Mohon tunggu...
Imam Subkhan
Imam Subkhan Mohon Tunggu... Penulis - Author, public speaker, content creator

Aktif di dunia kehumasan atau public relations, pengelola lembaga pelatihan SDM pendidikan, dan aktif menulis di berbagai media, baik cetak maupun online. Sekarang rajin bikin konten-konten video, silakan kunjungi channel YouTube Imam Subkhan. Kreativitas dan inovasi dibutuhkan untuk menegakkan kebenaran yang membawa maslahat umat. Kritik dan saran silakan ke: imamsubkhan77@gmail.com atau whatsapp: 081548399001

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

"Birunya Cinta" Payung Jokowi

4 Desember 2016   13:43 Diperbarui: 4 Desember 2016   21:32 575
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
PAYUNG biru yang saya beli di daerah Nonongan Solo.

Sebelumnya, tak usah baper dulu ya para netizen! Payung yang saya punya bukanlah payung yang dipakai Jokowi. Hanya kebetulan agak besar dan warnanya biru. Payung ini saya beli di daerah Nonongan Solo, dengan harga 40 ribu. Tentu dari kualitas bahan dan harga, akan sangat jauh berbeda dengan payung Jokowi. Ulasan saya ini memang sedikit terlambat dari peristiwa hebohnya payung Jokowi pada saat Aksi Super Damai 212 (2 Desember 2016) di lapangan Monas, yang dihadiri oleh jutaan umat muslim di Indonesia. Tetapi kalau saya amati, masih menjadi perbincangan hangat oleh pengguna media sosial sampai saat ini. Oh ya, ada yang tahu lirik lagu di bawah ini!

Birunya cinta,

kita berdua,

semoga abadi,

seperti birunya langit.

Tentu bagi penggemar lagu-lagu dangdut, masih ingat betul lagu berjudul Birunya Cinta yang pernah populer di tahun ’90-an, kala dinyanyikan oleh Dayu AG dan Kitty Andry, yang sekarang dirilis ulang. Warna biru dimaknai sebagai keabadian, sebagaimana dominasi warna langit yang berwarna biru, walau kadang tergantikan putih atau abu-abu tatkala mendung atau berawan.

Kali ini, saya tak berniat membahas lagu dangdut tersebut, karena memang bukan kapasitas saya, walau tak dimungkiri, saya termasuk penggemar lagu-lagu irama Melayu. Saya justru tertarik untuk mengaitkan sisi lain dari sebuah peristiwa besar di negeri ini, yaitu Aksi Super Damai 212, pada 2 Desember 2016 yang lalu, yang terkonsentrasi di lapangan Monumen Nasional (Monas) Jakarta. Di luar ketakjuban saya menyaksikan jutaan umat  melakukan doa dan zikir bersama, ada yang menarik buat saya, termasuk netizen di media sosial, tentang aksi Presiden Jokowi yang keluar dari istana, menerobos lebatnya hujan saat itu, dengan membawa payung sendiri. Jika dinilai dari aspek kelaziman, maka yang dilakukan oleh Jokowi, tentu tidak biasa untuk seorang pejabat publik, apalagi sekelas presiden dengan membawa payung sendiri, untuk sekadar melindungi tubuhnya dari guyuran air hujan. Padahal di sana, tampak para ajudan atau pengawal yang mengikutinya.

Sumber foto: CNN Indonesia
Sumber foto: CNN Indonesia
Bukan Pencitraan

Menurut saya, ini bukan pencitraan, tetapi ini karakter alamiah seorang Jokowi. Mungkin Jokowi hanya berpikir simpel, karena dia sadar bahwa langkah kakinya panjang-panjang. Sehingga kalau dipayungi oleh ajudan atau pengawalnya, malah tidak efektif dan menyendat perjalanannya untuk melaksanakan ibadah Salat Jumat di Monas.

Memang tidak ada yang aneh terhadap payung biru Jokowi, toh hal yang sama juga pernah dilakukan oleh presiden sebelumnya yaitu SBY, dan dengan payung besar berwarna biru juga. Hanya saja, di media sosial tidak seheboh seperti saat ini, berbeda tatkala Jokowi yang memegangnya. Hal ini juga sama terjadi dengan jaket bomber Jokowi yang heboh pada saat aksi 4 November, SBY-pun pernah mengenakannya. Namun, publik lagi-lagi menyikapinya berbeda. Inilah personal branding dan reputation, yang tidak bisa serta-merta diskenariokan dan direkayasa. Apalagi masyarakat sekarang sudah sangat cerdas untuk memaknai sebuah peristiwa atau perilaku para elit penguasa.

Kembali ke soal payung biru Jokowi. Tentu kita paham arti payung, yaitu alat pelindung badan supaya tidak terkena panas matahari atau hujan, biasanya dibuat dari kain atau kertas diberi tangkai dan dapat dilipat-lipat (sumber KBBI). Saya yakin pikiran Jokowi sederhana, dia memakai payung agar tidak basah kehujanan dan bisa nyaman dalam menjalankan ibadah. Tentu akan sangat menggangu, apabila melaksanakan salat dalam keadaan baju dan tubuh basah, yaitu dapat mengurangi kekhusyukan.

Tetapi jika dikaitkan dengan sejarah, arti payung bagi raja-raja terdahulu adalah simbol kebesaran. Seperti pada zaman Dinasti Cina, para kaisar menggunakan payung dalam perjalanan jauh. Saat itu payung terbuat dari besi yang sangat kuat dan bahan kain yang digunakan adalah kain mahal yang dihiasi oleh berbagai macam perhiasan. Dalam konteks ini, payung menjadi simbol kehormatan dan kemakmuran bagi kaum ningrat pada saat itu.

Tentu ini sangat berbeda konteksnya dengan apa yang dilakukan oleh Jokowi dengan payungnya, karena payung yang dipakainya adalah payung biasa yang juga bisa dimiliki oleh warganya. Tetapi, menurut saya ada yang lebih penting untuk dimaknai, bahwa bukan zamannya lagi dikatakan, ketika seorang pria atau laki-laki berpayung di saat panas atau hujan, itu berarti tidak jentelmen atau sebagai laki-laki penakut. Apa yang dilakukan Jokowi ini sekaligus mematahkan asumsi atau mitos, bahwa yang pantas dan berhak memakai payung adalah kaum perempuan. Nah, sekarang ini tidak lagi, artinya sah-sah saja kaum pria memakai payung sendiri di saat hujan atau panas. Ini hanya persoalan keamanan dan kesehatan saja, jadi bukan urusan gender.

Mari kita beralih ke soal warna, mengapa Jokowi memilih payung warna biru. Saya kira ini hanya faktor kebetulan saja, mungkin persediaan payung di istana adanya warna biru. Saya juga tidak tahu persis, apakah Jokowi atau pejabat istana yang lain dulunya pernah memerintahkan untuk membeli payung warna biru. Tetapi, asumsi yang kuat bahwa payung-payung biru milik istana tersebut sudah ada sejak presiden-presiden sebelumnya, karena SBY pun pernah memakainya.

Kebesaran Hati

Di luar faktor kesengajaan atau tidak tentang keberadaan payung biru tersebut, yang jelas Jokowi menunjukkan kebesaran hati yang luar biasa untuk mau mendatangi kerumunan massa yang begitu banyaknya, yang notabene adalah para pengkritik dan “pembencinya” dalam hal kasus Ahok. Tentu kita tahu, kasus dugaan penistaan agama oleh Ahok, sejak bergulir hingga sekarang, selalu dikait-kaitkan dengan Jokowi. Istana dan kepolisian dianggap telah bersekongkol untuk melindungi Ahok. Terlebih-lebih, Ahok manjadi salah satu kandidat calon gubernur DKI Jakarta dalam Pilkada tahun 2017. 

Walaupun Jokowi telah berkali-kali membantahnya, dan ini dibuktikan dengan penetapan Ahok sebagai tersangka atas dugaan penistaan agama. Jokowi tetap berpegang prinsip untuk tidak mau intervensi persoalan hukum, karena memang bukan wewenangnya. Tetapi, Jokowi meminta masyarakat, termasuk dirinya sendiri untuk mengawasi dan mengawal kasus ini terus bergulir hingga ke persidangan.  Namun begitu, peserta aksi 212 tetap menuntut agar Ahok ditahan dan dipenjara, apa pun itu alasannya. Inilah yang menjadi pikiran dan pekerjaan berat seorang Jokowi di ujung tahun 2016, yaitu menyelesaikan kasus Ahok dengan tetap menjunjung tinggi hegemoni hukum serta menjaga keutuhan NKRI.

Nah, menurut saya, pada aksi 212 Jokowi menunjukkan seorang presiden yang jentel, yang berani menghadapi massa pengkritiknya. Jokowi sadar betul, bahwa jutaan pasang mata yang menyorotnya tatkala memberikan orasi singkat di panggung adalah yang termasuk tidak suka dengan pribadinya atau pemerintah yang dipimpinnya. 

Karena Jokowi tahu persis bagaimana kata-kata nyinyir, caci-maki, bahkan kata-kata kotor dan melecehkan yang dialamatkan ke dirinya, terutama di media sosial. Dan Jokowi tahu, bahwa yang menghina dirinya, baik secara nyata maupun di dunia maya adalah sebagian ada di kerumunan massa saat itu. Tetapi Jokowi tetap tenang dan mengumbar senyumannya yang khas, dengan tanpa dibuat-buat. Dia tampil alamiah, sebagai seorang muslim yang sama-sama bertuhankan Allah SWT dan bernabikan Muhammad SAW. Sekali lagi, Jokowi menunjukkan kelasnya sebagai seorang presiden, yang wajib melindungi rakyatnya tanpa membeda-bedakan, sekalipun terhadap para haters-nya.

Payung berwarna biru Jokowi memberikan simbol cinta sejati seorang Jokowi terhadap rakyatnya. Payung biru itu pula yang memberi “kekuatan” Jokowi untuk menerobos hujan dan kerumunan massa dengan senyuman dan ketenangan. Maka, jika dikaitkan dengan tinjauan psikologi warna, biru bisa dimaknai dengan kejujuran, ketenangan, kesetiaan, keharmonisan, kelapangan dan kepekaan. 

Bahkan menurut beberapa pakar psikologi, biru itu berarti kestabilan dan kemapanan, karena merupakan warna langit yang selalu setia menaungi umat manusia. Meskipun langit dapat menjadi kelabu saat akan hujan, tetapi manusia akan tetap tahu bahwa di atas awan-awan berwarna kelabu tersebut tetap terdapat langit yang berwarna biru. Dan Jokowi dengan payung birunya adalah simbol seorang pemimpin yang melindungi rakyatnya dengan penuh rasa cinta, seperti birunya langit yang selalu memberi kesejukan dan kedamaian di muka bumi. ***

Imam Subkhan

Pemerhati Sosial tinggal di Karanganyar, Jawa Tengah

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun