Menjadi baik adalah ajaran dari setiap agama agar bisa menikmati kesempurnaan hidup di sorga kelak; sorga sesuai versi masing-masing agama tentunya. Seperangkat aturan difirmankan melalui kalam-kalam ilahi yang menyuruh umat manusia mematuhi agar bisa masuk ke sorga yang dijanjikan. Manusia mematuhinya dengan ketaatan yang sulit dipahami hingga memunculkan jargon keimanan yang konon adalah musuh ilmu pengetahuan atau predikat candu seperti yang disematkan Karl Marx; Die Religion ... ist das Opium des Volkes seturut terjemahan bebasnya namun secara komprehensif, sebenarnya Marx tidak menganggap agama sebagai opium yang memabukkan tapi merujuk sebagai sarana meringankan beban hidup manusia. Pun hal dengan Augusto Comte pencetus positivitis; segala hal harus empiris sehingga agama dalam arti kepercayaan kepada adanya Tuhan, Dewa, dan sebagainya adalah usang karena keyakinan beragama seperti itu berada pada tingkatan paling awal pemikiran manusia sebelum dikeruhkan oleh metafisika, lalu dicerahkan oleh hukum-hukum positif.
Maaf, saya bukan setuju dengan statement itu---bahkan sama sekali tak sepakat. Tapi sejujurnya, saya tidak membenci lalu melabeli pemikiran mereka dengan jargon-jargon tertentu. Ideologi itu mungkin muncul dari pengalaman kekecewaannya terhadap kehidupan dan kaidah keberagamaan, seperti misalnya Margaret Mead yang mencetuskan ideologis nurture feminisme akibat---konon---tiga kali kegagalannya dalam perkawinan. Karena toh diakhir hayatnya, Augusto Comte mengakui bahwa agama adalah hadiah terindah yang Tuhan berikan untuk manusia. Sayangnya, ia bikin 'agama baru' bukan masuk ke salah satunya.
Tingkat kepatuhan manusia terhadap firman-firman Tuhan, konon menentukan bagaimana tahap manusia tersebut dalam menggapai sorgaNya. Maksudnya, manusia dengan simbol-simbol tertentu maka bisa disimpulkan dialah orang yang patuh, orang saleh sehingga bisa lebih mudah masuk ke sorgaNya. Maka, akan ada orang saleh kebanyakan (umum, biasa); orang sangat saleh hingga saleh tingkat tinggi. Semakin tinggi, semakin mudah sorga untuknya.
Apakah simbol-simbol itu mengejawantahkan hati, otak, sikap, dan perilaku yang saleh karena berharap kasih sayangNya untuk masuk ke sorgaNya? Waallahu 'alam bisawab.
Hingga kini, sayangnya, tidak ada alat ataupun seperangkat alat yang bisa mengukur tingkat kepatuhan manusia terhadap ajaran masing-masing agamanya, seumpama alat sensor suhu era corona; niit wah orang saleh nih liat tuh tinggi kata petugas pengukur atau wah ini mah orang bangsat masa' angkanya gak bergerak saat dites. Duuh, kalo alat itu benar ada, mungkin jumlah penduduk dunia tak sepadat saat ini karena warganya selalu berkurang akibat saling baku bunuh!
Saya muslim dan saya tidak tahu bagaimana umat lain mendefinisikan kesalehan pengikutnya. Agama Islam menganjurkan untuk memelihara janggut sebagaimana disunnahkan oleh Nabi Muhammad SAW. Penelitian ilmiah juga menunjukkan banyak faedah dari memelihara janggut karena itulah kenapa Rasul menyuruh umatnya memelihara janggut. Apakah memelihara janggut wujud dari kesalehan? Mungkin iya mungkin juga tidak karena faktanya, banyak pemuka agama Islam yang memelihara janggut dan sebaliknya umat nonmuslim juga memelihara janggut dengan cambang lebat baik hitam ataupun perak memutih. Tak sedikit pula yang menjadikan janggut sebagai aksesoris. Tak ayal, Shavo Odadjian pembetot bass dan Daron Vartan Malakian gitaris grup System a Dawn menguncir lancip janggut menjuntainya.
Saya pun berjanggut dan hampir dua tahun memeliharanya; janggut putih perak yang menjuntai dari dagu ke bawah meski panjangnya serupa bekicot merangkak; lama 'kali panjangnya. Saya pelihara untuk pengingat janji perbaiki diri dan pengingat diri kalo usia udah di atas 5oan.
Secara keturunan pun saya wajib berjanggut karena bulu-bulu di sekujur tubuh bapak lumayan lebat; mulai dari kumis cambang brewok bulu dada hingga bulu idungnya yang sering keluar namun satu hal yang disesali, justru tak tumbuh bulu di kepala alias gundul separuh; cepak ngehe kata orang Bekasi.
Beda dengan bapak, rambut saya justru lebih disebut gundul ketimbang cepak ngehe setengah botak. Lainnya sama, kumis cambang brewok bahkan bulu kumis yang sering masuk idung dan bikin gatel dan nikmat dicabutin saat kepala puyeng. Coba deh. Anda akan bersin---bisa berulang hingga keluar lendir dan setelah itu puyeng ilang...
Saat era 50an ke bawah saya sering menghabisi bulu-bulu itu hingga klimis tuntas untuk tampilkan wajah awet muda menggoda. Pernah istri nyuruh miara kumis kalo mo jalan, kuatir dikira tante girang jalan ama brondolan, katanya. Tapi di atas 50an, saya menyayangi si janggut, seperti istri yang juga menyukai karena; geli-geli gimana gitu kalo dielus-elus, pake tangan maksudnya.
Janggut putih yang belum menjuntai. Tak disemir dan sering dielus-elus sedikit menarik agar lekas panjang saat tengah merehatkan diri. Banyak hal positif saya dapat dari pemelihara janggut. Pernah diminta mengimami shalat di mesjid saat perjalanan. Alhamdulillah meski harap-harap cemas dengan bacaan tajwid dan makhraj tapi bisa lah, hanya doa setelah shalat saya minta orang yang lebih paham untuk memimpin.
Sebagai penglaju/komuter Bogor Jakarta, kereta pilihan utama. Era sebelum pun sebagian besar penumpang sudah pake masker atau para anak muda menggunakan buff atau sweater bertopi untuk menutupi kepala dus wajah lalu menunduk saat dapat duduk. ya jelas, jangan diganggu atau gak akan melihat---pura-pura gak liat---jika ada penumpang prioritas naik!
Saya pun pake topi dan masker saat berkomuter; dan seperti kebanyakan orang, guna masker selain untuk kebersihan juga menutupi bau mulut yang terkatub lebih dari sejam (gak percaya, coba Anda diam selama sejam lalu rasakan sensasinya). Nah, saat jam pulang sibuk dan kebetulan badan letih, dan tengah bergayut di kereta, pelan-pelan saya tarik ke atas masker untuk tampilkan untaian janggut berubah dan topi saya buka lepas hingga tampilkan kepala dengan rambut seadanya beserta uban di sana-sini. Kadang tak berhasil sih, tapi seturut pengalaman sih banyak berhasilnya. Ada saja penumpang berbaik hati menyuruh duduk. Alhamdulillah. Pesan buat pria berjanggut dan beruban: Masker jangan diturunkan karena akan menutupi janggut uban tapi dinaikkan, tarik keatas pelan-pelan untuk memunculkannya!
Lain cerita, ketika letih sangat setelah sepanjang hari beradu argumen. Agar bisa duduk dan tidur dalam perjalanan pulang ke Bogor, dari Stasiun Cikini saya naik arah Kota yang lumayan kosong. Ambil lokasi yang menyudut dan tidur. Karena asyiknya tidur, topi terlepas tampilkan kepala berambut seadanya. Kemudia saat menunduk hendak mengambil topi, masker ketarik ke atas, muncullah si janggut uban. Tetiba, seorang ibu muda yang tepat berdiri di hadapan saya bergeser ke tempat lain, entah kenapa padahal suasana kereta gak full-full amat. Selidik punya lidik, saya menduga, si ibu berharap saya berdiri, gantian duduk tapi demi botak dan janggut perak, ia menyadari bahwa ini orang tua bukan anak muda jadi gak bisa berharap mo gantian, demikian analisa saya. Kenapa? Karena ada bapak-bapak dan pemuda yang juga tengah berdiri di hadapan saya asyik aja mainin hp!
Selain cerita kemenangan, juga ada pengalaman buruk dengan janggut kesayangan. Menggunakan motor sepulang berbelanja bahan produk, masker saya diturunin hingga ke batas bibir bagian bawah. Menghirup udara segar saat melintasi jalan yang teduh karena rindang pepohonan. Tetiba ada banyak Satpol PP; mungkin razia atau apa. Otomatis, saya segera naikkan masker. Karena terburu-buru, ujung janggut bagian bawah terlipat ke atas hingga menusuk hidung. Geli-geli pedas, dengan tangan kiri berusaha menarik ujung janggut yang masuk idung. Tak berhasil malah bersin. Bersin yang sedemikian kuat, bikin saya oleng karena satu tangan jelas kurang kekuatan dan hilang keseimbangan. Apalagi bawaan lumayan berat dalam kardus yang diikat di jok belakang. Gabruk. Nyungsep dekat kumpulan Satpol PP.
"Kenapa pak, gak papa pak? Ada luka?". Riuh rendah para anak muda berseragam Satpol PP membantu sambil bertanya. Untung tak banyak luka, hanya goresan dan ngilu karena kerasnya aspal.
"Iya tadi kelilipan jadi satu tangan buat ngucek-ngucek lalu oleng"
"Bener kuat pak? Ini spionnya pecah.."
"Iya gak papa, masih kuat kok"
"Ya udah kalo gitu, hati-hati pak.."
Tolong jangan saya dihakimi bersebab janggut. Janggut putih yang belum menjuntai. Tak disemir dan sering dielus-elus sedikit menarik agar lekas panjang sambil mikir gimana lolos dari badai corona peluluhlantak periuk nasi!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H