Padahal, dalam cerita aslinya, Ben dan Jody menemukan Kopi Tiwus tidak “diantarkan” oleh El. Ceritanya, seingat saya, tidak mengikutsertakan sosok perempuan itu. Sosok El di film ini justru menggantikan sosok seorang bapak-bapak dalam cerpen, yang datang berkunjung ke kedai kopi Ben dan Jody.
Bapak-bapak perawakan sederhana, datang mengepit koran di ketiaknya, yang tidak terpengaruh rasa sempurna Ben’s Perfecto. Ekspresinya yang biasa-biasa saja pada kopi yang terenak di kedai itu memancing emosi dan rasa penasaran Ben. Ia pun bertanya tentang kopi apa yang bisa lebih enak dari kopi buatannya. Disinilah si bapak-bapak dari desa ini menunjukkan jalan menuju sebuah warung kecil milik Pak Seno di desanya.
Saya sendiri sebenarnya lebih sreg jika jalan ceritanya seperti di dalam buku itu. Sebagai seorang Q Grader Internasional, food traveler blogger, saya masih belum percaya seorang perempuan cantik dan mulus kulitnya seperti El pernah mampir di sebuah warung kecil pedesaan, sekadar mencicipi kopinya. What the...?
Di akhir cerita, saya baru ngeh, kalau sosok perempuan terpelajar ini digambarkan sebagai seorang penulis yang juga menerbitkan buku berjudul Filosofi Kopi. Ia juga bakal ditautkan pada pemeran utama lainnya.
Pada dasarnya, produksi audio-visual memang selalu mengikutsertakan perempuan cantik sebagai “pemanis”nya. Cerita di dalam buku Dee terkesan maskulin, tanpa sentuhan perempuan mana pun. Sementara jika film harus mengikuti cerita aslinya, tanpa kehadiran “eksploitasi” perempuan, mungkin diyakini sutradaranya film tidak akan laku di pasaran. Akh, selalu, perempuan cantik menjadi “jualan”.
Cerita Utuh
Bagi pembaca yang jeli, tentu tahu bagaimana jalan cerita yang sesungguhnya dari Filosofi Kopi. Alur film jelas-jelas menyatukan semua bagian secara utuh. Dalam artian, habis-sekali-babat.
Pencarian Ben dan Jody terhadap kopi terenak berakhir pada Kopi Tiwus, dengan alur sebagai berikut:
ditantang seorang pengusaha – meracik Ben’s Perfecto – El bilang masih ada kopi yang lebih enak – mendatangi Pak Seno – meracik Kopi Tiwus – pengusaha puas dan menyerahkan ceknya
Sementara di bukunya, saya mencatat alurnya justru agak berselisih paham sedikit,
ditantang seorang pengusaha – meracik Ben’s Perfecto – pengusaha puas dan menyerahkan ceknya – seorang bapak-bapak datang minum kopi dan bilang rasanya lumayan – mendatangi Pak Seno – meracik Kopi tiwus