Prolog
Masyarakat agraris sarat dengan beragam tradisi yang dipatuhi agar terjaga keselarasan hidup manusia dengan alam dan lingkungan. Alam dengan keseluruhan anasirnya diperlakukan sebagai sesuatu yang sakral; religius, dan mistis sementara manusia cenderung berlaku profan dalam memenuhi kebutuhan hidup.Â
Maka, diperlukan seperangkat aturan agar manusia mematuhi kehendak alam dan menghargai nilai-nilai sakral  agar alam berkenan memberikan feed back nya dalam wujud kelimpahan hasil untuk kemudian ditindaklanjuti dengan tradisi sebagai ungkapan rasa syukur atas kemurahan ‘hatinya’.
Pusat makrokosmos masyarakat agraris adalah mengelola tanah dan tanaman untuk menghasilkan pangan, yaitu bagaimana cara lahan dan tanaman dikelola, dirawat, dan setelahnya. Tradisi juga mengatur tata cara pengairan, perkakas, dan hewan apa yang mesti digunakan, kapan digunakan hingga bagaimana memperlakukannya karena hewan-hewan ini juga dianggap sebagai simbol kemakmuran dan keberkahan[1]. Cangkul, alat bajak, alat tugal, sabit, golok, keranjang, dan lain-lain hingga sapi, kerbau, kuda, dan hewan ternak lainnya selalu inheren dalam budaya agraris.
Petani sebagai mikrokosmos agraris percaya adanya entitas sakral dengan kekuatan suprantural dalam setiap tahapan bercocok tanam. Kepadanya lah petani menyandarkan harapan keberhasilan agar terpenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Dalam perspektif sejarah peradaban, petani dan masyarakat agraris adalah kaum pagan yang menganggap keilahian alam sebagai manifestasi ilahi, percaya banyak dewa, dan pengakuan terhadap prinsip ilahi perempuan yang diidentifikasi sebagai Sang Dewi[2] (Ibu Bumi).Â
Semua unsur dalam kehidupan masyarakat agraris berjalan teratur. Alam memberi isyarat dan syarat untuk memulai siklus bercocok tanam yang harus dipatuhi agar hasil panen melimpah. Petani mematuhi dan memanjatkan syukur atas karunia alam yang telah memenuhi janjinya dengan kelimpahan hasil panen melalui beragam perayaan pasca panen.
Fitrah manusia yang terus berkembang seiring penguasaan ilmu pengetahuan, secara evolutif meninggalkan pola budaya agraris dan masuk masyarakat industri berbasis teknologi. Faktor-faktor keberhasilan hasil panen dikalkulasi, dimekanisasi untuk efisiensi, dan perlakuan material buatan (pupuk dan pestisida) untuk keberlimpahan hasil panen seiring jutaan perut yang terus lahir untuk diisi.Â
Genetically Modified Organism terhadap tetumbuhan dan ternak. Ketahanan pangan beresiko terhadap konflik dan politik negara. Ekonomi pasar secara faktual telah meminggirkan Ibu Bumi dan alam pun menumpahkan kemarahan atas kelalaian manusia.
Masih perlukah kita—tidak hanya petani tapi umat manusia—memberi sesembahan ke Ibu Bumi penjaga kesuburan tanah yang konon hidup dalam setiap bulir padi agar sudi memberkahi tiap lahan yang digarap untuk hasil panen yang melimpah, agar senyumnya mampu menyejukkan alam sehingga tak lagi menyakiti kita anak-anak profannya? Â
Petani dan Peladang
Kebanyakan kita mempersepsikan masyarakat  agraris adalah petani yang kerjaannya mengolah tanah, menanam, merawat, dan memanen. Padahal dalam implementasinya, ada yang berbeda saat mengolah-memanam-merawat-memanen. Di satu sisi ada petani dan di sisi lain peladang. Kesamaannya adalah mengolah lahan dan tanaman namun berbeda cara dan teknik, yaitu sistem pengairan, peralatan, serta hewan pendukungnya.
 Ilmuwan sosial mengomparasi keduanya sebagai farmer dan peasant dengan beragam paradigma kajian pembangunan pedesaan. Saya tidak sedang membahas teori tapi hanya menjelaskan bahwa petani dan peladang memang seharusnya dibedakan karena berimplikasi pada metodologi pemberdayaannya[3].
Lahan. Area usaha petani adalah pertanian dengan sistem pengairan yang ditata teratur sehingga air mengaliri petak-petak sawah dan tunas padi pun mudah ditanam. Sebaliknya, peladang menggunakan alat tugal untuk melubangi lahan yang kemudian diisi dengan benih padi. Pertumbuhan padi menjadi bulir beras mengandalkan kebaikan alam termasuk yang ditanam di rawa dan saat musim hujan (tadah hujan).
Peralatan. Petani menjadikan cangkul sebagai bagian dari pola budaya; bukan sekedar alat bertani tapi juga menjadi bagian penting dari berbagai ritual, kegiatan sosial, dan budaya. Cangkul pun sering digunakan dalam kegiatan memperkuat ikatan sosial dan solidaritas dalam komunitas[4].
Cangkul digunakan untuk menggemburkan, meratakan, menggali, membersihkan rumput termasuk membuat lubang tanam. Bandingkan dengan peladang yang menggunakan kapak untuk menebang pohon dan golok membersihkan lahan. Bahkan dulu, karet ditanam dengan stek batang. Â
Tahun 1998, nun di pelosok Bengkulu, masyarakat Pekal yang tinggal di wilayah perbukitan barisan berjarak 22 km dari jalan aspal Lintas Barat Sumatera, saya menjadi tontotan saat menggunakan cangkul untuk membersihkan rumput di sekitar rumah kost. Warga setempat aneh dan takjub cara saya menggunakannya karena cangkul tak lazim digunakan saat itu.
Intensifikasi vs ektensifikasi. Pengelolaan lahan secara intensif cenderung dilakukan oleh petani karena keterbatasan lahan. Penggunaan mesin, pupuk dan pestisida, serta teknologi pasca panen dilakukan pada lahan tanaman padi dan pangan (buah, bunga, sayuran, obat-obatan, dan taman).Â
 Dengan sistem ladang berpindah, peladang lebih mengedepankan keluasan kepemilikan lahan dengan membuka hutan lalu menanam padi cara tugal dan menaman tanaman karet, kopi atau pinang sebagai tanda kepemilikan. Kesuburan karena pembukaan lahan baru  menjadi andalan.
Peladang dan Industrialisasi Kelapa Sawit
Dalam konteks industrialisasi berbasis lahan, peladang selalu menjadi target karena  luasan area untuk ditanami kopi, coklat, karet, dan sang primadona kelapa sawit. Bahkan yang memiriskan, area kerja petani (sawah) turut dikonversi menjadi areal tanam perkebunan.Â
Modifikasi padi, sayuran, dan buah-buahan abai dengan kearifan tradisional karena digenjot produktivitasnya dengan mesin, pupuk kimia, pestisida, dan booster. Salah satu provinsi di Sumatera sampe harus mengeluarkan aturan larangan konversi lahan pertanian dengan sanksi pidana untuk menjaga ketahanan pangannya.Â
Tahun 2023 di provinsi lain, saya baru mengetahui jika buah naga perlu dibooster plus penyinaran 24 jam penuh agar hasilnya bisa masuk pasar karena aslinya besaran buah naga hanya sekepalan tangan!
Industri perkebunan tidak hanya mendorong penggunaan teknologi dalam berbudidaya tanaman perkebunan tapi juga menarik minat banyak orang yang tidak hanya berlatar belakang petani atau peladang.
Istilah peladang tak lagi dikenal berganti pekebun dengan embel-embel mandiri atau swadaya. Kelapa sawit, karet, kopi, coklat menjadi primadona. Saking tenarnya kelapa sawit menjadi komoditas unggulan, studi HCV-HCS di beberapa desa ring 1 dan 2 perusahaan perkebunan kelapa sawit terindikasi bahwa desa-desa tersebut masuk kategori rawan pangan karena semua bahan pangan harus dibeli dengan kondisi jalan dan jembatan yang rusak tanpa pasar!
Dalam industri kelapa sawit, kualitas dan kuantitas hasil panen dipacu dengan pemberian pupuk kimia dan pembasmian hama penyakit ala pestisida. Emang sih, dalam beberapa hal, perkebunan skala perusahaan masih lebih baik dalam penggunaan pupuk dan pestisida meskipun di hal lainnya buruk karena merusak DAS, semborno membuang limbah, dan polusi udara.Â
Perusahaan mengontrol penggunaan pupuk dan pestisida karena pertimbangan cost. Situasi miris justru di pekebun mandiri atau swadaya yang secara kultur tak semuanya berlatar belakang petani ataupun peladang.
Pemahaman pemupukan dan pestisida sering hanya berdasarkan informasi mulut ke mulut. Pupuk  JK, pupuk jare konco yang artinya pemberian jenis pupuk berdasarkan informasi dari teman sesama pekebun.Â
Sering menyemprot gulma dengan pestisida yang dosis melebihi takaran. Akibatnya, tanaman kelapa sawit tumbuh dengan produktivitas tak sesuai harapan. Semakin ditambah ketika dosis tak jua berdampak positif. Penggunaan pestisida berlebihan malah menumbuhkan jamur pembunuh tanaman. Dibiarkan tanpa perlakuan, produktivitas selalu rendah dan trek TBS hasil panen kerap terjadi.
Dampak lanjutannya terlihat dari tanah yang tak lagi menunjukkan gejala tanah yang sehat. Tak ada nutrisi yang muncul saat dilakukan tes mineral tanah. Gegulmaan tumbuh subur menggerus tanah. Kondisi itu menghantui hampir seluruh pekebun yang saat ini tengah menanti waktu yang tepat (juga biaya) untuk replanting (peremajaan) karena tanaman rata-rata telah berusia di atas 25 tahun.
 Ada kekhawatiran kondisi tak berubah meski tanaman telah diremajakan atau jangan-jangan penggunaan pupuk dan pestisida akan lebih banyak lagi takarannya? Inikah cara alam (baca Sang Dewi ibu bumi) menghukum? Wallahu’alam…
Organik untuk Senyum Ibu BumiÂ
Tanah adalah sumber daya tidak tak berbatas. Pertumbuhan umat manusia tak berbanding lurus dengan ketersediaan lahan untuk pangan beserta kebutuhan ikutannya. Produksi tetap harus digenjot agar tersedia pakan dan pemenuhan kebutuhan milyaran manusia. Karenanya, intensifikasi plus adalah opsi terbaik yang bisa dilakukan.
People Planet Profit. Sustainabilitas adalah cara-cara yang ramah lingkungan dalam berbudi daya komoditas yang dalam konteks kearifan tradisional berlaku untuk semua komoditas hasil dari mengelola bumi. Tanah sebagai ibu bumi sudah sepatutnya dikembalikan harkat dan martabatnya.Â
Benahi dan sehatkan tanah sebagai dasar kehidupan. Gunakan pupuk organik baik cair atau padat (kompos) karena hanya ‘makanan itu’ yang berguna untuk tanah. Beri kesempatan cacing dan mikrobiologi untuk kembali hidup lalu dukung upayanya dengan memberi makanan alami dari alam sekitar.
Jaga dan rawat kondisi tanaman agar tumbuh sehat. Kendalikan hama, gulma, dan penyakit bukan dengan meniadakan salah satunya tapi beri keleluasaan alam yang mengatur ala struggle for life karena bagaimanapun alam jauh lebih bijak dari kebanyakan manusia!
Cara pandang dan teknik yang ramah lingkungan jauh lebih baik ketimbang hanya menghidupkan tradisi kearifan tradisional yang sering hanya content media sosial. Tak perlu sesembahan, karena Ibu Bumi butuh aksi nyata bukan diksi apalagi seremoni. Hadirkan kembali senyum ibu bumi, niscaya tradisi akan tumbuh dalam wujud keberlanjutannya!
Catatan
[1]John Hodges, Hewan dan nilai-nilai dalam masyarakat, Buletin Asosiasi Produksi Hewan Eropa, April 1999, terjemahan bebas dari http://www.lrrd.org/lrrd11/3/hod113.htm 8 September 2024:01:00 WIB
[2]Paganisme www.wikipedia.org 8 September 2024:01:37 WIB
[3]Ada banyak diskusi terkait farmer dan peasant dalam kajian antropologi maupun sosiologi dengan beragam perspektif para tokoh yang melatar belakanginya, tersebut antara lain Samuel L. Popkin, Robert Redfield, James C. Scott, E. Wolf, dan Moore. Mempertimbangkan keterbatasan ruang, kiranya ulasan Syahyuti, doktor sosiologi pertanian yang meresensi bukunya sendiri, Mau Ini Apa Itu yang mengulas 125 komparasi tentang berbagai konsep, teori, dan pendekatan terbaru dalam bidang pembangunan pertanian dan pedesaan yang sering digunakan sehari-hari di kampus, di kantor, namun sering membingungkan, bisa jadi acuan untuk menegaskan perbedaan peasant dan farmer. Secara mudah, peasant adalah gambaran dari petani yang subsisten sedangkan farmer adalah petani modern yang berusahatani dengan menerapkan teknologi modern serta memiliki jiwa bisnis yang sesuai dengan tuntutan agribisnis. Upaya merubah petani dari karakter peasant menjadi farmer itulah hakekat dari pembangunan atau modernisasi Selasa, 17 Juni 2014 (https://webblogsyahyuti.blogspot.com/ unduh 1 September 2024: 16.30 WIB
[4]Meskipun cuma tayang di platform kompasiana, namun ulasannya tentang cangkul menarik untuk jadi rujukan esai ini. Lihat https://www.kompasiana.com/bellaikasetyo/6550b607edff7665001aa9d2/menggali-jejak-cangkul-memahami-peran-dan-perubahan-dari-zaman-dulu-hingga-sekarang?page=2&page_images=1 (8 September 2024:02.00 WIB)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H