Widodo also adopted Yudhoyono's cattle chicanery, part of an economic  self-sufficiency program in which, with little planning and a lot of  wishful thinking, Indonesia was hoping to produce all its own beef,  rice, sugar, corn and soybeans.
      Â
 Â
In 2015, it was proudly announced that the proportion of beef imports  to total consumption had dropped from 31% to 24%, without anyone noting  that Indonesians were eating just 2.7 kilograms a year, the lowest per  capita rate in the region.
Di kutip dari http://www.atimes.com/article/widodos-smoke-mirrors-hide-hard-truths/
*****
Seorang jurnalis senior, John Mc Beth menuliskan dengan gamblang tentang carut marut organisasi yang di pimpin oleh Jokowi dalam mengelola Indonesia. Terlebih lagi suami dari wartawati senior Tempo ini berulang menyebutkan eksisnya tim Spin Doctor alias juru propaganda yang di kelola Istana. Penulis dengan pede menyebutkan tim propaganda tersebut adalah  --semisal-- situs odong-odong yang di penuhi puja-puji, seword.com. Atau beberapa spinners seperti Desi alias Deni Siregar, Dede Budhyarto, Ulin Yusron dan sejumlah selebritas layar kaca seperti Rosiana Silalahi dan Najwa Shihab.
Juru propaganda ini yang dituliskan di dalam artikel Mc Beth tersebut bertugas memoles aksi-aksi Jokowi bak trik sulap yang terkenal yang biasanya menggunakan efek asap untuk menciptakan efek dramatis. Sulap adalah seni melakukan sebuah aksi tipuan yang sebenarnya "tidak ada" terkesankan "ada". Perhatikan ekspresi dan lontaran pernyataan Rosi di Kompas TV tentang bagaimana hebatnya Jokowi atau Najwa yang dengan lancung berusaha membangun imej yang sedemikian rupa kepada para kritikus kebijakan Jokowi atau mereka yang berseberangan dengan Jokowi.
"Facilitated by a largely unquestioning media, Indonesian President Joko  Widodo's government has become a master at the game of smoke and  mirrors, which in its simplistic form is all about convincing the public  that things are happening when they really aren't."
Lagi-lagi, Mc Beth tanpa ampun menyebutkan rezim ini dibekingi oleh beberapa media besar, sebut saja Media Indonesia, besutan Surya Paloh, Gramedia dengan Kompas dan --ehem-- Kompasiana-nya serta beberapa media online. Media-media tersebut sepertinya sangat bertanggung jawab dengan hasil produksi mereka, media darling yang berubah menjadi orang nomor satu tersebut. Sungguh jika publik fokus dan bersikap dengan obyektif untuk menilai sejumlah indikator, maka prestasi yang digaung-gaungkan sedemikian rupa (baca: spin doctor) oleh para juru propaganda yang di maksud oleh Mc Beth hanyalah merupakan fatamorgana dan personal branding yang nyaris kadaluarsa.
Bagi penulis kepergian Jokowi bahkan ke Afghanistan dan di sorot pula --misalnya-- saat menjadi imam dari shalat yang sirr alias tidak dibutuhkan pengucapan yang di jahr-kan (baca: dibaca dengan volume yang dapat didengar oleh makmum) adalah sebuah tindakan repetitif yang diharapkan mampu mendongkrak kembali pesona dan elektabilitas dari Jokowi sebagaimana dulu di masa kampanye pilpres tahun lalu. Padahal Afghanistan sepertinya sudah tidak lagi memiliki pesona politik selain romantika islamis semata. Dan pemilihan Afghanistan sepertinya terkait dengan isu-isu yang tengah booming di Indonesia yakni tentang keberpihakan kepada Islam atau Jokowi adalah bagian dari Islam itu sendiri. Basi!
Hal-hal yang substantif sepertinya tidak mungkin lagi dapat dilakukan oleh Jokowi menjelang 2019. Tim sukses termasuk para juru propaganda harus lihai dan taktis menyusun program "peningkatan" kembali pesona Jokowi. Impor beras menjelang panen raya, gizi buruk di Asmat, jalur kereta api cepat Jakarta-Bandung yang mulai berbau bangkai karena mangkrak plus ide Tjahjo Kumolo yang panik agar dua basis provinsi  "penentang" Jokowi , Jawa Barat dan Sumatera Utara yang akan membuat situasi semakin tidak menentu menjelang 2019 dengan memaksa Polri kembali berpolitik praktis.
"While not new, the official obfuscation and embellishment of the truth  has become more apparent as the 2019 legislative and presidential  elections approach and Widodo and his palace spin doctors perceive the  need to display his accomplishments"
Artikel nyinyir Mc Beth ini semakin membantu publik untuk melihat Jokowi lebih lengkap dan tidak terjebak oleh publikasi dari media-media yang terperangkap dalam aroma keberpihakan kepada penguasa dan bukan kepada tujuan jurnalisme yakni memenuhi hak-hak warga negara untuk mendapatkan berita yang benar dan akurat dan bukan berita yang dipelintir (spin) untuk kepentingan propaganda kepentingan kelompok tertentu.
Salam Ujung Jari!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H