Mohon tunggu...
Imam Subkhan
Imam Subkhan Mohon Tunggu... Penulis - Author, public speaker, content creator

Aktif di dunia kehumasan atau public relations, pengelola lembaga pelatihan SDM pendidikan, dan aktif menulis di berbagai media, baik cetak maupun online. Sekarang rajin bikin konten-konten video, silakan kunjungi channel YouTube Imam Subkhan. Kreativitas dan inovasi dibutuhkan untuk menegakkan kebenaran yang membawa maslahat umat. Kritik dan saran silakan ke: imamsubkhan77@gmail.com atau whatsapp: 081548399001

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mimbar, Khatib, dan Pesan Politik Praktis

15 Januari 2019   14:28 Diperbarui: 21 Januari 2019   06:24 609
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar oleh Imam Subkhan

Mengapa saya tertarik membahas para penceramah agama yang biasanya berdiri di atas mimbar dan memegang mikrofon atau pengeras suara di hadapan massa jemaah? Karena acapkali panggung kecil tempat berkhotbah ini sering dijadikan media sosialisasi, bahkan "kampanye" ketika jelang pemilihan presiden (pilpres), pemilihan kepala daerah (pilkada), dan pemilihan legislatif (pileg). 

Dari sini akan muncul fatwa-fatwa dan petuah yang intinya mengajak kepada para jemaah untuk mendukung dan memilih calon tertentu.

Maka tak heran, jika jauh-jauh hari Majelis Ulama Indonesia (MUI) meminta para khatib, khususnya khatib salat Jumat atau hari raya Islam untuk tidak menyampaikan khotbah yang berbau politik praktis. 

Padahal kita tahu, jelang Pilpres dan Pileg 2019, mimbar di masjid akan sering digunakan untuk khotbah atau ceramah para khatib, seperti khotbat Jumat, pengajian akbar, kajian rutin, kuliah subuh, dan ceramah keagamaan lainnya. Dan kita tak bisa menjamin, para khatib tidak bicara politik praktis di dalam ceramahnya.

Memang, jelang pilpres dan pileg ini, para ustaz, kiai, mubalig, dan ulama sangat gencar didekati oleh tim sukses calon presiden (capres) dan para calon anggota legislatif. Mereka tak segan-segan menjanjikan "sesuatu" bahkan ada yang memberinya di muka untuk sang pengkhotbah. 

Meskipun tak sedikit yang karena inisiatif pribadi, menyuarakan calon pemimpin idamannya dan diutarakan kepada jemaah melalui mimbar. Sehingga tidak dipungkiri, para khatib akhirnya lebih memilih tema khotbahnya tentang mencari pemimpin yang ideal, dan di ujung-ujung ceramahnya mengetengahkan kriteria figur yang layak untuk dipilih. 

Tinggal dilihat saja, apakah khatib tersebut berani vulgar atau terang-terangan mendukung atau menolak calon tertentu, ataukah dengan cara halus, seperti kiasan, perumpamaan, sindiran, yang didukung dengan dalil-dalil yang menguatkan.

Ilustrasi gambar oleh Imam Subkhan
Ilustrasi gambar oleh Imam Subkhan
Polarisasi
Seharusnya, tema khotbah Jumat di masjid untuk sekarang-sekarang ini lebih fokus tentang pentingnya silaturahmi, ukhuwah, persaudaraan, persatuan, cinta tanah air, dan cinta terhadap sesama, sebagai salah satu indikator dari nilai ketakwaan terhadap Tuhan. Bukan isi khotbah yang justru mengarah pada keterbelahan dan pengkotak-kotakan di masyarakat.

Hal inilah yang menurut saya cukup mengkhawatirkan, bahwa katalisasi dan polarisasi menuju keterbelahan bangsa semakin tampak adanya. Perang gambar dan diksi pro dan anti Islam pun terjadi di mana-mana. 

Tak hanya di media massa atau media sosial, di jalan-jalan besar, di gang-gang kampung, di rumah-rumah, bahkan di masjid-masjid sudah terjadi perang spanduk antarpendukung. 

Ditambah pula, Pos Komando (posko) tim pemenangan antara kedua kubu saling berdekatan. Tentu sangat rawan terjadinya konflik sosial yang menjurus pada kontak fisik antarpendukung fanatik.

Inilah bahayanya, jika ideologi keagamaan sudah bersanding dengan politik praktis yang cenderung pragmatis dan permisif. Semua bisa dihalalkan untuk meraih hasrat berkuasa. Dan ujung-ujungnya adalah materi keduniaan. Semua orang silau dengan gemerlap dunia. Tak terkecuali orang-orang yang selama ini paham dengan agama. 

Pada saat tak bergabung atau berafiliasi dengan kandidat atau partai politik, tokoh agama ini begitu lantang menyuarakan kemungkaran dengan dalil-dalil yang lengkap dan runtut.

Namun setelah didekati oleh "Sang Penguasa atau Calon Penguasa", dan bantuan pun mengalir deras ke organisasi yang dipimpin termasuk ke kantung pribadinya, teriakan keberaniannya makin parau. Dalil-dalil kritik itu lambat laun menjadi lemah, bahkan berisi pujian dan dukungan kepada "Sang Pemberi".      

Miris bukan? Jika sudah terjadi seperti ini, maka jemaah dan umat harus mengikuti dan meneladani siapa? Masyarakat harus percaya ke siapa, jika semua tokoh-tokoh yang ada bersembunyi di balik kepentingan-kepentingan politik kekuasaan?

Kita butuh para pemuka agama yang benar-benar jujur, ikhlas, konsisten, dan istikamah dalam memegang prinsip-prinsip keagamaan. Seorang mubalig tak harus alergi terhadap pembahasan politik dalam ceramahnya, asalkan dilandasi oleh politik yang bermartabat untuk tujuan kemuliaan dan kemaslahatan, yaitu politik kualitas tinggi (high politics).

Seorang ulama boleh saja menjelaskan tentang kriteria seorang pemimpin yang sesuai dengan tuntunan agamanya yang bersifat normatif-idealis. Arahnya pada kemajuan, kemaslahatan, dan kecerdasan umat, bukan sekadar menyenangkan dan memuluskan ambisi segelintir kelompok.

Tentu kita tahu, Islam adalah agama yang kaffah dan menyeluruh, termasuk urusan politik kekuasaan pun juga dibahas. Namun, tidaklah terjebak pada politik kualitas rendah (low politics) yang muaranya pada jangka pendek, yakni meraih kekuasaan semata.

Komunikasi Satu Arah
Tentu kita paham, bahwa apa yang disampaikan oleh para ulama atau tokoh agama adalah berupa dogma, doktrin, petuah, fatwa, dan nasihat yang sifatnya cenderung komunikasi satu arah. 

Umat atau masyarakat hanya sebagai penerima informasi dan pelaksana. Berbeda dengan apa yang disampaikan oleh para cendekiawan atau ilmuwan, sifatnya adalah dialog dan diskusi. Kita bukan hanya menjadi objek, tetapi kita bisa berpendapat dan menentukan langkah kita sendiri yang terbaik menurut pandangan kita. 

Agama adalah soal ideologi dan keyakinan. Sehingga, apa pun yang disampaikan oleh para ahli agama dengan berbagai dalil yang disampaikan, kita hanya bisa bilang "kita mendengar dan kita taat". 

Oleh karena itu, kita rindu pada sosok ulama atau tokoh agama yang membawa pada suasana kedamaian, kesejukan, dan kemuliaan hidup. Sosok penceramah agama yang benar-benar menjadi corong Tuhan dan pengikut Nabi, yang bersih dari kepentingan politik kekuasaan dan kesenangan dunia.

Pada prinsipnya, saya setuju jika masjid juga digunakan untuk kegiatan pendidikan politik umat, asalkan dengan mengedepankan nilai dan etika. Pendidikan politik tak harus terjebak pada siapa yang kita pilih dan kita tolak, serta siapa kawan dan lawan. 

Jika seperti ini, maka masjid telah menjelma menjadi tempat ibadah eksklusif dan tak independen, karena sudah terkooptasi oleh kepentingan politik tertentu. 

Padahal pembahasan politik dalam Islam sangat luas, termasuk di dalamnya bagaimana kita bisa menghargai perbedaan, menghormati hak-hak orang lain, membangun persaudaraan, kasih sayang, dan toleransi terhadap sesama.

Oleh karena itu, akan sangat berbahaya, jika tokoh agama sudah berbicara di atas mimbar, terlebih-lebih saat khotbah Salat Id atau Salat Jumat, jika tak dilandasi oleh kemurnian dan ketulusan dalam berdakwah.

Seorang penceramah akan dengan mudah menyisipkan narasi-narasi dukungan terhadap calon tertentu dan menyerang kubu lawan politiknya dengan berbagai dalil. 

Sedangkan jemaah atau umat yang di hadapannya tak bisa berbuat apa-apa dan hanya mendengarkan. Mereka tentu tak bisa menginterupsi atau membantah perkataan dari sang khatib. 

Meskipun, bagi jemaah yang cerdas dan kritis, mereka tak serta merta akan mengikuti anjuran dari tokoh agama tersebut. Tetapi bagi orang awam, ceramah dari khatib itu telah menggiring opini dan bisa menjadi pegangan di masyarakat.      

Jauh lebih berbahaya lagi, jika isi ceramahnya adalah hasutan, provokasi, ujaran kebencian, memfitnah, adu domba, dan menjelek-jelekkan pihak lawan politik secara vulgar. 

Sebaliknya, pada ujung ceramahnya adalah berisi sanjungan, pujian, dan kampanye untuk kandidat tertentu supaya menang, karena dianggap lebih bisa mewakili kepentingan pribadi dan kelompoknya.

Oleh karena itu, mari kita jauhi politisasi mimbar masjid di tahun politik ini. Kita jaga muruah mimbar masjid agar tetap "suci dan sakral" dari hal-hal yang berbau kekuasaan dan urusan keduniawian semata. 

Para penguasa mimbar, yaitu para khatib sebaiknya tidak terjebak pada pembahasan politik praktis dan penggiringan opini, meskipun sebatas kiasan, contoh, atau sekadar candaan. Semoga!

Imam Subkhan, Pemerhati Sosial, Sekretaris BPC Perhumas Surakarta

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun