Mohon tunggu...
Imam Rahmanto
Imam Rahmanto Mohon Tunggu... Jurnalis - Coffee addict

Cappuccino-addict | Es Tontong-addict | Writing-addict | Freelance

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Membaca, ya Membaca!

22 Oktober 2014   14:10 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:08 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14139365481027818053

“Jangan kebanyakan baca buku. Gara-gara itu, kamu kehilangan kesempatan untuk mencari pacar,” timpal salah seorang teman setiap kali melihat saya sedang berkutat dengan sebuah buku.

Hah! Darimana kecocokannya? Membaca ya membaca. Nyari pacar ya nyari pacar.

Apa yang salah dengan membaca? Tak ada. Sepanjang waktu dan kehidupan, tak seorang pun yang menganggap membaca itu kebiasaan buruk. Mungkin dianggap kebiasaan buruk jikalau sudah sampai merusak mata. Ada tuh ya orang yang saking seringnya membaca, sampai lupa kalau matanya sudah nempel di depan permukaan buku.

Persoalan punya pacar atau tidak, bukan dilihat dari kebiasaan membaca, bukan? Saya membaca, karena saya butuh. Saya membaca, karena merasa kurang banyak tahu tentang banyak hal. Saya membaca bukan sekadar mengisi waktu luang, apalagi sekadar membuang-buang waktu.

[caption id="attachment_349097" align="aligncenter" width="306" caption="Sumber gambar: Facebook Profile"][/caption]

Justru, dengan membaca, saya bisa melihat dunia dari kaca-mata yang berbeda. Dengan membaca, kita tahu bagaimana bersikap sekaligus menambah kekayaan imajinasi kita (dan kosa kata). Pekerjaan membaca cenderung didekatkan dengan “kutu buku”, culun, cupu, dan tidak-keren lainnya. Akh, lagi-lagi paradigma yang ditanamkan media televisi sudah begitu mengakar dalam kehidupan sehari-hari. Padahal, jika ingin mengamati secara luas, ada banyak kok orang-orang keren di luar sana yang juga senang membaca.

Apa yang dikatakan teman saya itu, persis dengan apa yang selalu diucapkan oleh bapak saya.

“Pengalaman itu tidak dipelajari dari buku. Pengalaman ya dijalani,” kata bapak.

Akh, orang-orang zaman dulu masih belum dilimpahi banyak literasi seperti zaman kini. Memang benar bahwa pengalaman harus dijalani. Namun, pengalaman hanya bisa dilalui sepanjang kita hidup, yang sering kali tidak mencapai usia seabad penuh. Maka dibutuhkan pula kita menimba ilmu dari orang lain, atau hal lain. Alternatif termudah, dengan membaca pengalaman orang lain di buku atau literasi lainnya. Kalaupun bukan pengalaman nyata, paling tidak pengalaman yang “diprediksi” oleh orang lain (selaku penulisnya) akan terjadi di dunia nyata.

Bagi saya, membaca itu serupa meneguk Cappuccino. Saya mencanduinya. Saya memacarinya. Ehh. Mungkin seperti para perokok, yang tak pernah bisa lepas dari kretek-nya. Rasanya kurang maknyus kalau saya tidak membaca buku barang seminggu saja.

Saya tak punya banyak koleksi buku, namun saya punya cukup banyak “koleksi” teman. Dari mereka lah saya bisa meminjam buku secara cuma-cuma. Ada berbagai jenis buku. Mulai dari novel lokal, hingga novel terjemahan. Novel naratif, hingga novel inspiratif. Novel melankolis hingga novel sadis. Ketimbang saya harus membaca buku diktat kuliah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun