Mohon tunggu...
Imam Prihadiyoko
Imam Prihadiyoko Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Lahir dan besar di Lahat, Sumatera Selatan, 17 Desember 1972. Baru keluar kampung ketika kuliah di jurusan Ilmu Politik, FISIP-Universitas Indonesia, tahun 1992. Lulus dari kampus Depok tahun 1997, sejak itu melanglang di dunia jurnalistik sampai sekarang. Hidup ini seperti ikan yang berenang di sungai Lematang. Kala sungai banjir, terpaksa menepi. Disaat lain, sungai tampak jernih, udara sejuk, cahaya matahari cerah, bisa berkeliling sungai. Namun, baik banjir maupun tenang, mendung ataupun cerah, semuanya bagian kehidupan yang mestinya dijalani dengan senang dan sabar. Akan sangat senang kalau ada yang mau berteman, hubungi: mamprihadiyoko@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Apakah Resto Kita Perlu Tanda Halal

27 Juni 2012   08:02 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:29 501
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang teman sebut saja Cenil baru saja bercerita, betapa susahnya mencari makanan halal di Mal Gandaria City. Maklum, setelah mendapat bonus dari kantor tempat ia bekerja, Cenil ingin mengajak suami dan anak-anaknya makan-makanan di restoran mewah di mal yang megah tersebut.

Pilihan lokasi sudah dijatuhkan pada  Gandaria City. Sesampainya  mereka disana, perburuan restoran pun langsung dilakukan. Tidak jauh dari pintu masuk, mereka menemukan restoran yang menyediakan steak. Air liur sudah terbit, daging panggang panas yang dilumuri bumbu dan sedikit kepulan asap sudah terbayang di depan mata.

Tapi Upsss, sebagai Muslim, Cenil agak jengah ketika melihat daftar menu yang tersedia. Di sana juga tercantum makanan yang mengandung babi. Dipanggillah pelayan, yang kemudian menjelaskan bahwa tempat gril daging halal dan babi itu terpisah, namun piring dan yang lainnya sama.

"Tetapi semua sudah dicuci bersih kok," jawab sang pelayan.

Mereka pun, minta maaf pada sang pelayan kemudian berlalu.

"Bukan karena kami kolot, tetap rasanya tetap belum bisa menerima makan menggunakan piring yang ada kemungkinan pernah digunakan untuk menyajikan babi," ujar Cenil.

Suami Cenil langsung mengajak pindah ke restoran lain. Dan sebelum masuk, mereka langsung bertanya pada pelayan restoran tersebut, "disini ada babinya gak," tanya suami Cenil yang dijawab dengan tegas dan riang gembira,"Kami punya banyak menu pilihan untuk babi," ujarnya.

Tentu saja, Cenil sekeluarga langsung putar badan. Di restoran ketiga yang mereka ingin masuki, mereka kembali bertanya, "di restoran ini ada babinya gak?" yang dijawab oleh pelayan ," ada pak, tetapi tidak banyak pilihan yang tersedia," ujarnya.

Hahhh, acara mengajak anak makan di restoran mewah dan ingin memperkenalkan budaya cara makan di restoran itu yang semula dilakukan dengan bersemangat, akhirnya menjadi pengalaman yang penting buat mereka sekeluargal. Mereka sekeluarga langsung malas dan mulai ragu untuk memasuki restoran yang ada di sana, dan bahkan mungkin restoran lainnya.

"Betapa ngerinya ya, bagi saya yang Muslim, di negeri yang sebagian besar warganya Muslim, namun harus ragu dan selalu bertanya-tanya saat masuk ke restoran. Saya tidak ingin melarang restoran itu menjual menu makanan yang dibuat dari babi, namun saya menyesalkan mengapa tidak ada tanda bahwa restoran itu punya jaminan halal. Tapi masak sih, di negeri ini restoran harus mencantumkan tanda halal, atau di setiap produknya harus ada tanda halalnya. Padahal dulunya kalau mau masuk restoran kita tidak perlu ragu apakah restoran itu halal atau tidak," ujar Cenil yang mengaku sekarang punya kebiasaan baru, untuk selalu bertanya tentang halal atau tidaknya makanan yang disediakan di sebuah restoran.

Sekarang saya pun jadi ikut berfikir, sebagai Muslim tentu tidak bisa menerima makanan yang dilarang agama. Namun bagaimana saudara Muslim lainnya, apakah mereka menyadari ini ? waulahualambishawab

"Kalau dulu saya tidak terlampau tertarik bahkan cenderung curiga dengan label halal yang digagas MUI, namun sekarang tampaknya saya harus berpikir berpuluh kali untuk menolak pelabelan tersebut," ujar Cenil dengan tersenyum.

Bagaimana dengan saudaraku semua, hmmm kalau saya mungkin akan melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan Cenil.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun