Selisih angka elektabilitas Tuan Petahana dan penantang kian menipis. Hanya sekisar dua puluhan persen, bahkan ada yang berani menyebutkan bahwa tinggal 6% saja. Sebuah angka yang membuat rezim penguasa mulai dijangkiti bakteri Salmonella. Badan meriang dan panas-dingin.
Padahal waktu empat tahun berikut ribuan trilyun dana negara telah dipergunakan Tuan Petahana sedemikian rupa ternyata tidak seketika rakyat melabuhkan harapannya.Â
Belum lagi panggung mewah hasil pilpres yang memakan anggaran trilyunan rupiah ternyata tidak otomatis membuat Tuan Petahana melenggang kangkung untuk se-enak perutnya menduduki kursi kepresidenan. Ada apa? Rakyat kehilangan kecerdasan dan nalarnya atau jangan-jangan nalar dan logika-lah yang membuahkan hasil survei seperti itu?
Reuni 212 kemaren, --jika masih dituding sebuah aksi berbayar oleh kubu petahana-- adalah sebuah gambaran realistis tentang menjauhnya rakyat dari daya magnis rezim yang selalu dipublikasikan oleh mass media partisan.Â
Betapa tidak, jumlah yang fantastis yang secara miris coba di downgrade bahkan oleh Kepolisian sebagai aksi yang hanya diikuti sekitas 40 ribu partisan tersebut adalah sebuah gambaran kasat mata mereka yang bisa ditebak tidak akan pernah mencobloskan paku ke wajah Jokowi atau Ma'ruf Amien di bilik suara kelak. Jika saja kita semua sepakat, jumlah yang hadir tadi bisa mengajak 2 orang saja untuk melabuhkan harapan akan Indonesia yang Adil-Makmur, maka pemilu sudah bisa kita prediksi saat ini siapa yang kelak akan menahkodai Indonesia lima tahun ke depan.
Provokasi dan agitasi kampungan dari Wiranto, Luhut Binsar dan beberapa speaker rombeng seperti Adian Napitupulu, Ruhut Sitompul, Irma Suryani dan mungkin pseudo-pengamat seperti Boni Hargen akan Reuni ini sebelum berlangsung semakin meneguhkan publik bahwa rezim hari ini tengah diselimuti kekuatan hitam pekat yang membuat pandangan relatif memendek. Memproyeksikan Indonesia lima tahun ke depan menjadi begitu menakutkan. Terutama umat Islam. Menghina para peserta sebagai peserta berbayar seratus ribu per kepala dan adanya penggiringan kepada umat yang jutaan yang rela meninggalkan kenyamanan rumah dan capek berjalan berkilo-kilo meter adalah sebuah insinuasi yang akut.
Mengapa mereka rela menghabiskan waktu dan biaya yang mungkin hingga ratusan atau jutaan rupiah untuk sebuah acara reunian?
Lihat tajuk mereka, tajuk mereka adalah kemarahan atas ketidak-adilan yang kasat mata didepan mereka dan membungkus kemarahan mereka dengan berkumpul menguatkan harapan atas perubahan di Republik ini. Umat telah sampai pada keputusan untuk bergeser dari era persekusi, era kriminalisai dan era hipokrasi kepada era penegakan hukum yang tidak tebang pilih, perlakuan yang sama di depan hukum dan tentu saja kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.
Mengapa Prabowo hadir?
Sinyal ini sudah menunjukkan alamat harapan dilabuhkan, jangan marah dengan pilihan umat ini. Sesumbar kita tentang demokrasi bukan sekedar jargon dan pepesan kosong. Perbedaan penafsiran tentang menuju Indonesia yang berkeadilan dan berkemakmuran bagi seluruh rakyat adalah sebuah keniscayaan. Apalagi aplikasi untuk meraihnya. Opsi umat kepada Prabowo-Sandi adalah sebuah hak bernegara. Sebuah hak berdemokrasi, katanya.
Sekaligus aksi kemaren kian meneguhkan bahwa upaya penggiringan persepsi umat bahwa kemulyaan islam dapat disandarkan kepada Ma'ruf Amien tidak seperti yang diharapkan. Apalagi mantan politisi PKB dan PPP ini telah bertransformasi untuk kembali kepada bentuk awalnya, yakni politikus yang lumrah mengedepankan will to power, keinginan untuk berkuasa. Salah? Tidak, tapi menyodorkan nama besar pria sepuh ini tidak sampai kepada momen gayung bersambut. Usaha malu-malu penggunaan politik identitas pun gagal total. Mungkin karena kubu rezim dahulu pernah meludahkan penggunaan format cara berpolitik seperti itu.