Mohon tunggu...
Imam Prihadiyoko
Imam Prihadiyoko Mohon Tunggu... Jurnalis - penulis

hobi travel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Klampok: Si Irung Mbangir

20 November 2024   06:00 Diperbarui: 20 November 2024   06:05 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menu sajian khas yang biasanya dikeluarkan saat ada momentum istimewa, seperti ada yang ulang tahun, dan di hari lebaran. Tanpa soto babat yang lengkap itu, rasanya lebaran jadi hambar. Meskipun, ada sajian rendang sapi, opor ayam dengan kuah yang kental, dan sambal goreng ati, serta kuah buncis ditambah potongan kentang dan bawang goreng, plus petai bakar. Menu terakhir ini memang tidak umum di Malang, namun ayahnya yang pernah beberapa lama tinggal di Palembang, telah menyerap kebiasaan lalapan petai bakar ini.

Lima tahun sudah, menu itu tak dinikmati Joy, setelah ibunya meninggal dunia, dan disusul dua bulan kemudian ayahnya juga meninggal. Joy yang jago masak dan paling paham dengan menu yang dibuat oleh ibunya, namun ada rasa yang kurang pas. Ia pun menyesal, dulu hanya belajar sekilas dan tak pernah mencoba membuatnya dikala sang ibu masih sehat. Bahkan, dirinya pun tak pernah menyangka kalau akhirnya lebih menyukai usaha kuliner ketimbang menekuni dunia arkeologi yang menjadi minatnya sejak lama.

Ia pun segera meletakkan tas ransel dan koper travel di kamar lamanya, ketika masih tinggal di Malang. Kamar itu bersih tak berdebu, karena memang Mbak Sumi selalu menjaga kebersihan kamar. Bahkan, seminggu sekali ia masih mengganti seprei dan sarung bantal di seluruh kamar yang ada. Tak lupa pula, meletakkan kembang melati di dalam gelas di atas meja kamar.

Saat ia membuka laci meja yang biasa digunakan untuk belajar, ingatannya pun tertuju pada buku hariannya yang masih ada di bagian dasar laci itu. Bagian ini cukup tersembunyi, dan mempunyai kunci otomatis yang dibuka dengan kombinasi deretan enam angka. Hampir saja Joy melupakan buku hariannya itu. Sekali lagi, ingatannya langsung melayang pada si irung mbangir, panggilan Hanna yang punya nama lengkap Sri Isyana Kusumawardhani, gadis yang telah memikat hatinya sewaktu duduk di bangku SMA.

Rumah Hana, dengan tempat tinggalnya ini hanya berjarak seratus meter ke arah timur dari rumahnya. Tadi ketika memasuki kompleks perumahan dosen senior ini, ia memang sempat berputar untuk sekedar nostalgia mengingat-ingat tiap rumah yang dilewati dan orang-orang yang tinggal di dalamnya saat kecil dulu. Saat melintas di depan rumah Hana, tak tampak aktivitas di rumah itu. Padahal, seiingatnya, orang tua Hanna paling suka membaca buku di teras kecil depan rumahnya itu. Kecintaannya pada buku, tampaknya menurun ke Hanna, yang juga menjadi kutu buku, terutama buku-buku yang terkait dengan sejarah. Baik itu sejarah Indonesia, maupun sejarah dunia.

Joy membuka halaman dengan pembatas pita merah, dan langsung terpampang pas foto Hanna dan foto full body nya yang masih tersimpan rapat dalam buku harian itu. Senyumnya yang tak pernah bisa dilupakan, mata bening yang memancarkan semangat, dan hidung mbangir yang sering kembang-kempis seperti kelinci. Hahaha, Joy tiba-tiba tertawa keras saat teringat dirinya memanggil Hanna dengan panggilan hidung kelinci. Hanna yang pada awalnya tak menyadari dengan panggilan itu, kemudian langsung melemparnya dengan buku sejarah tebal yang menceritakan kegigihan al Fatih saat menaklukkan Konstantinopel yang tengah dibacanya. 

Lemparan buku itu dengan tak sengaja, dapat ditangkap dan langsung dibawa lari. Hanna pun segera mengejar Joy dan meminta agar bukunya dikembalikan. Joy yang memang atletis dan terbiasa lari itu, sudah melesat menjauh dan rasanya tak mungkin Hanna bisa mengejarnya. Memang inilah yang terjadi. Di kejauhan Joy menikmati pemandangan yang luar biasa di matanya, saat melihat Hanna berlari. Rambutnya. yang terurai panjang itu, bergelayutan ke kiri dan kanan. Tak lama kemudian, Hanna tampak menyerah. Ia hanya berjalan pelan ke arahnya. Joy terus memperhatikan tingkah laku Hanna. Hanna yang kelelahan akhirnya duduk di bangku taman dengan kepala tertunduk. Kedua tangannya menutupi wajahnya dengan selampek handuk yang memang sering dibawa Hanna.

Perlahan, Joy pun merasa menyesal telah membawa buku itu kabur. Semua terjadi begitu saja dan tanpa direncanakan. Secara diam-diam dan perlahan, Joy mendekati Hanna yang sedang duduk di bangku panjang kayu. Bangku beton itu berada di bawah naungan pohon beringin yang tumbuh di taman depan perpustakaan kampus Universitas Negeri Malang.

Ketika posisinya di belakang Hanna yang sedang duduk, dengan jailnya, Joy menarik selampek warna pink dari tangan Hanna yang masih menutupi wajah. Woow, Joy pun kaget, dan makin menyesali perbuatannya. Pasalnya, saat selampek itu bisa dirampasnya, langsung terlihat betapa mata Hanna sembab akibat tangis.

Agak lama juga, muka Hanna masih ditutupi dengan kedua telapak tangannya. Sementara buku yang sudah dikembalikan di pangkuannya, tak disentuh. Dari sela-sela jari tangannya, ada aliran air mata. Hanna menangis tanpa mengeluarkan suara. Hanya pundaknya terguncang-guncang.

Wah apa sesungguhnya yang terjadi. Joy rasanya tidak percaya, jika yang dilakukannya akan menorehkan kesedihan yang luar biasa pada diri Hanna. Perlahan pun, Joy mendekati lagi Hanna. Ia pun meminta maaf atas apa yang sudah dilakukannya. Namun Hanna tak juga membuka kedua telapak tangannya. Malah suara sesegukkan yang tertahan terdengar semakin jelas. Joy pun makin bingung, apa yang membuat Hanna menangis seperti itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun