Sebagai penglaju/komuter Bogor Jakarta, kereta pilihan utama. Era sebelum pun sebagian besar penumpang sudah pake masker atau para anak muda menggunakan buff atau sweater bertopi untuk menutupi kepala dus wajah lalu menunduk saat dapat duduk. ya jelas, jangan diganggu atau gak akan melihat---pura-pura gak liat---jika ada penumpang prioritas naik!
Saya pun pake topi dan masker saat berkomuter; dan seperti kebanyakan orang, guna masker selain untuk kebersihan juga menutupi bau mulut yang terkatub lebih dari sejam (gak percaya, coba Anda diam selama sejam lalu rasakan sensasinya). Nah, saat jam pulang sibuk dan kebetulan badan letih, dan tengah bergayut di kereta, pelan-pelan saya tarik ke atas masker untuk tampilkan untaian janggut berubah dan topi saya buka lepas hingga tampilkan kepala dengan rambut seadanya beserta uban di sana-sini. Kadang tak berhasil sih, tapi seturut pengalaman sih banyak berhasilnya. Ada saja penumpang berbaik hati menyuruh duduk. Alhamdulillah. Pesan buat pria berjanggut dan beruban: Masker jangan diturunkan karena akan menutupi janggut uban tapi dinaikkan, tarik keatas pelan-pelan untuk memunculkannya!
Lain cerita, ketika letih sangat setelah sepanjang hari beradu argumen. Agar bisa duduk dan tidur dalam perjalanan pulang ke Bogor, dari Stasiun Cikini saya naik arah Kota yang lumayan kosong. Ambil lokasi yang menyudut dan tidur. Karena asyiknya tidur, topi terlepas tampilkan kepala berambut seadanya. Kemudia saat menunduk hendak mengambil topi, masker ketarik ke atas, muncullah si janggut uban. Tetiba, seorang ibu muda yang tepat berdiri di hadapan saya bergeser ke tempat lain, entah kenapa padahal suasana kereta gak full-full amat. Selidik punya lidik, saya menduga, si ibu berharap saya berdiri, gantian duduk tapi demi botak dan janggut perak, ia menyadari bahwa ini orang tua bukan anak muda jadi gak bisa berharap mo gantian, demikian analisa saya. Kenapa? Karena ada bapak-bapak dan pemuda yang juga tengah berdiri di hadapan saya asyik aja mainin hp!
Selain cerita kemenangan, juga ada pengalaman buruk dengan janggut kesayangan. Menggunakan motor sepulang berbelanja bahan produk, masker saya diturunin hingga ke batas bibir bagian bawah. Menghirup udara segar saat melintasi jalan yang teduh karena rindang pepohonan. Tetiba ada banyak Satpol PP; mungkin razia atau apa. Otomatis, saya segera naikkan masker. Karena terburu-buru, ujung janggut bagian bawah terlipat ke atas hingga menusuk hidung. Geli-geli pedas, dengan tangan kiri berusaha menarik ujung janggut yang masuk idung. Tak berhasil malah bersin. Bersin yang sedemikian kuat, bikin saya oleng karena satu tangan jelas kurang kekuatan dan hilang keseimbangan. Apalagi bawaan lumayan berat dalam kardus yang diikat di jok belakang. Gabruk. Nyungsep dekat kumpulan Satpol PP.
"Kenapa pak, gak papa pak? Ada luka?". Riuh rendah para anak muda berseragam Satpol PP membantu sambil bertanya. Untung tak banyak luka, hanya goresan dan ngilu karena kerasnya aspal.
"Iya tadi kelilipan jadi satu tangan buat ngucek-ngucek lalu oleng"
"Bener kuat pak? Ini spionnya pecah.."
"Iya gak papa, masih kuat kok"
"Ya udah kalo gitu, hati-hati pak.."
Tolong jangan saya dihakimi bersebab janggut. Janggut putih yang belum menjuntai. Tak disemir dan sering dielus-elus sedikit menarik agar lekas panjang sambil mikir gimana lolos dari badai corona peluluhlantak periuk nasi!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H