Jujur saja, saya bekerja di radio belajar banyak hal. Tak hanya melulu soal kaset dan lagu. Di sana saya belajar tentang beragam karakter orang, bagaimana bekerja sama, meng-handle event yang besar, menjadi pemandu acara atau MC, memproduksi iklan, dan berbagai hal yang terkait dunia public relations. Tak heran, jika sampai sekarang saya menyukai dunia broadcast, termasuk akhir-akhir ini cukup aktif di Channel YouTube untuk mengunggah video-video karya sendiri. Dalam membuat konten video, tentu saya menggabungkan beberapa keahlian, seperti public speaking, editing video, editing audio, editing foto, kemampuan menulis naskah skenario, desain grafis, imajinasi, dan lain sebagainya. Oleh Karena itu, untuk mendukung kemampuan-kemampuan tersebut, sudah menjadi kebiasaan jika ada waktu senggang, saya selalu rajin baca buku tutorial film atau lihat di YouTube. Tak sedikit waktu, saya juga sharing ke teman-teman yang menekuni dunia videografi atau sinematografi. Â
Kenapa saya tertarik untuk menulis seputar radio, hari ini (26 Oktober 2018), saya diundang sebuah stasiun radio cukup ternama di kota Solo, yaitu radio Solopos FM dengan tajuk acara "Evening Talk 103 Gathering and Graphology". Di ajang ini, pihak radio mengundang para relasi, perusahaan pengiklan, pelaku usaha, orang-orang kreatif, pendengar setia, netizen, dan masyarakat luas. Saya kira, tujuannya tak jauh-jauh dari soal eksistensi radio di tengah-tengah keriuhan media informasi audio-visual berbasis digital dan internet. Para praktisi radio ingin membuktikan, bahwa kehadiran radio masih sangat relevan dengan kamajuan zaman saat ini. Keberadaan radio masih memiliki peran yang strategis untuk membagun image dan branding di tengah-tengah masyarakat yang kian modern.
Para pengelola radio saat ini, juga terus bergeliat mengikuti pesatnya perkembangan teknologi informasi yang ada. Mereka memanfaatkan jaringan online untuk memperluas akses siarannya. Para penikmat radio akan dengan mudah mengakses radio kesayangannya di berbagai media sosial melalui siaran streaming atau online. Bahkan, netizen bisa langsung melihat penyiarnya yang sedang cuap-cuap di ruang siar. Cara tegur sapa atau kirim-kirim salam pun sudah memanfaatkan akun-akun media sosial. Sekarang ini, hampir semua stasiun radio memiliki akun di berbagai media sosial, seperti facebook, twitter, Instagram, bigo live, line, skype, whatsapp, website, dan lain sebagainya. Bahkan tak sedikit, radio yang sudah memiliki channel di YouTube. Artinya mereka juga memproduksi siaran dalam bentuk video, meskipun hanya berupa video dokumentasi kegiatan off air-nya. Keren bukan? Mereka ternyata terus bertransformasi untuk bisa merebut hati masyarakat. Maka, kegiatan gathering semacam ini juga penting untuk semakin mengokohkan hubungan yang erat antara pengelola radio dengan kliennya.
Radio Tak Ada Matinya
Menurut saya, era radio hingga tahun-tahun ke depan belum akan mati. Radio masih memiliki peran yang strategis dengan segmentasi tersendiri dari media massa lainnya. Terbukti, sampai sekarang saja, setiap kota atau daerah, paling tidak memiliki lima bahkan sepuluh stasiun radio. Di Solo sendiri, saya hitung tak kurang dari 20 stasiun radio. Dan jika kita mencermati siaran-siaran radio, maka masing-masing stasiun radio memiliki kekhasan yang menyasar pada segmen pendengar tertentu.Â
Ada radio yang lebih dominan di news atau berita, ada yang di musik, ada yang di humor, ada yang di religi atau keagamaan, ada yang di kesehatan, ada yang di budaya, dan sebagainya. Mereka pun terkadang menembak para pendengar yang lebih spesifik lagi, seperti usia, jenis kelamin, profesi, kegemaran, dan karakteristik masyarakat lainnya. Para pelaku radio berlomba-lomba untuk mendekati para pendengarnya dengan sajian acara yang menarik dan memanjakan. Namun jika saya rangkum, radio sampai sekarang memiliki tiga fungsi utama, yaitu menghibur, mendidik, dan memberikan informasi seluas-luasnya kepada masyarakat.
Memang yang menjadi pekerjaan rumah bagi para pengelola radio adalah kemampuan finansial untuk menanggung biaya operasional, gaji SDM, pemeliharaan alat, pajak, perizinan, dan pembiayaan lainnya. Di luar itu, tentu saja pihak pengelola juga ingin mendapatkan profit untuk bisa mengembalikan modal, sekaligus mengembangkan usahanya lebih besar.Â
Oleh karena itu, jika kita lihat, pendapatan utama radio adalah dari iklan atau sponsor yang tayang di jam-jam siar. Selain itu, radio juga bisa berkreasi untuk menangkap peluang, seperti menyelenggarakan event, menjual program acara, menjual siaran berita, dan program kerja sama dengan berbagai instansi. Intinya, para pelaku usaha radio harus selalu berinovasi untuk memproduksi program-program acara yang menarik di masyarakat, sehingga memperluas segmentasi pendengar. Popularitas dan branding menjadi kunci untuk bisa menarik para calon pengiklan, berbondong-bondong ke radio tersebut. Jika radio sudah terkenal seperti itu, mereka bisa sedikit congkak untuk mengklaim, bahwa "Radionya adalah Nomor Satu Paling Banyak Pendengarnya". Sampai kapan pun, radio tak ada matinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H