Saya masih ingat betul, zaman masih duduk di bangku sekolah dasar (SD), saya dan kakak saya sering berebut untuk mendengarkan radio. Maklum saja, waktu zaman itu, kami hanya memiliki satu-satunya radio, yaitu radio bahan tripleks, merek National. Saya penyuka serial sandiwara radio dan lagu-lagu dangdut, sementara kakak saya begitu gandrung acara "Syair dan Lagu" yang mana penyiarnya membacakan lirik lagu secara pelan-pelan, kemudian para pendengar di rumah mencatatnya.
Mungkin karena kakak saya cewek, sehingga sangat telaten untuk mencatat. Saya pun terkadang penasaran apa yang dilakukan kakak, kemudian iseng-iseng membuka buku catatan lagu kakak yang lumayan tebal. Hampir sebagian besar adalah lagu-lagu pop. Dari kecil, saya termasuk yang kagum dengan tulisan tangan kakak, karena bagus dan rapi. Sangat berbeda dengan tulisan tangan saya yang super amburadul. Bahkan teman sekantor saya sampai bilang, tulisan saya yang terjelek yang pernah ditemuinya. Ha ha ha....
Sampai sekarang saya masih ingat, ada satu lagu yang sering dinyanyikan kakak dari catatan itu, adalah lagu berjudul "Aku Sayang Kamu" yang dipopulerkan oleh Cindy Claudia Harahap. Bahkan ketika waktu SMA, saya sudah punya gitar, mencoba untuk mencari kunci atau chords yang pas, dan menyanyikannya. Jika tak salah, lirik awalnya seperti ini:
Dan senja datang mengusik rinduku
berteman angin dan derunya ombak
seakan berbisik tentang cerinta cinta
menyibak tirai kerinduan
Nah, begitulah riwayat radio di tahun '90-an yang begitu melekat di masyarakat. Kebetulan saya tinggal di desa, setiap kali melewati rumah, selalu terdengar suara radio, ada yang menyetelnya pelan, namun ada juga yang keras. Tentu saja di jam-jam yang bukan waktunya azan, salat, dan mengaji. Menu acara siaran radio yang familier saat itu adalah berita, sandiwara, lagu-lagu, pengajian, kirim-kirim salam, kuis, karaoke pendengar, dan sebagainya. Bahkan ketika bulan puasa Ramadan, Pak Kiai sampai memutar radio dan disiarkan di corong atau pengeras suara masjid, terutama jelang berbuka. Tandanya waktu berbuka puasa adalah suara sirene yang keras dari radio. Begitu sirene berbunyi, anak-anak kampung langsung berteriak kegirangan dan bergegas masuk ke rumah-rumah untuk segera menyantap makanan.
Luar biasa bukan peran dan fungsi radio bagi masyarakat pada saat itu. Selain menghibur, juga ada unsur informatif dan pendidikannya. Termasuk pengumuman-pengumuman penting dari pemerintah, masyarakat tahu dari radio. Maklum saja, belum banyak penduduk yang memiliki televisi saat itu. Satu desa atau kampung, paling-paling hanya satu atau dua yang punya. Sehingga jika ada tayangan favorit masyarakat, seperti film atau tinju, berduyun-duyun warga kumpul di satu rumah yang punya televisi. Bayangkan saja, sudah TV-nya kecil, gambar hitam putih, dan ditaruh di atas lemari bufet yang tinggi. Sementara yang lihat adalah orang sekampung. Persis kayak lihat layar tancap di lapangan luas. Beberapa kali sampai terdengar suara "ssst....." dari bapak-bapak untuk membuat diam anak-anak yang ramai sendiri.
Bekerja di Radio
Ngomong-ngomong tentang radio, ketika masih jadi mahasiswa, saya pernah bekerja di sebuah stasiun radio. Awalnya saya ditugaskan di bagian umum dan administrasi, kemudian beralih ke divisi event organizer, ke produksi rekaman, dan terakhirnya kerja part time menjadi penyiar. Saya masih ingat waktu menjadi penyiar dulu, saya menggunakan nama udara "Andre Irawan". Itu pun teman senior saya yang memberi nama tersebut ke saya. Pokoknya dibuat nama sekeren-kerennya, biar dikira wajahnya ganteng oleh para pendengar di rumah. Ha ha ha...