Mohon tunggu...
Imam Syafii
Imam Syafii Mohon Tunggu... Guru - Guru Madrasah

Guru Biologi MAN 1 Musi Rawas. Lahir di Tebat Jaya, Kabupaten OKU Timur Provinsi Sumatera Selatan. Tanggal 22 Pebruari 1978. Hiasi Hidup dengan Penuh Kesyukuran dan Kesabaran adalah motto dalam menjalani kehidupan. Terus belajar menuangkan ide dan pikiran dalam tulisan, dan seorang guru harus menulis.

Selanjutnya

Tutup

Gadget Pilihan

Tragedi "Mati Suri" Informasi "1944"

27 Januari 2021   17:20 Diperbarui: 28 Januari 2021   07:29 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tragedi “Mati Suri” Informasi “1944”

(Minggu, 24 Januari 2021)

Selamat Sore Sobat Lage. Kali ini saya ingin berbagi cerita pengalaman tragedi “mati suri” selama tiga hari sejak hari Minggu (24/1/2021) hingga Selasa (26/1/2021). Apa yang saya alami dan rasakan benar-benar membuat saya “mati suri”. Tapi jangan dulu serius ya. Ini tentang “mati suri informasi”.  

Bagaimana ceritanya? Mari kita simak ya! 

Pagi Minggu (24/1/2021), bertepatan dengan libur akhir pekan di minggu ke-tiga Bulan Januari. Kegiatan ku pagi itu membantu pekerjaan anyaman besi untuk pondasi pagar rumah yang baru di mulai sejak tiga hari lalu, tepatnya Jum’at (22/1/2021).

“Belajar sambil bekerja (learning by doing),” pikirku. Padahal jari tangan ini belum terbiasa membuat anyaman besi. “Itung-itung belajar merangkai besi lah,” kata hati menguatkan diri.  Walau kusadari selama ini jari-jari tangan selalu dimanjakan dengan keyboard laptop usangku. Bermain, bercengkrama, saling tatap, merangkai huruf, dan angka dalam bait-bait kata. Laptop inilah yang selalu ku gunakan untuk bekerja menyelesaikan tugas-tugas profesi dan aktivitas keseharianku.

Menganyam besi menjadi hal baru  yang kulakukan. Sadar bahwa memulai sesuatu yang baru, ternyata bisa dibilang mudah bisa juga tidak. 

  • “Mudah jika ada  niat, kemauan, keberanian, terus belajar dan Istiqomah.” Kata ustadz yang mengajari ku mengaji saat di pesantren dulu.

Dirasa sulit karena memang belum tahu ilmu dan caranya saja. Jika sudah paham dan tahu ilmunya maka pekerjaan apa pun tentu akan terasa mudah jika dilakukan dengan hati yang riang.

Lima kata ini yang kujadikan pegangan dalam menjalani setiap aktivitas apapun di luar kebiasaanku. Terus mau belajar dan tidak pernah merasa cukup dengan ilmu pengetahuan yang dimiliki adalah kata kunci menjadi pribadi yang mumpuni. 

  • “Ilmu itu laksana air samudera. Meski kita telah meminumnya, dahaga tidak akan pernah sirna,” batinku.

Sehingganya, aku juga jadi teringat kata-kata Direktur Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Kementerian Agama RI, Prof. Suyitno kala itu, saat memberikan sambutan pada pembukaan “Webinar Nasional Moderasi Beragama” di tahun 2020. Satu kalimat yang terus terngiang hingga saat ini di telingaku. 

  • “Seorang guru itu jika ingin maju harus mau dan selalu learn (belajar), relearn (kembali belajar) and always learn (selalu belajar),” katanya.  

Ya, walaupun yang dipelajari tidak terkait dengan tugasku sebagai pendidik. Sebagai pengetahuan dan keterampilan baru sepertinya “menganyam besi” layak untuk dicoba. Selain memang diniatkan untuk membantu mempercepat pekerjaan proses pengecoran pondasi pagar rumah.

Berbalut rasa ragu, cemas dan sedikit takut salah dalam menganyam, sedikit demi sedikit aku selesaikan pekerjaan ku. Hingga selesailah tiga, empat, lima, dan enam tiang besi dapat tegak terpasang di lubang tempat pengecoran yang akan dijadikan tiang pagar.  “Alhamdulillah,” ucapku syukur sambil mengusap wajah.

Saat itu, bayang-bayang surya sepertinya telah tegak lurus di atas kepala. Memaksa aku harus menghentikan aktivitas. Hawanya kurasakan semakin gagah menyengat menguliti kulit hitam ku. Aku pun menepi mencari tempat berlindung menuju salah satu pohon nangka yang ada di samping rumahku.

Sejenak, aku bersandar di batang nangka tua yang aku sendiri tidak tahu pasti kapan ia di tanam. Yang aku tahu batangnya saat ini telah sebesar satu pelukan tangan orang dewasa. Bisa dibayangkan berapa usianya. Perlahan tanganku meraih gawai di dalam kantong celana sebelah kiri yang sejak pagi tadi kupakai menganyam besi.

Tanpa ada rasa was-was dan ragu, kuraih dengan hati-hati gawai yang menemani melantunkan lagu album campursari dari almarhum Didi Kempot kesukaanku. “Wah, jadi penggemar dan Sobat Ambyar nih,”candaku sambil tersenyum.

Dokumen pribadi
Dokumen pribadi

Gawai yang tadi masih dalam kantong celanaku kini telah berpindah tempat dalam genggaman. Seketika, aku terkejut saat melihat gawaiku tidak dapat untuk melihat isi chat WhatsApp yang selama ini menjadi media komunikasi utamaku. Tampak layar gawai gelap, hitam, pekat menghalangi pandanganku untuk membaca pesan.

Semakin lama semakin gelap, hitam, dan pekat. Hingga tak lagi terlihat chat apapun. Aku pun cemas, karena masih banyak informasi dan tugas penting yang harus kubaca dan aku selesaikan. “Waduh kok bisa begini ya. Apanya yang rusak?” tanyaku sendiri. “Tragedi ini, waduh tragedi!” teriakku lirih sambil berlari ke dalam rumah. Kucoba lakukan prosedur pertolongan pertama pada gawai (P3G), sebagaimana yang kupahami.

Perlahan ku buka baju Gawai penutup daya Gawai. Lalu kucabut daya Gawai.  Sesaat kemudian kuajak gawai untuk menikmati semilir angin siang yang membelai wajah cemasku. Saat kurasa cukup bermain-main dengan angin, kuletakkan kembali daya gawaiku seperti semula. Baju Gawai pun ku pasangkan kembali seperti semula dengan penuh kehati-hatian.  “Krek, krek, krek, cekrek” bunyi baju gawai saat kupasangkan kembali. Seandainya ia bisa bicara, tentunya ia akan mengucapkan “terima kasih”.

Kuraba tombol khusus untuk menghidupkan gawai, dengan harapan bisa normal kembali. Harapan tampilan layar gawai bisa terang seterang siang ini. Dengan harap-harap cemas, kutunggu hingga proses selesai, dan akhirnya, “Yah, tak berubah,” ujarku lirih letih. Gelap, tambah gelap. Tak ada yang bisa dilihat. Tragedi! Ini tragedi di hari Minggu,” ucapku kembali.

Sekilas mendung hitam bergelayut dalam pikirku. “Bagaimana ini?, apa yang harus ku perbaiki?” tanyaku dalam hati penuh peduli.  Akhirnya ku coba mencari informasi melalui gawai milik istri, dan akhirnya ku temukan jawaban. “Ini harus ganti LCD,” kataku.

Apa sih LCD itu? LCD adalah singkatan dari Liquid Crystal Display yang merupakan salah satu tipe layar gawai. Ada beberapa tipe layar ponsel lainnya seperti OLED, AMOLED, TFT LCD, dan IPS. Layar gawai ini merupakan salah satu komponen utama dari perangkat gawai yang sering digunakan.

Akhirnya kuputuskan untuk mengirimkan gawai ke tempat service langgananku esok hari, Senin (25/1/2021). Tempatnya lumayan jauh dari kediaman ku. Butuh kurang lebih satu jam setengah jika ditempuh dengan kendaraan roda dua. Sedih bercampur harap, semoga gawai kesayangan ku bisa segera sehat kembali.

Semenjak berpisah dengannya, kurasakan “mati suri” dari segala informasi. Tubuh ini rasanya tak mampu bergerak. Hati ini pun menyusul malas tak bersemangat, menunggu kabar apa yang terjadi. “Bisakah diperbaiki?, atau harus sampai di sini,” tanyaku sendiri. Informasi bagiku menjadi sesuatu yang sangat penting dan berharga. Gawai ini telah menemaniku selama enam tahun dan banyak sekali memberikan informasi baik yang terkait dengan pekerjaan ataupun grup komunitas..

Rasa was-was ini semakin menjadi, disaat teringat ada tugas tantangan yang belum aku selesaikan dalam grup “Lagerunal” yang baru beberapa minggu kuikuti. “Wah, bisa ketinggalan informasi dan materi nanti,” kataku ke istri. Akhirnya di tengah mati suri itu, ku putuskan untuk memakai sementara gawai istri agar informasi masih ku dapatkan meski tidak seleluasa jika menggunakan gawai sendiri. Bisa dimaklumi karena harus berbagi waktu dan kesempatan.

Ya bisa dikatakan saat itu diri ini mengalami “mati suri informasi”. Dikatakan “mati suri” karena tidak mendapatkan informasi seutuhnya. Ada ruang kosong dan terputus dari pesan informasi yang tidak sampai oleh karena gawai yang belum bisa diperbaiki. Sehingga untuk sementara waktu berbagai informasi harus terhenti tanpa bisa dipahami. Menurut KBBI mati suri diartikan dengan tampaknya mati, tapi sebenarnya tidak, mati berangan. Ya, mati berangan akan informasi yang tidak dapat dimengerti dari gawai sendiri yang masih diperbaiki. Tugas-tugas tantangan Lageruna dan pekerjaan pun sedikit terhenti oleh karena putus dan matinya informasi.

Dokumen pribadi
Dokumen pribadi

Penantian dua hari akhirnya berakhir, saat hati ini menunggu dengan penuh sabar dan rasa was-was yang mendalam. Tiba-tiba ku terima telepon yang menggembirakan. “Alhamdulillah pak, gawainya bisa normal lagi,” kata tukang service langgananku. “Alhamdulillah.” Ucapku syukur. Air wajah cerah seketika menghiasi wajahku yang dua hari ini lusuh “mati suri”. Gembira bahwa gawaiku bisa bersamaku lagi.

Aku pun tak  sabar, menggugah rasa keingintahuanku. Perlahan kuhidupkan kembali gawaiku. Benar saja, cahaya terang benderang berwarna kebiru-biruan terpancar ke luar dari gawaiku. Pertanda ia pun bahagia menyambut kedatanganku. Notifikasi WhatsApp pun berdentingan tiada henti, penuh kegembiraan, ramai sekali  saat bertemu dan bertatap wajah. Suara dentingan itu akhirnya berhenti di angka 1944. Luar biasa dua hari “mati suri” informasi “1944”. “Terima kasih telah kembali,” bisikku merdu.

 

Salam literasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun