Sedangkan kendala dari siswa atau orang tua adalah bagaimana mengatur waktu dan mengondisikan anak untuk siap belajar di rumah. Untuk anak-anak jenjang usia dini dan SD tentu masih butuh bimbingan dari orang lain, sehingga orang tua harus menyempatkan waktu untuk mendampingi anak belajar di rumah. Padahal banyak dari kalangan orang tua yang pagi hingga siang hari masih harus bekerja untuk mencari nafkah. Tentu ini menjadi kendala tersendiri.Â
Belum lagi bagi orang tua yang tinggal di pedesaan atau daerah pinggiran, persoalan keterbatasan alat komunikasi dan jaringan internet menjadi kendala utama. Maka ada kejadian guru yang akhirnya harus mendatangi muridnya dari rumah ke rumah. Tetapi guru yang seperti ini sangatlah langka, apalagi di tengah-tengah ketakutan akan penyebaran virus.
Melihat kondisi ini, tentu pada akhirnya akan sepakat, kembali kepada kata "maklum". Artinya segala kekurangan yang terjadi dalam penyelenggaraan layanan dan mutu pendidikan akibat dampak Covid-19, kita semua harus "memaklumi". Namun, apakah cukup kita hanya bersikap demikian? Seolah-olah pasrah dengan keadaan?Â
Tidakkah kita bisa melakukan upaya dan terobosan-terobosan baru di era pandemi ini? Karena persoalan kita bukan hanya saat ini, tetapi ke depannya. Pandemi ini telah benar-benar mengubah "wajah" dunia. Justru yang terpenting adalah bagaimana kesiapan diri dan generasi kita untuk menyambut era baru pascapandemi. Inilah tantangan terbesar dan terberat yang harus kita hadapi bersama.
Belajar dari Covid-19, berarti bangsa ini dengan semua elemennya harus belajar dan berbenah. Pengaruh Covid-19 tak hanya berdampak pada persoalan ekonomi dan kehidupan sosial yang lebih bersifat jangka pendek, tetapi telah mengubah pula paradigma, mindset, perilaku, sikap, gaya hidup (life style), dan kebiasaan-kebiasaan seseorang. Termasuk perubahan karakteristik peserta didik.
Boleh jadi, kelak ketika pandemi Covid-19 ini telah berakhir, motivasi siswa untuk kembali ke halaman sekolah dan ruang-ruang kelas belajar sangatlah rendah. Perjumpaan dengan guru-guru dan teman-temannya tak lagi menjadi hal yang dirindukan. Papan tulis, kapur tulis, meja-meja kelas, rak buku, dan buku-buku pelajaran yang tebal-tebal, menjadi pemandangan yang tak ingin dilihatnya lagi. Tas sekolah yang biasanya penuh dengan buku dan alat tulis, tak ingin mereka gendong lagi. Suara keras bel sekolah tak ingin didengarkan lagi. Itulah barangkali potret anak ketika pertama kali masuk sekolah setelah wabah Virus Corona berakhir.
Betapa tidak, selama belajar di rumah, hampir setiap hari, setiap jam, setiap detik, jari jemari mereka berselancar di atas layar smartphone, mata tak berkedip memelototi layar monitor, telinga tersumpal earphone, sementara tubuh mereka bergerak ke sana kemari. Mereka belajar sambil berjalan, duduk, berdiri, rebahan, tiduran, atau dlosoran semaunya.Â
Tak berhenti di situ, mulutnya pun tak pernah berhenti mengunyah makanan ringan. Jika perut lapar, sewaktu-waktu mereka bisa pergi makan ke dapur. Pun bisa tidur sesukanya ketika mengantuk. Jika mereka mengalami kesusahan, tinggal ketik kata kunci di mesin pencarian internet, bisa pula tanya orang di sekitar, atau mengontak guru dan temannya melalui fasilitas internet.Â
Sungguh anak merasakan kebebasan belajar dan bermain tanpa batas. Anak benar-benar mengalami merdeka dalam belajar. Mereka tak lagi terikat oleh waktu dan tempat untuk belajar. Semua yang mereka lihat, dengar, dan rasakan adalah sumber belajar. Belajar bagi mereka adalah proses inkuiri, yaitu upaya untuk menemukan pengetahuan baru dari pengalaman langsung yang dialaminya.
Kemudian, jika merasa jenuh, tidak semangat, atau ingin mengeluarkan unek-uneknya, mereka tinggal menyalakan ponsel dan mulai berbicara sendiri di depan kamera. Jadilah video vlog yang siap diunggah di akun-akun media sosial mereka, seperti facebook, instagram, dan youtube. Nantinya mereka akan melihat respons dan masukan dari para penggemar atau pengguna internet yang melihat videonya. Di sinilah mereka membangun interaksi dan kehidupan sosialnya. Jarak tempat dan waktu sudah bukan lagi hambatan untuk berkomunikasi.