam bentuk barang. Secara umum pemungutan di sana tidak jauh berbeda dengan di Mesopotamia, pembayar juga dilakukan dalam bentuk bagi hasil barang produksi dan pertanian serta pemberian pelayanan atau tenaga kerja.

Pada kala itu, Mesir Kuno pun sudah menetapkan beberapa barang atau produk yang dikenakan pajak, Ada beberapa objek pajak seperti gandum, minyak goreng, peternakan, bir, hasil pertanian lainnya, penggunaan sungai Nil untuk pengangkutan barang, serta perdagangan dengan pihak asing (Blankson, 2017).

Seiring waktu berjalan, pemungutan pajak dengan cara lebih modern mulai dipraktekkan oleh bangsa Yunani Kuno dan Romawi Kuno. Pemungutannya pada saat ini masih dalam bentuk barang, dan untuk beberapa transaksi tertentu seperti transaksi impor barang atau penjualan tanah sudah dilakukan dalam bentuk uang tunai.

SEJARAH PAJAK DI INDONESIA

Pemungutan pajak pun terus berkembang dan diterapkan oleh banyak negara di belahan dunia, termasuk di Indonesia. Sejarah pajak di Indonesia sebenarnya sudah dimulai jauh sebelum kedatangan bangsa Eropa dan Jepang ke Nusantara. Ketika itu rakyat Indonesia mengenalnya dengan istilah upeti, pemungutan jenis pajak yang bersifat memaksa.

Perbedaannya adalah upeti diberikan kepada raja, dan sebagai imbal baliknya maka masyarakat mendapat jaminan keamanan dan ketertiban dari raja. Pada saat itu, raja dianggap sebagai wakil Tuhan dan apa yang terjadi di masyarakat dianggap dipengaruhi oleh raja.

Meski begitu ada beberapa kerajaan seperti Majapahit, Demak, Pajang, dan Mataram mengenal sistem pembebasan pajak. Terutama pajak atas kepemilikan tanah yang biasa disebut tanah perdikan. Namun demikian memasuki era kolonialisasi mulai diberlakukan kembali.

Selama terjajah, pengenaan pajak dirasa sangat berat dan membebani. Selain monopoli aturan pengenaan pajak juga karena terjadi banyaknya penyelewengan oleh pemerintah kolonial sehingga kata pajak meninggalkan kesan negatif.

Namun demikian, setelah Indonesia merdeka babak baru sejarah pajak di Indonesia dimulai. Pada saat Sukarno-Hatta memimpin Indonesia, aturan pajak tertuang pada Pasal 23 UU Dasar 1945. Bunyinya, "Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan Undang-Undang".

Pemikiran dasar pada saat itu adalah negara harus memiliki sumber pembiayaan untuk bisa mandiri dan berdiri setara dengan bangsa lainnya di dunia. Ini menjadi babak baru sejarah pajak di Indonesia serta cikal bakal diperingatinya tanggal 14 Juli sebagai Hari Pajak.

Selang satu bulan kemudian, tepatnya pada 19 Agustus 1945 pemerintah membentuk Kementerian Keuangan dan menugaskan mengenai hal-hal yang menyangkut keuangan negara, salah satunya pajak
Penyempurnaan aturan pajak di tanah air pun terhambat lantaran pusat pemerintahan pindah ke Yogyakarta. Hal itu dikarenakan Agresi Militer Belanda Pertama yang dibonceng oleh NICA berhasil menguasai ibukota Jakarta. Dengan begitu pemerintah belum dapat mengeluarkan UU khusus pajak meskipun pasal 23 UUD 1945 sudah mengamanatkan

Dengan begitu pemerintah mengadopsi beberapa aturan pajak peninggalan pemerintahan kolonial untuk memutarkan roda pemerintahan. Salah satu beleid yang diadopsi adalah Ordonansi Pajak Pendapatan 1944 serta membentuk beberapa sub organisasi dalam melaksanakan pemungutan pajak. Seperti Jawatan Pajak, Jawatan Bea dan Cukai serta Jawatan Pajak Hasil Bumi pada Direktorat Jenderal Moneter.

Pemerintah menerapkan sistem official assessment, yaitu pemungutan pajak dengan cara penetapan oleh fiskus. Masyarakat sebagai wajib pajak bersifat pasif dan utang pajak akan timbul ketika Surat Ketetapan Pajak dikeluarkan. Meski begitu, sistem tersebut tidak mengubah banyak kondisi perekonomian nasional alias Indonesia masih menjadi negara miskin.

Kondisi ini semakin parah ketika Presiden Sukarno mengubah haluan politiknya lebih ke arah paham sosialisme Karl Max versi Indonesia. Akibatnya adalah kampanye politik luar negeri yang ekspansif dilakukannya sehingga menimbulkan dampak pengeluaran negara yang lebih besar. Sedangkan penerimaan negara dari pajak cenderung stagnan.

Puncaknya adalah ketika di tahun 1960-an, kala itu Sukarno gencar sekali menggalakkan proyek-proyek besar seperti pembangunan Senayan dan Monumen Nasional (Monas). Keputusan tersebut berdampak besar pada inflasi yang meroket hingga 500%, imbas lanjutannya terjadi pada rezim selanjutnya yang mulai terjadi gejolak ekonomi.

Home
Ekonomi Bisnis
Finansial
Infrastruktur
Energi
Fintech
Industri
Perencanaan Keuangan
Loker
Moneter
Bursa Valas
Market Research
Infografis
Foto
Video
Indeks

Yang sedang ramai dicari
Loading...
Terakhir yang dicari
Loading...
For Your Business
Ekonomi Hijau
Info Pangan
SolusiUKM
Kamus Finance

detikFinance
Berita Ekonomi Bisnis
Melihat Sejarah Pajak di Indonesia dan Dunia
Hendra Kusuma - detikFinance
Sabtu, 04 Jul 2020 10:04 WIB
Ilustrasi/Foto: Rachman Haryanto

Namun demikian, setelah Indonesia merdeka babak baru sejarah pajak di Indonesia dimulai. Pada saat Sukarno-Hatta memimpin Indonesia, aturan pajak tertuang pada Pasal 23 UU Dasar 1945. Bunyinya, "Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan Undang-Undang".

Pemikiran dasar pada saat itu adalah negara harus memiliki sumber pembiayaan untuk bisa mandiri dan berdiri setara dengan bangsa lainnya di dunia. Ini menjadi babak baru sejarah pajak di Indonesia serta cikal bakal diperingatinya tanggal 14 Juli sebagai Hari Pajak.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Selang satu bulan kemudian, tepatnya pada 19 Agustus 1945 pemerintah membentuk Kementerian Keuangan dan menugaskan mengenai hal-hal yang menyangkut keuangan negara, salah satunya pajak.

Baca juga:
Ini Perusahaan Digital yang Wajib Setor Pajak di RI
Penyempurnaan aturan pajak di tanah air pun terhambat lantaran pusat pemerintahan pindah ke Yogyakarta. Hal itu dikarenakan Agresi Militer Belanda Pertama yang dibonceng oleh NICA berhasil menguasai ibukota Jakarta. Dengan begitu pemerintah belum dapat mengeluarkan UU khusus pajak meskipun pasal 23 UUD 1945 sudah mengamanatkan.

ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT

Dengan begitu pemerintah mengadopsi beberapa aturan pajak peninggalan pemerintahan kolonial untuk memutarkan roda pemerintahan. Salah satu beleid yang diadopsi adalah Ordonansi Pajak Pendapatan 1944 serta membentuk beberapa sub organisasi dalam melaksanakan pemungutan pajak. Seperti Jawatan Pajak, Jawatan Bea dan Cukai serta Jawatan Pajak Hasil Bumi pada Direktorat Jenderal Moneter.

Pemerintah menerapkan sistem official assessment, yaitu pemungutan pajak dengan cara penetapan oleh fiskus. Masyarakat sebagai wajib pajak bersifat pasif dan utang pajak akan timbul ketika Surat Ketetapan Pajak dikeluarkan. Meski begitu, sistem tersebut tidak mengubah banyak kondisi perekonomian nasional alias Indonesia masih menjadi negara miskin.

Kondisi ini semakin parah ketika Presiden Sukarno mengubah haluan politiknya lebih ke arah paham sosialisme Karl Max versi Indonesia. Akibatnya adalah kampanye politik luar negeri yang ekspansif dilakukannya sehingga menimbulkan dampak pengeluaran negara yang lebih besar. Sedangkan penerimaan negara dari pajak cenderung stagnan.

Puncaknya adalah ketika di tahun 1960-an, kala itu Sukarno gencar sekali menggalakkan proyek-proyek besar seperti pembangunan Senayan dan Monumen Nasional (Monas). Keputusan tersebut berdampak besar pada inflasi yang meroket hingga 500%, imbas lanjutannya terjadi pada rezim selanjutnya yang mulai terjadi gejolak ekonomi.

Baca juga:
Penerimaan Pajak RI Diramal Anjlok Lebih Dalam Lagi
Pada era Orde Baru tepatnya tahun 1965, pemerintahan di bawah kepemimpinan Soeharto berhasil memberi terobosan di bidang fiskal khususnya pajak. Soeharto melakukan desentralisasi pajak atas Pajak Hasil Bumi kepada pemerintah daerah dan mengubah namanya menjadi IPEDA (Iuran Pembangunan Daerah). Maka dimulailah pembangunan kantor IPEDA di berbagai daerah.

Pada saat ini juga awal mula menerapkan sistem pajak yang self assessment, apalagi pemerintah berhasil menerbitkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1967 dan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1967 tentang perubahan mengenai Tata Cara Pemungutan Pajak Pendapatan Tahun 1944, Pajak Kekayaan 1932, dan Pajak Perseroan 1925 menjadi cikal bakal pemungutan pajak dengan menggunakan sistem self assessment.

Terobosan ini pun diterapkan oleh Amerika dan beberapa negara Eropa lainnya karena terbukti efektif dalam melakukan pemungutan pajak. Hingga saat ini, pemerintah masih menerapkan sistem self assessment dalam memungut pajak.

PENGARUH PAJAK PADA PEREKONOMIAN DUNIA

  1. Pengaruh Pajak terhadap Efisiensi Ekonomi

Efisiensi ekonomi berkaitan dengan alokasi sumber daya yang optimal untuk memaksimalkan output. Dalam konteks perpajakan, pengaruh pajak terhadap efisiensi dapat bersifat positif maupun negatif:

  1. Dampak Negatif (Efek Distorsi)
  • Pengurangan Insentif untuk Bekerja dan Berinvestasi: Pajak penghasilan yang tinggi dapat mengurangi insentif untuk bekerja lebih keras atau menginvestasikan modal, yang pada akhirnya menurunkan produktivitas ekonomi.
  • Efek Deadweight Loss: Pajak yang terlalu tinggi dapat menyebabkan kehilangan kesejahteraan ekonomi, di mana konsumen dan produsen kehilangan manfaat yang tidak diperoleh pemerintah dalam bentuk pendapatan pajak.
  • Pengalihan Sumber Daya: Pajak dapat mengalihkan sumber daya dari sektor produktif ke sektor yang kurang produktif, misalnya, ketika investor memindahkan modal mereka ke sektor bebas pajak atau suaka pajak.
  1. Dampak Positif (Efisiensi Alokasi Sumber Daya)
  • Pengurangan Eksternalitas Negatif: Pajak seperti cukai pada rokok, alkohol, dan karbon bertujuan untuk menginternalisasi eksternalitas negatif, yaitu membuat pelaku ekonomi membayar biaya sosial dari aktivitas mereka. Hal ini dapat meningkatkan efisiensi ekonomi secara keseluruhan.
  • Subsidisasi Kegiatan Produktif: Pajak dapat digunakan untuk mendanai sektor yang memiliki manfaat sosial tinggi, seperti pendidikan dan kesehatan. Jika dana pajak dialokasikan secara efektif, hal ini dapat meningkatkan efisiensi ekonomi.
  1. Pengaruh Pajak terhadap Efektivitas Ekonomi

Efektivitas ekonomi mengacu pada seberapa baik kebijakan ekonomi, termasuk kebijakan pajak, mencapai tujuan-tujuan ekonomi tertentu seperti pertumbuhan ekonomi, pemerataan pendapatan, dan pengendalian inflasi.

  1. Dampak Positif (Meningkatkan Efektivitas Ekonomi)
  • Redistribusi Pendapatan: Pajak progresif memungkinkan pengurangan kesenjangan pendapatan antara kelompok kaya dan miskin. Dengan mendistribusikan kembali pendapatan ke masyarakat yang lebih membutuhkan, pemerintah dapat meningkatkan konsumsi dan permintaan agregat.
  • Stabilitas Ekonomi (Fungsi Stabilisasi): Pajak dapat berperan sebagai stabilisator otomatis (automatic stabilizer). Dalam resesi, pengurangan penghasilan menyebabkan pajak yang dibayar menurun, sehingga konsumsi rumah tangga tetap terjaga. Sebaliknya, dalam ekspansi ekonomi, penerimaan pajak meningkat sehingga permintaan dapat ditekan untuk menghindari inflasi.
  • Pendanaan Investasi Publik: Pajak digunakan untuk membiayai infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan, yang pada akhirnya meningkatkan produktivitas tenaga kerja dan memperkuat basis ekonomi jangka panjang.
  1. Dampak Negatif (Mengurangi Efektivitas Ekonomi)
  • Beban Administrasi dan Biaya Kepatuhan: Jika sistem perpajakan terlalu rumit, biaya administrasi dan biaya kepatuhan (compliance cost) akan meningkat. Ini membuat masyarakat dan perusahaan menghabiskan lebih banyak waktu dan sumber daya untuk memenuhi kewajiban pajak, yang seharusnya dapat digunakan untuk aktivitas produktif.
  • Efek pada Konsumsi dan Investasi: Pajak yang tinggi pada barang konsumsi dan pajak perusahaan dapat mengurangi daya beli masyarakat dan investasi bisnis, yang dapat menghambat pertumbuhan ekonomi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun