Mohon tunggu...
Imam Rahmanto
Imam Rahmanto Mohon Tunggu... Jurnalis - Coffee addict

Cappuccino-addict | Es Tontong-addict | Writing-addict | Freelance

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Paspor dari Profesor

17 November 2015   05:33 Diperbarui: 17 November 2015   07:11 322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya katakan saya tidak tahu. Dalam hidup ini, setahu saya hanya orang bodohlah yang selalu memulai pertanyaan hidup, apalagi memulai misi kehidupan dan tujuannya dari uang. Begitu seorang pemula bertanya uangnya dari mana, ia akan terbelenggu oleh constraint. Dan hampir pasti jawabannya hanyalah tidak ada uang, tidak bisa, dan tidak mungkin. --Rhenald Kasali

Dan bertebaranlah para mahasiswa kampus UI itu di pilihan negaranya masing-masing. Berbekal pengalaman dan Bahasa Inggris seadanya...

Buku dua seri ini membuktikan bahwa perjalanan keluar negeri memang bisa dilakukan seorang diri meski berbekal kenekatan. Uang, mungkin jadi pilihan ke sekian dari beberapa kendala yang menghadang. "If you really want to do something, you'll find a way. If you don't, you'll find an excuse," Jim Rohn said.

Saya punya seorang teman yang sudah pernah melakukan perjalanan serupa seorang diri. Biaya perjalanannya ia tabung dari hasil kerja setahun sebagai Barista di salah satu kafe franchise. Hasilnya? Lebih sebulan ia berpetualang ke beberapa negara di Asia; Malaysia, Thailand, Filipina, hingga China. Meskipun sebenarnya, kata dia, masih melenceng dari target awal perencanaannya.

Bahkan, salah satu mahasiswa yang berkisah di dalam buku 30 Paspor di Kelas Sang Profesor itu, Delinda, pernah saya temui di kampus UI. Di kepala saya masih jelas tertampung nama perempuan kecil yang menjadi L.O (pemandu) kami dalam event Journalist Days, nyaris 3 tahun silam. Seperti diceritakannya, ia sukses menginjakkan kaki di negara impiannya, Korea Selatan.

Saya sungguh suka dengan pemikiran Prof. Rhenald Kasali. Ia termasuk dosen yang suka berpikir "out of the box". Tugas di kelasnya tak melulu soal paper, soal, atau bacaan. Ia justru menunjukkan praktek langsung menjalani kehidupan, termasuk saat memberikan tugas membuat paspor kepada semua mahasiswanya. Seandainya semua dosen di kampus saya juga begitu...

Meski buku ini tak ditulis langsung olehnya, buku ini menjadi bagian dari penerapan self driving yang kerap disampaikannya kepada mahasiswa. Seperti saat membaca pengantar Pak Rhenald di awal membuka buku ini, saya ikut tertampar. Itu juga bagian terpentingnya.

Cerita-cerita yang menarik tentu menjadi suguhan buku ini. Banyak hal unik yang terjadi di negeri orang. Mulai dari bagaimana beradaptasi soal bahasa, mencari lokasi lewat peta, memanfaatkan transportasi yang tersedia, hingga cerita-cerita berkesan saat berteman dengan penduduk lokal. Semua cerita disajikan dengan gaya bahasa masing-masing penulisnya. Wajar, jikalau membaca buku tidak akan habis dalam sekali seruput cappuccino.

"Kita pergi jauh untuk menyadari dimana rumah kita yang sebenarnya." --hal.21 

***

Duh, Pak Rhenald, gara-gara pemikiran-pemikiran Anda yang unik, saya jadi tergoda ingin berbincang banyak hal dengan Anda. Kelak, mari kita bertemu sekadar mengobrol ringan di kedai kopi langganan Anda. Mungkin, tak jauh dari kampus tempat Anda mengajarkan "self driving". ^^

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun