“Mas, apa betul SB mundur dari PAN,”
Itu merupakan satu dari ratusan SMS yang masuk ke ponselku dari kader PAN, teman wartawan, dan Muhammadiyah.
“Betul,” itulah balasanku singkat, menjawab setiap SMS yang menanyakan tentang kebenaran kabar mundurnya SB.
Tidak lama kemudin, salah satu kader PAN dari Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan, yang juga teman masa kecilku menelepon. Dengan agakpelan dia berkata,
“Sayang ya Mas, tetapi mungkin itu lebih baik buat Mas Tris. Padahal, kalau saja SB melawan, kita siap di belakangnya Mas,” ujarnya.
“Waktu kampanye kemarin, sayang sekali SB tidak sempat pergi ke Lahat. Padahal sudah dirancang jauh hari, dan SB nya juga sudah di Palembang. Kami disini, sebetulnya merasakan kepengurusan sekarang ini kembali bergantung pada satu tokoh saja. Dan banyak melahirkan yes man di sekitarnya,” ujarnya.
Lamunanku langsung berpindah pada kampung halamanku yang sudah kutinggalkan sejak 1991. Artinya, sudah 19 tahunkutinggalkan air sungai Lematang tidak menyentuhku. Dalam kurun waktu itu, hanya beberapa kali saja aku menyambangi Lahat. Itupun, seingatku tidak lebih dari hitungan jari.
Aku ingat jelas, setiap hari bersepeda ke sekolah terbaik yang ada di kota Lahat. Sungguh beruntung, orangtuaku memilihkan tempat sekolah terbaik di kota kelahiranku, Santo Yosef Lahat. Sebuah sekolah yang dalam ukuran fisik gedungnya, tidak ada bandingannya disana. Semua pejabat kota, termasuk Bupati Lahat, mengirimkan anaknya untuk dididik di sekolah itu.Sekolah yang telah memberikan landasan tentang pemahaman dunia lain yang plural, di luar keluargaku yang tetap mewajibkanku untuk ngaji pada seorang ustadz kampung.
Lamunanku terhenti oleh dering ponselku. Ketika kulihat di layarnya, ternyata dari salah satu anggota DPR dari Fraksi PAN saat yang terpilih dalam pemilu 2009 lalu. Sang anggota Dewan hanya ingin memastikan kabar kalau Soetrisno Bachir mundur dari PAN. Ia yang mengaku tidak terlalu dekat dengan SB, namun merasa kehilangan ketika SB mundur dari PAN. Secara jernih, ia memperkirakan model kepemimpinan PAN yang kolegial dan setara akan hilang. Apalagi, gejala gaya kepemimpinan yang tidak mau dibantah, mulai terlihat di PAN.
“Kepada SB, kita bisa bicara dengan gampang bahkan bisa mendebat pandangannya. Kita juga tidakperlu aturan protokoler yang ketat untuk bertemu dengannya,” ujar sang anggota Dewan.
Hari ini, tepat diusianya yang ke-12, Partai Amanat Nasional kembali kehilangan tokoh yang pernah memelihara suara PAN selama lima tahun. Ya Soetrisno Bachir mengundurkan diri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H