Mohon tunggu...
Imam Subkhan
Imam Subkhan Mohon Tunggu... Penulis - Author, public speaker, content creator

Aktif di dunia kehumasan atau public relations, pengelola lembaga pelatihan SDM pendidikan, dan aktif menulis di berbagai media, baik cetak maupun online. Sekarang rajin bikin konten-konten video, silakan kunjungi channel YouTube Imam Subkhan. Kreativitas dan inovasi dibutuhkan untuk menegakkan kebenaran yang membawa maslahat umat. Kritik dan saran silakan ke: imamsubkhan77@gmail.com atau whatsapp: 081548399001

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sekolah Gratis Krisis Kualitas

6 November 2014   20:29 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:27 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekadar berbagi, tulisan ini pernah dipublikasikan di harian umum Solopos, edisi 6 November 2014. Mohon maaf kepada pihak-pihak yang merasa tersinggung dari tulisan ini. Selamat membaca!

Belum lama ini, saya mendapat undangan dari pihak sekolah anak saya, sebuah SD negeri di Karanganyar. Sengaja saya tidak menyebut nama dan alamat SD tersebut, khawatir terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Semisal, gara-gara tulisan saya ini, kepala sekolah bisa saja dipanggil mendadak oleh Bupati Karanganyar untuk dimintai klarifikasi, bahkan bisa dimutasi. Surat itu, sebenarnya ditujukan untuk semua walimurid kelas 1, hanya saja jadwalnya dibuat per rombongan kelas (rombel). Barangkali agar lebih fokus dan efektif bagi kepala sekolah untuk mengeluarkan unek-unek, sekaligus meminimalisir pertanyaan kritis maupun komplain dari walimurid.

Saya tertegun, ketika membaca perihal surat tersebut, yaitu “Membicarakan Tindak Lanjut Pendidikan Putra Putri Bapak dan Ibu.” Pikiran saya langsung berkembang ke mana-mana, apa yang terjadi dengan anak saya di sekolah, apakah tidak bisa mengikuti pelajaran dengan baik, ataukah ada masalah lain, sehingga diperlukan pembicaraan khusus untuk membahas masa depan pendidikan anak saya. Barangkali, orangtua lain pun akan berpikiran sama dengan saya, yaitu harap-harap cemas akan nasib anaknya. Mengingat, selama anak saya masuk sekolah, baru kali ini pihak sekolah mengumpulkan orangtua. Setahu saya, biasanya orangtua dikumpulkan pada awal-awal tahun pelajaran baru, untuk diberikan penjelasan mengenai program sekolah, kurikulum pembelajaran, fasilitas, tata tertib, termasuk komitmen dan tanggungjawab orangtua di dalam pendidikan anak.

Maka, untuk mengobati rasa penasaran dan kekhawatiran saya, sebelum hari H, saya sempatkan untuk bertandang ke sekolah anak saya, menanyakan perihal surat tersebut. Kebetulan langsung berjumpa dengan kepala sekolah, yang pada waktu itu tengah bersiap-siap masuk kelas 1 rombel A dengan agenda yang sama seperti undangan telah yang beredar. Dengan ramah, kepala sekolah sedikit menjelaskan mengenai tujuan pertemuan dengan para walimurid kelas 1, yaitu mengenai program sekolah gratis yang dicanangkan oleh Pemkab Karanganyar, yang dirasa banyak menghadapi kendala, terutama pada aspek ketercukupan biaya operasional sekolah. Dari sekilas penjelasan kepala sekolah, kegundahan saya sedikit terkikis, namun memunculkan banyak pertanyaan dan asumsi baru, ada apa dengan program sekolah gratis di bumi intanpari?

Benar saja, akhirnya pertanyaan-pertanyaan dan dugaan seputar program sekolah gratis mulai mengemuka tatkala kepala sekolah memberikan penjelasan pada waktu pertemuan. Momentum tersebut dijadikan kepala sekolah untuk menumpahkan unek-unek dan beban pikiran, yang beliau mengistilahkan sebagai forum ngudoroso di hadapan para orangtua. Orang nomor satu di sekolah anak saya ini memaparkan, bahwa program sekolah gratis yang telah dilaksanakan kurang lebih setahun ini dirasa menemui banyak kendala. Semboyan orang Jawa, Jer Basuki Mawa Beya dijadikan prolog sambutan kepala sekolah, bahwa setiap keberhasilan program membutuhkan biaya.

Lebih jauh kepala sekolah mengungkapkan, bahwa sebelum program sekolah gratis diluncurkan, orangtua dibebankan SPP Rp 80.000 tiap bulan. Ditambah iuran pengembangan pendidikan dan sarana-prasarana yang besarnya disepakati antara pihak sekolah dengan komite sekolah atau orangtua. Sehingga dengan pemasukan dana dari orangtua tersebut, sekolah memiliki keleluasaan untuk menjalankan program-program pendidikan terkait peningkatan prestasi belajar siswa. Setelah program sekolah gratis diterapkan, berbagai pungutan kepada orangtua pun dihapus. Praktis, sekolah hanya mengandalkan bantuan subsidi dari pemerintah daerah, yaitu sebesar Rp 8.000 per bulan tiap siswa. Jika dibandingkan besaran biaya sebelumnya untuk tiap anak yang ditanggung oleh orangtua, maka hanya sepersepuluhnya Pemda memberikan jatah anggaran pendidikan setiap siswa. Maka, kepala sekolah melontarkan pertanyaan retorika yang cukup menggelitik kepada orangtua yang hadir, ”Apakah Bapak dan Ibu menghendaki sekolah gratis berjalan tanpa program, apa ingin dengan program?”

Saya kira, bagi orangtua yang normal, tak ada satu pun yang tidak mau berkorban jika bicara kepentingan anak, apalagi masalah pendidikan. Ibaratnya, orangtua rela menjual apa saja yang dimilikinya, demi keberlanjutan pendidikan sang buah hati. Singkat cerita, kesimpulan dari pertemuan tersebut, bahwa sekolah menghendaki partisipasi aktif dari orangtua dalam bentuk inisiasi pengumpulan dana secara sukarela, tanpa membahayakan pihak sekolah, kaitannya program sekolah gratis. Tiap kelas diharapkan memiliki koordinator yang bisa memberdayakan peran orangtua dalam hal penggalian dana, dengan memegang prinsip, dari kita, oleh kita dan untuk kita. Maka, disepakatilah program infaq siswa tiap hari Jumat, pengadaan meja dan kursi anak, iuran penambahan jam pelajaran, iuran pengembangan bakat atau kegiatan ekstrakurikuler, perawatan fasilitas belajar, kesediaan pembelian atau mem-fotocopy buku tematik kurikulum 2013 dan lembar kerja siswa (LKS), termasuk untuk dokumen portofolio belajar anak. Tentang teknis pengumpulan dana, semua diserahkan dan dikelola oleh orangtua. Selama menyekolahkan anak saya di SD negeri tersebut, jujur saya hanya mengeluarkan biaya untuk seragam sekolah dan kelengkapannya, buku pelajaran, LKS, biaya tambahan jam, serta uang saku tiap harinya. Tanpa ada iuran wajib tiap bulannya.

Janji Kampanye

Pada kasus ini, saya sama sekali tidak hendak menyudutkan atau menyalahkan pihak sekolah yang ngudoroso pada orangtua, karena inti persoalannya sudah bisa ditangkap. Walaupun saya ada sejumlah pertanyaan mengenai pengelolaan dana bantuan sekolah. Setahu saya, ada beberapa jenis bantuan sekolah dari pemerintah, baik pusat maupun daerah. Mulai dari Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Bantuan Siswa Miskin (BSM), hingga alokasi anggaran (APBD) untuk pendidikan gratis di Karanganyar sebesar Rp 56 miliar.

Justru, kritik saya tertuju pada pembuat kebijakan ini, yaitu Bupati dan pejabat dinas yang terkait langsung dengan pengelolaan anggaran pendidikan di Karanganyar. Pertanyaan saya sederhana, bagaimana mekanisme penyaluran dan besar rincian dana dari Pemkab ke sekolah-sekolah, hingga masing-masing siswa dapat diketahui secara riil plot anggarannya. Karena sudah menjadi rahasia umum, anggaran dari atas ketika turun ke bawah sering terjadi penyusutan tidak wajar alias disunat. Sehingga ujung-ujungnya, kualitas pembelajaran anak di sekolah menjadi krisis. Pun sering terjadi, pihak sekolah yang ditengarai tidak cakap dalam mengelola keuangan sesuai spesifikasi di pagu anggaran.

Jika menelisik ke belakang, sekolah gratis merupakan salah satu program unggulan yang ditawarkan bupati dan wakil bupati terpilih, Juliyatmono-Rohadi Widodo semasa kampanye. Bukan hanya biaya SPP, mereka juga berjanji bakal membebaskan siswa dari biaya uang gedung maupun iuran lain untuk menunjang pengadaan barang investasi sekolah. Sehingga tidak ada lagi pungutan apa pun oleh sekolah terhadap orangtua. Tentu saja, jika melihat kondisi perekonomian dan tingkat kesejahteraan penduduk Karanganyar, program sekolah gratis menjadi harapan besar masyarakat, terutama warga miskin. Mengingat selama ini, faktor ekonomi menjadi pemicu utama angka putus sekolah, sehingga berdampak pada angka partisipasi kasar (APK) siswa yang terserap di pendidikan dasar dan menengah juga rendah.

Transparansi

Sesungguhnya, keberhasilan program sekolah gratis ini bisa menjadi salah satu tolok ukur kinerja kepemimpinan Bupati Karanganyar yang akan genap satu tahun di bulan Desember mendatang. Namun kenyataan di lapangan, tampaknya berbalikan dengan harapan Bupati dan masyarakat. Sekolah yang benar-benar gratis, belum bisa dinikmati oleh warga, termasuk saya. Tentu saja, jika kasus serupa juga terjadi di sekolah-sekolah lain. Pasalnya, sebelum berinisiatif mengundang walimurid untuk membuat program kesepakatan, kepala sekolah telah melakukan studi banding ke sekolah lain. Artinya jika dirunut, sekolah lain pun menghadapi permasalahan yang sama, terkait minimnya anggaran untuk biaya operasional sekolah, jika hanya mengandalkan bantuan dari pemerintah setempat.

Tentu masih segar di ingatan publik, pada awal tahun pelajaran baru 2014/2015, Pemkab menjanjikan untuk pengadaan seragam batik gratis untuk seluruh siswa, yang pada akhirnya batal direalisasikan. Dikarenakan alokasi anggaran pengadaan seragam sekolah belum dimasukkan pada ABPD 2014. Lagi-lagi siswa dan orangtua hanya bisa gigit jari, tanpa bisa menuntut apa-apa. Dan akhirnya harus rela membayar uang seragam sekolah.

Oleh karena itu, saya meyakini bahwa program sekolah gratis ini telah mendapat pembahasan secara detail dan matang, termasuk di tingkat dewan, yang pada akhirnya menyetujui alokasi anggaran sebesar Rp 56 miliar untuk pendidikan gratis. Masyarakat sesungguhnya hanya perlu keterbukaan dan transparansi tentang rincian anggaran per siswa tiap bulan dari BOS dan bantuan APBD tersebut. Sehingga ketika disandingkan dengan kebutuhan program pendidikan siswa, dapat diketahui tingkat ketercukupan biaya. Jika pada akhirnya, masih besar biaya operasional siswa dibandingkan dana bantuan yang ada, saya kira walimurid tidak segan-segan untuk ikut berpartisipasi aktif, selama kembali kepada kepentingan terbaik anak.

Ke depan, kita sama-sama menunggu komitmen (good will) Pemda Karanganyar dan institusi terkait untuk menyelenggarakan program pendidikan yang benar-benar gratis, tanpa mengabaikan aspek kualitas penyelenggaraan pendidikan itu sendiri. Sehingga program sekolah gratis bukan sekadar pepesan kosong. Semoga!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun