Suatu hari di tahun 2016, kawanku membuka percakapan tentang gurunya yang produktif menulis puisi. Nama jenis puisinya masih terdengar asing di telingaku. "Guru urang sok posting haiku, karyana geus loba (guruku sering memosting haiku, karyanya sudah banyak)" kira-kira begitu yang dikatakan kawanku, Elgi Kuswandi.
Tentu saja aku penasaran dan langsung menggalinya dengan serius. Selain bercakap dengan Elgi, aku pun mencarinya di google dan buku-buku. Elgi juga tidak segan memperlihatkan karya gurunya itu kepadaku.
Singkatnya, aku mulai jatuh cinta kepada haiku dan belajar menyusunnya. Sekali, dua, tiga sampai entah berapa banyak haiku yang berhasil kutulis. Kini, aku seperti tak bisa melupakan haiku dalam percakapan soal puisi. Bagiku, haiku merupakan puisi yang renyah dan bikin ketagihan. Mungkin karena pendek, padat, dan merangsang otak.
Puisi yang berhasil merangsang pikiran selain haiku, ialah akrostik. Akrostik kukenali di tahun 2021 setelah buku kumpulan puisiku yang pertama diterbitkan berpuisi publishing, 'Membaca Titimangsa dan Nama-Nama'.
Tanpa kusadari, ternyata teknikal menulis akrostik sudah kuterapkan di beberapa puisi dalam buku pertama itu. Jadi sebelum tahu teorinya, secara praktikal sudah kupelajari.
Tahun berganti dengan cepat, aku menyadari lambatnya diri. Seolah baru kemarin pencarianku terhadap haiku dan akrostik dimulai. Kini, komunitas menulis tanpa nama yang kugagas sejak 2022 lalu sudah beranggotakan belasan orang. Mulanya dari percakapan sederhana dengan mahasiswa-mahasiswi Institut Pendidikan Indonesia Garut yang punya semangat berkarya. Grup WA yang kubuat itu hanya beranggotakan 9 orang dan mayoritas perempuan.
Setahun berlalu, grup memang tidak semeriah yang kubayangkan. Tetapi beberapa karya teman-teman di sana mulai bertambah sedikit demi sedikit. Rencananya, setelah karya itu mencukupi untuk dibukukan, aku akan menghubungi beberapa penyair yang sudah mendukung gerakan ini, dosen-dosen, dan tentu saja penerbit yang tepat.
Supaya tidak membuat penasaran, salah satu contoh haikrostik dengan judul 'Aku' akan kutuliskan di bawah ini. Terima kasih, dan semoga lekas sembuh.
Aku
Adalah diri
Kilau yang terbelenggu
Utuhnya tubuh
Adakah mata
Kerlipnya bagai ombak
Ungkapkan rindu
Bila terkata
Segala tentang amuk
Takkan membatu
Adilkah kita?
Bila memprotes takdir
Tanpa berpikir
Katanya nasib
Yang hanya mungkin bisa
Dalam kendali
Urgensi hidup
Bukan menunggu mati
Tapi abadi
Anak-anakku
Kekanak-kanakanlah
Unggul-unggulan
Garut, 20 Oktober 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H