Mohon tunggu...
Imam Prasetyo
Imam Prasetyo Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Saya muslim

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Jokowi Mulai Melepas Tanggung Jawab

14 Februari 2019   11:13 Diperbarui: 14 Februari 2019   11:16 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden RI Joko Widodo melakukan uji coba rangkaian kereta ringan (light rail transit; LRT) Palembang, Sumatera Selatan, Jumat (13/7/2018) sore. [Suara.com/Andhiko Tungga Alam]

"Infrastruktur yang dibangun adalah menghadapi masa-masa itu, masa depan seperti itu. Jangan nanya sekarang ini tidak ada gunanya, bukan begitu. Tapi sekali lagi semua yang persiapkan saat ini untuk menghadapi masa depan yang dibutuhkan, begitu," kata Moeldoko di Kantor Staf Presiden, Jakarta, Selasa (12/2/2019). 

*****

Gak kaget kalo pertumbuhan ekonomi Indonesia stagnan diangka 5% karena pembangunan infrastruktur yang kalap dilakukan oleh Jokowi ternyata memang tidak berorientasi kepada manfaat ke-ekonomian melainkan bak membangun monumen untuk jejak sejarah keberhasilan sebuah rezim. Bagi rezim yang berkuasa hari ini, pembangunan yang massif --katanya-- untuk percepatan Indonesia sejajar dengan negara-negara lain semata-mata untuk kepatutan dan bukan kebutuhan.

Membayangkan populasi masyarakat Palembang yang tidak sepadat Jakarta, ratio antara bentang jalan, moda transportasi dan warga yang tidak sepadat Jakarta dipaksakan membangun sebuah proyek 'mercusuar' yang menghabiskan dana 10.7 trilyun dan perbulan memakan dana untuk beroperasi sebanyak 9.5 milyar dan konyolnya hanya mampu mengeruk pendapatan sebesar 1 milyar rupiah. Alhasil ada defisit sebesar 9 milyar rupiah perbulan.

Pembangunan sarana dan prasarana Light Rail Transit (LRT) Sumatera Selatan disebut memiliki sejumlah kelemahan. Hal ini disampaikan oleh Wakil Gubernur Sumatera Selatan Mawardi Yahya. Selain menuding Kemenhub kurang melakukan kajian yang mendalam, proyek tersebut, kata politikus Golkar itu, dinilai terkesan asal jadi karena harus selesai sebelum pembukaan Asian Games pada Agustus tahun 2018 lalu . Tentu saja ungkapan Mawardi ini akan menimbulkan kesan adanya perseteruan politis antara daerah dan pusat. Lagi-lagi, rezim ini memang minim koordinasi. Barangkali karena para menteri lebih sering mematutkan pimpinannya melakukan pencitraan.

Dalam beberapa kali interaksi di linimasa, kerap para pendukung rezim mengabaikan keluhan publik terkait adanya sejumlah proyek infrastruktur yang dibangun secara massif menggunakan utang BUMN tersebut dengan argumentasi bukan duitnya rakyat. Entah siapa pembisik mereka tersebut jika efek dari utang-utang tersebut akan membuat rezim menjadi rakyat sebagai sapi perahanannya. Kasat mata adalah upaya penarikan pajak sekaligus menaikkan besaran pajak yang akan dikenakan. Belum lagi efek-efek seperti pencabutan subsidi kepada rakyat marjinal.

Pembangunan yang hanya berbasis ilusi dan fantasi memang hanya berakhir seperti LRT Palembang yang kesepian di tengah decit rel yang berangkan dari hutang dan akan lunas dalam puluhan tahun ke depan.

Penumpang LRT di Palembang, Sumatra Selatan. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Penumpang LRT di Palembang, Sumatra Selatan. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Publik memang harus cerdas membaca gerakan politis dalam bentuk kebijakan pembangunan yang ugal-ugalan dari rezim yang berkuasa hingga April 2019 ini. Sesumbar tentang keberhasilan tidak bisa diukur dengan progres pembangunan alias tidak mangkrak. Bisa jadi Tol Becakayu 'dimangkrakan' oleh SBY, presiden pendahulu karena hasil evaluasi tim teknis yang menengarai adanya peluang tidak adanya benerfit, baik secara ke-ekonomian atau tingkat utilisasi dari proyek tersebut. Dan terbukti, ruas Tol Becakayu adalah ruas yang sepi lalulintas meskipun PT Waskita Toll road, pemegang konsesi jalan tol Bekasi-Cawang-Kampung Melayu (Becakayu) telah memberikan potongan tarif (diskon).

Pada sesi debat kedua nanti, salah satu topik yang akan diangkat adalah tentang infrastruktur sungguh akan menjadi topik yang paling terlemah dari sekian banyak kegagalan rezim ini menjalankan roda pemerintahan. Sudah berhutang yang luar biasa, kegagalan pemerintah hadir di bandul keadilan karena memang melibatkan dirinya untuk memainkan pedang keadilan sesuai dengan konsep, "lawan atau kawan".

Infrastruktur bukan sekedar bangunan yang mengkonsumsi semen-semen pabrikan Tiongkok semata. Tapi juga mempertimbangkan asas kemanfaatan dan bermanfaat. Tidak menjadi sebuah tonggak keberhasilan seperti Tugu Monas yang memang menjadi ikon Indonesia. Lagipula pembangunan harusnya tetap berlari pada jalur pembangunan yang didalam istilah Orde Baru disebut dengan Pelita atau RPJMN dan RPJP. Tidak bisa membangun bermodalkan 'wangsit' dari bisikan para pemodal yang butuh realisasi dari komitmen saat sebelum terjun di gelangang kontestasi dahulu.

Yang terjadi adalah, rezim hanya mampu 'terkaget-kaget' saat beberapa hasil dari  ambisinya membangun ini-itu ternyata direspon negatif oleh publik. Hanya kekagetan saja. Lho kok kaget pak Bos? Ndak mikir saya!...

"Seseorang sering ter-kaget2 karena tidak terbiasa memperkiran apa yg terjadi (melakukan simulasi) dan/atau sistem disekellingnya ABS (Asal Bapak Senang).. Gampang kaget deh," tulis Rizal Ramli di timeline-nya menanggapi pertanyaan salah satu netizen.

Jokowi seakan-akan bermimpi akan memimpin dua periode untuk melanjutkan kegagalan pembangunan infrastruktur dan menyebutkan periode kedua adalah revolusi karakter dan pembenahan SDM. Padahal dalam beberapa postingan netizen, kita semua mahfum, bahwa keminiman pemahaman rezim atas persolan bangsa jadi pintu masuk para oportunis untuk meng-golkan kepentingan kroni mereka. Prilaku ABS (asal bapak senang) menjadi tontonan publik. Gak kaget antara satu menteri dan menteri lainnya pada eker-ekeran (jawa: berantem). 

Hanya satu topik saja para menteri dari rezim ini anteng dan sepakat, tidak memperlihatkan friksi dan dinamika adu argumentasi ke hadapan publik, yakni remisi untuk Robert Tantular. Membayangkan seorang bandit yang mencoleng duit rakyat trilyunan rupiah dapat remisi 77 bulan atau 6.5 tahunan. Wow!

kaskus.co.id
kaskus.co.id

Apa tega kita men-cap rezim ini rezim maling?

Penulis memilih untuk menyebutkan rezim ini adalah produk 'media darling' yang gagal. Mengutip pendapat Arbi Sanit beberapa tahun lalu pasca pelantikannya menyebutkan sosok presiden ketujuh ini hanyalah presiden kebetulan. Bukan betul-betul presiden. Bahkan Arbi Sanit memprediksi akan terjadi kekacauan hukum dan pemerintahan karena dipimpin oleh presiden terlemah dalam sejarah Indonesia. Modal besar rezim ini adalah keberhasilan konsultan asing yang memoles citranya dan kesuksesan media mainstream membombardir publik dengan fake news. 

Jadi abaikan saja sihir-sihir media yang sudah terkooptasi dan beralih menggunakan nalar dan fakta-fakta yang berserakan didepan mata.

sumber: twitter.com
sumber: twitter.com
Salam Umbul-Umbul di Solo!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun