Di samping itu, kelemahan konseptual yang lain dari UKG ini adalah hanya mengukur dua kompetensi guru, yaitu kompetensi pedagogik dan profesional. Barangkali, UKG hanya tepat untuk menguji kompetensi profesional guru yang mengukur tentang tingkat keluasan dan kedalaman guru dalam menguasai materi sesuai bidang studi yang diampunya. Tetapi untuk kompetensi pedagogik yang lebih banyak bersifat keterampilan (skill), sesungguhnya lebih efektif dilakukan observasi langsung pada saat guru mengajar di kelas. Tentu saja yang melakukan penilaian adalah kepala sekolah, guru lain atau teman sejawat, pengawas, bahkan bisa melibatkan orangtua dan siswa itu sendiri.
Lalu bagaimana dengan kompetensi kepribadian dan sosial guru? Jelas ini ini lebih sulit dan kompleks dalam mengukurnya, karena lebih mengarah pada ranah sikap (afektif), dan perilaku (psikomotorik) guru. Pemerintah seolah-olah abai dengan dua kompetensi terakhir ini. Maka tidak heran, jika dalam setiap pelaksanaan program pelatihan dan pengembangan guru yang digagas oleh pemerintah, dua kompetensi ini sama sekali tidak disentuh. Selalu saja pembicaraannya tidak jauh-jauh dari masalah kurikulum dan penerapannya, dan bahkan seringkali hanya berkutat pada hal-hal yang sifatnya administratif, seperti pendataan guru.
Padahal yang sering menjadi keluhan dari masyarakat, terutama orangtua dan siswa adalah mengenai sosok atau figur guru yang belum mencerminkan sebagai pribadi yang patut untuk diteladani. Bahkan sampai detik ini, tindak kekerasan pada siswa yang dilakukan oleh oknum guru masih terus terjadi. Bentuk kekerasan bukan hanya secara fisik, tetapi yang masif dilakukan oleh guru adalah justru kekerasan secara psikis, seperti membentak, menghina atau merendahkan martabat siswa, dan ungkapan-ungkapan guru yang tidak memotivasi dan mengapresiasi anak. Sikap dan perilaku guru inilah yang bisa menjadi penghambat bagi siswa untuk mengoptimalkan seluruh bakat dan potensi yang dimilikinya.
Bukankah menjadi guru adalah panggilan hati nurani untuk mengabdi, bukan semata-mata sebagai profesi untuk mengais rejeki. Ketika seseorang telah rela dipanggil dengan sebutan Pak Guru atau Bu Guru, sesungguhnya dia telah siap menjadi orangtua kedua bagi anak-anak didiknya. Maka, perlakuan dia terhadap muridnya, tentu tak jauh berbeda dengan kasih sayangnya kepada anak kandungnya sendiri. Inilah cerminan guru yang telah menguasai kompetensi kepribadian dan sosial secara sempurna.
Maka, pelaksanaan UKG yang dilakukan secara online dengan anggaran mencapai Rp 261 miliar ini bisa dikatakan mubazir, karena belum bisa menjadi instumen yang valid untuk mengukur kemampuan dan kinerja guru secara komprehensif dan holistik. Selain itu, pelaksanaan UKG berpotensi mengganggu jalannya kegiatan belajar mengajar di sekolah, karena para guru lebih fokus untuk menyiapkan diri dalam mengerjakan soal-soal UKG. Berpijak dari sini, jika ingin lebih obyektif dan efektif, penilaian guru harus melibatkan siswa dan stakeholder yang tahu persis bagaimana sepak terjang guru di dalam kelas.
Oleh karena itu, pelaksanaan uji kompetensi guru secara konseptual dan teknis harus diserahkan kepada pihak sekolah, dimana peran pemerintah melalui dinas pendidikan menyediakan instrumen yang diperlukan untuk pengukuran kompetensi dan kinerja guru di masing-masing sekolah. Selanjutnya, kekurangan atau kelemahan guru dalam penguasaan kompetensi tertentu dari hasil penilaian kinerja yang dijadikan acuan untuk program pendidikan dan pelatihan guru ke depan. Â
Imam Subkhan
Mahasiswa Pascasarjana Teknologi Pendidikan UNS, aktif di lembaga Diklat Guru Fataha ETC Solo.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H