"Infrastruktur yang dibangun adalah menghadapi masa-masa itu, masa depan seperti itu. Jangan nanya sekarang ini tidak ada gunanya, bukan begitu. Tapi sekali lagi semua yang persiapkan saat ini untuk menghadapi masa depan yang dibutuhkan, begitu," kata Moeldoko di Kantor Staf Presiden, Jakarta, Selasa (12/2/2019).Â
*****
Gak kaget kalo pertumbuhan ekonomi Indonesia stagnan diangka 5% karena pembangunan infrastruktur yang kalap dilakukan oleh Jokowi ternyata memang tidak berorientasi kepada manfaat ke-ekonomian melainkan bak membangun monumen untuk jejak sejarah keberhasilan sebuah rezim. Bagi rezim yang berkuasa hari ini, pembangunan yang massif --katanya-- untuk percepatan Indonesia sejajar dengan negara-negara lain semata-mata untuk kepatutan dan bukan kebutuhan.
Membayangkan populasi masyarakat Palembang yang tidak sepadat Jakarta, ratio antara bentang jalan, moda transportasi dan warga yang tidak sepadat Jakarta dipaksakan membangun sebuah proyek 'mercusuar' yang menghabiskan dana 10.7 trilyun dan perbulan memakan dana untuk beroperasi sebanyak 9.5 milyar dan konyolnya hanya mampu mengeruk pendapatan sebesar 1 milyar rupiah. Alhasil ada defisit sebesar 9 milyar rupiah perbulan.
Pembangunan sarana dan prasarana Light Rail Transit (LRT) Sumatera Selatan disebut memiliki sejumlah kelemahan. Hal ini disampaikan oleh Wakil Gubernur Sumatera Selatan Mawardi Yahya. Selain menuding Kemenhub kurang melakukan kajian yang mendalam, proyek tersebut, kata politikus Golkar itu, dinilai terkesan asal jadi karena harus selesai sebelum pembukaan Asian Games pada Agustus tahun 2018 lalu . Tentu saja ungkapan Mawardi ini akan menimbulkan kesan adanya perseteruan politis antara daerah dan pusat. Lagi-lagi, rezim ini memang minim koordinasi. Barangkali karena para menteri lebih sering mematutkan pimpinannya melakukan pencitraan.
Dalam beberapa kali interaksi di linimasa, kerap para pendukung rezim mengabaikan keluhan publik terkait adanya sejumlah proyek infrastruktur yang dibangun secara massif menggunakan utang BUMN tersebut dengan argumentasi bukan duitnya rakyat. Entah siapa pembisik mereka tersebut jika efek dari utang-utang tersebut akan membuat rezim menjadi rakyat sebagai sapi perahanannya. Kasat mata adalah upaya penarikan pajak sekaligus menaikkan besaran pajak yang akan dikenakan. Belum lagi efek-efek seperti pencabutan subsidi kepada rakyat marjinal.
Pembangunan yang hanya berbasis ilusi dan fantasi memang hanya berakhir seperti LRT Palembang yang kesepian di tengah decit rel yang berangkan dari hutang dan akan lunas dalam puluhan tahun ke depan.
Pada sesi debat kedua nanti, salah satu topik yang akan diangkat adalah tentang infrastruktur sungguh akan menjadi topik yang paling terlemah dari sekian banyak kegagalan rezim ini menjalankan roda pemerintahan. Sudah berhutang yang luar biasa, kegagalan pemerintah hadir di bandul keadilan karena memang melibatkan dirinya untuk memainkan pedang keadilan sesuai dengan konsep, "lawan atau kawan".
Infrastruktur bukan sekedar bangunan yang mengkonsumsi semen-semen pabrikan Tiongkok semata. Tapi juga mempertimbangkan asas kemanfaatan dan bermanfaat. Tidak menjadi sebuah tonggak keberhasilan seperti Tugu Monas yang memang menjadi ikon Indonesia. Lagipula pembangunan harusnya tetap berlari pada jalur pembangunan yang didalam istilah Orde Baru disebut dengan Pelita atau RPJMN dan RPJP. Tidak bisa membangun bermodalkan 'wangsit' dari bisikan para pemodal yang butuh realisasi dari komitmen saat sebelum terjun di gelangang kontestasi dahulu.
Yang terjadi adalah, rezim hanya mampu 'terkaget-kaget' saat beberapa hasil dari  ambisinya membangun ini-itu ternyata direspon negatif oleh publik. Hanya kekagetan saja. Lho kok kaget pak Bos? Ndak mikir saya!...