Piala Dunia 2014 baru saja berakhir. Nyaris bersamaan dengan suksesi Pemilihan Umum Presiden republik kita tercinta. Yah, beruntung juga kedua momen besar itu segera berakhir. Bagaimana tidak, saban hari di jejaring sosial, terlihat orang-orang saling menghujat, saling mengunggulkan andalan masing-masing, saling lempar perdebatan, baik Piala Dunia maupun "Piala Presiden". Semua orang seakan-akan menjadi "full-mainstream". Ada juga tuh orang-orang yang jadi "komentator dadakan", ujug-ujug punya idola meskipun tak tahu latar belakangnya. Asalkan ikut rame-rame, katanya.
Saya bukanlah orang yang termasuk dalam golongan mainstream itu. Saya justru lebih suka jadi anti--mainstream. Yah, saya kerap kali tidak menyukai hal-hal yang disukai banyak orang. Aneh ya? It's me. Sama halnya dengan perkara "menyukai". Kalau ada seorang perempuan yang banyak ditaksir lelaki, saya cenderung lebih suka menjauh dan memilih untuk "tidak menyukainya". #ehh
Di kala orang-orang ramai berkicau, berganti status terkait Piala Dunia, saya justru tidak menikmatinya. Di kala orang ramai-ramai menonton tivi hanya demi menyaksikan tim andalannya berlaga, saya justru lebih asik menontoninya lewat twitter atau facebook. Kalau Google+ belum seramai itu. Sesekali kalau lagi bosan, saya menjelajah musik-musik keren di soundcloud.
Ditanya terkait tim andalan di piala dunia, maka hanya bisa menjawab seadanya saja. Yang terpikir hanya tim andalan yang biasanya saya pakai di game Play Station. "Inggris, Brasil, atau Argentina?" Dulu mah zaman-zamannya massih ada Crespo. Ditanya klub, pikiran saya juga menerawang hal yang sama. "Chelsea, Arsenal, atau Juventus". Tapi, Juventus nampaknya sudah mulai aus deh. Saya dulu masih semangat-semangatnya dengan Del Piero. Hahaha... sudah lama be-ge-te ya ingatan saya.
Kemarin, pas pertandingan final Piala Dunia, rencananya mau ikut menyaksikan laga terakhir antara Argentina dan Jerman. Kapan lagi coba.
"Ayo, Kak, nonton laga terakhir. Kapan lagi bisa nonton pertandingan piala dunia yang cuma sekali dalam 4 tahun. Lama loh ditunggunya," ajak salah seorang rekan saya. Mendengarnya, saya hanya senyum tak jelas.
Tapi, dorongan menonton itu ternyata tak cukup kuat. Saya justru menikmati browsing-browsing saya. Ya sudahlah. Hasil akhir pertandingan pun saya ketahui dari berita-berita online dan status-status online di dunia maya.
Berakhirnya Piala Dunia dan Pilpres, masih disambut dengan permasalahan saudara muslim kita di Palestina. Di ujung negeri sana, mereka sedang berjuang membebaskan diri dari "penjajahan" Israel. Orang-orang ramai membagikan gambar atau foto yang menyajikan kebiadaban bangsa Israel di jejaring sosial. Gambar-gambar itu.... membuat ngeri, jijik, hingga rasa simpati bercampur sekaligus. Yang saya herankan pula, masih banyak pula yang memberikan "LIKE" atas postingan itu?
Semalang-malangnya nasib bangsa saudara kita di Palestina, tidak seharusnya dikonfrontasikan dengan cara demikian. Menarik simpati dan empati orang lain tidak semestinya dengan membagikan gambar-gambar seperti itu? Saya justru menarik hipotesis, mereka yang membagikan postingan demikian justru orang-orang yang tak mengenal rasa kemanusiaan. Seenaknya saja memperlihatkan foto-foto dengan wajah tertembak, batok kepala pecah, usus terburai, kaki patah dan berdarah, puluhan jejer anak-anak yang mati. Apa mereka sendiri tidak tahu etika ya?? Pun, ini sedang bulan Ramadhan...
Di dunia tempat saya bergelut, jurnalistik, menyebarkan foto atau berita pun ada etikanya. Foto-foto yang mengerikan, yang hanya akan mengundang rasa ngeri (apalagi untuk anak-anak dan wanita) tidak akan ditampilkan. Yah, tidak akan ditampilkan, tidak peduli betapa menggugahnya kengerian itu. Bahkan, bagi kami, berita-berita yang bisa menimbulkan perdebatan dan konflik SARA amat dilarang untuk diterbitkan.