Mohon tunggu...
Imam Subkhan
Imam Subkhan Mohon Tunggu... Penulis - Author, public speaker, content creator

Aktif di dunia kehumasan atau public relations, pengelola lembaga pelatihan SDM pendidikan, dan aktif menulis di berbagai media, baik cetak maupun online. Sekarang rajin bikin konten-konten video, silakan kunjungi channel YouTube Imam Subkhan. Kreativitas dan inovasi dibutuhkan untuk menegakkan kebenaran yang membawa maslahat umat. Kritik dan saran silakan ke: imamsubkhan77@gmail.com atau whatsapp: 081548399001

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menghadirkan "Kakbah" di Rumah-Rumah Kita

8 Juni 2017   21:05 Diperbarui: 9 Juni 2017   14:06 943
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belum lama ini, di awal-awal puasa Ramadan, saya mendapatkan pesan berupa video melalui whatsapp dari seorang kawan, tentang kejadian tawaf yang terhenti sejenak akibat berjubelnya lautan manusia di area pelataran Kakbah, di Masjidil Haram, Kota Mekkah, Arab Saudi. Konon, ini pertama kalinya dalam sejarah, aktivitas tawaf atau kegiatan berjalan mengelilingi Kakbah sampai terhenti beberapa saat, tepat di hari kedua bulan Ramadan 2017. Peristiwa langka ini tentu saja menjadi viral di media sosial. Selama ini, kegiatan tawaf berhenti ketika pelaksanaan salat wajib. Di luar itu, aktivitas tawaf akan terus berlangsung tanpa henti selama 24 jam di area pelataran Kakbah maupun di lantai-lantai yang memutarinya. Sebagaimana kita tahu, tawaf merupakan salah ratu rukun dalam pelaksanaan ibadah haji atau umrah, yang biasanya dilakukan sebanyak 7 kali putaran.

Hal ini menggambarkan, betapa banyak manusia, terutama kaum muslimin yang ingin berkunjung ke Kota Mekkah, tepatnya ingin beribadah langsung berhadapan dengan kiblat dunia, yaitu Kakbah. Padahal sekarang, sejak Masjidil Haram direnovasi besar-besaran, area tawaf semakin luas dan lebar, termasuk 5 lantai yang dipersiapkan untuk kegiatan tawaf. Sehingga dalam satu jam, daya tampung untuk jemaah yang akan melakukan tawaf bisa mencapai 107 ribu orang. Tetapi kenyataannya, dengan kejadian ini, menunjukkan bahwa perluasan area tawaf tetap saja tidak bisa menampung seluruh jemaah, akibat membeludaknya kaum muslimin yang hendak melakukan tawaf, terlebih-lebih di bulan suci Ramadan.

Itulah keistimewaaan Kakbah, sebagai pusat bumi dan poros alam semesta, yang sekaligus kiblat umat Islam sedunia dalam menjalankan ritual ibadah. Semua orang yang baru pertama kali melihat Kakbah, bisa dipastikan menangis, takjub, terharu, dan tersujud, karena menyaksikan salah satu keagungan Allah SWT. Selama ini, dia mengerjakan salat hanya mengarah ke kiblat, namun di hadapannya adalah dinding atau tembok kokoh masjid dan rumahnya, yang tentu saja akan melewati banyak benua dan samudra untuk bisa berhadapan langsung dengan Kakbah. Termasuk penulis, ketika berkesempatan menjalankan umrah bersama teman-teman kantor di tahun 2016, sungguh saya tak kuasa membendung air mata ini. Di depan saya, tampak menjulang tinggi bangunan Kakbah yang begitu indah dan wibawa, sementara di bawahnya, lautan manusia sedang mengelilinginya, sembari menyebut kebesaran Allah SWT. Sungguh pemandangan yang luar biasa dan tak pernah terlupakan sepanjang hidup saya. Tentu di hati saya, ingin sekali kembali menyambangi dan mencium hajar Aswadnya, yang menjadi magnet tersendiri bagi para jemaah tawaf.  

Saya juga meyakini, setiap kaum muslimin pasti ingin pergi ke sana, dan selalu merindukan Kakbah bagi yang pernah mengunjunginya. Maka tak heran, bagi yang sudah berhaji atau umrah, dan kebetulan memiliki harta yang cukup, selalu ingin melaksanakannya kembali. Padahal menurut tuntunan Islam, kewajiban menjalankan ibadah haji hanya sekali seumur hidup, selebihnya adalah sunah. Namun, tetap saja orang berbondong-bondong pergi ke sana setiap tahunnya. Sebagai sesama muslim, tentu saya menghargai atas keinginan mereka untuk selalu pergi ke Mekkah, karena merupakan hak seseorang yang boleh jadi menunjukkan kualitas imannya. Namun, ada yang jauh lebih penting dari sekadar ritual tawaf di depan Kakbah, yaitu makna atau hikmah setelah kita menyandang predikat haji atau umrah, terutama dalam kehidupan sehari-hari di lingkup keluarga dan masyarakat.

Menjaga Keistikamahan

Pertanyaannya, apakah kita bisa menjaga semangat, keistikamahan, dan kekhusyukan saat kita menjalankan ibadah, meskipun Kakbah itu tak lagi di hadapan kita langsung? Apakah air mata ini bisa terus meleleh dengan mengucap kalimat-kalimat keagungan Allah tanpa melihat Kakbah? Apakah kita bisa mempertahankan salat tepat waktu, bahkan sebelum azan berkumandang kita telah siap-siap berangkat ke masjid, manakala kita tidak berada lagi di Masjidil Haram? Dan pertanyaan menohok lagi, apakah keberadaan kita di tengah-tengah keluarga dan masyarakat mampu memberi pengaruh baik dan manfaat yang sebesar-besarnya untuk kemaslahatan mereka? Atau justru kita telah menjelma menjadi orang yang individualis, yang hanya mementingkan kenikmatan beribadah sendirian, tanpa memikirkan orang-orang di sekitar kita. Lalu bagaimana tanggung jawab kita terhadap keluarga dan sesama? Terlebih-lebih bagi laki-laki yang statusnya sebagai pemimpin di dalam keluarga. Tentu, ini bukan ciri-ciri orang yang layak mendapat label haji atau umrah yang mabrur, atau ibadahnya yang diterima Allah SWT, sebagaimana disebutkan oleh Rasulullah SAW.

Maka, yang sulit adalah bagaimana kita bisa menjaga keistikamahan ini, terutama dalam menjalankan ibadah kepada Allah SWT. Kita bukan penduduk Mekkah yang bisa setiap saat salat berhadapan langsung dengan Kakbah. Kita adalah orang Indonesia, yang berjarak kurang lebih tujuh ribuan kilometer yang melewati benua dan samudra untuk sampai ke Kota Mekkah. Sungguh kita akan menjadi orang istimewa dan mulia, manakala kita bisa tetap semangat dan khusyuk di setiap salat-salat kita. Meskipun kita kerjakan di rumah bersama anggota keluarga kita. Sebagaimana Rasul juga mengistimewakan umat setelah kehidupan beliau, yang tetap menjaga keimanannya meskipun tidak hidup di zaman Nabi.

Inilah yang disebut orang muhsin, bukan sekadar muslim (beragama Islam) atau mukmin (beriman kepada Allah SWT), yaitu orang-orang baik yang selalu bisa menjaga kepatuhan tak bersyarat atas perintah Allah. Mereka menyembah Allah seolah-olah mereka melihatnya, dan jika tidak melihatnya, mereka merasakan selalu dilihat dan diawasi oleh Allah SWT. Jika kita bisa demikian, sesungguhnya kita telah bisa menghadirkan "Kakbah" secara maknawi di rumah-rumah kita. Dan marilah, kita menjadi muslim yang bijak dan berlapang dada, yang mau memberikan kesempatan kepada saudara-saudara kita yang belum pernah sama sekali melihat Kakbah untuk bisa beribadah di hadapannya. Tentunya, kita tidak ingin menjadi sumber ketidaknyamanan mereka beribadah tawaf di Mekkah, dengan membuat suasana makin berjubel dan berdesak-desakan antar jemaah. Wallaahu a'lam bish-shawaab.

Tulisan ini pernah dimuat di Harian Joglosemar edisi Kamis (8/6).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun