Mohon tunggu...
Imam Prasetyo
Imam Prasetyo Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penyuka Berudu atau Kecebong, makhluk hidup yang sedang menuju transformasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengenal Lebih Dekat Kodok dan Kecebong

12 Oktober 2017   09:36 Diperbarui: 12 Oktober 2017   09:50 11699
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
siklus metamorfosis dari telur kodok hingga menjadi kodok

Pada saat mulai menetas, kecebong akan makan terus menerus. Bahkan mereka memakan apa saja yang tersisa dari telur mereka. Itulah yang akan menjadi makanan pertama mereka. Kecebong katak dan kodok memakan tumbuhan seperti alga dan gulma. Bahkan mereka bisa memakan kecebong lain apabila tidak menemukan makanan untuk dimakan.

Proses transformasi menjadi kodok ini pada awalnya akan menumbuhkan kaki belakangnya terlebih dahulu. Dalam beberapa minggu ke depan, kaki depan mereka akan mulai tumbuh. Hewan ini juga akan mulai menumbuhkan tulang belakang setelah berhasil menumbuhkan angggota gerak bagian depannya. 

Dari gambar diatas tidak terlihat penampang atau batang otak
Dari gambar diatas tidak terlihat penampang atau batang otak
Ketika mulai tumbuh dewasa, mulut mereka akan jadi membesar. Mata mereka pun akan jadi lebih menonjol. Ketika tangannya mulai tumbuh, maka ekor berudu ini akan memendek sampai akhirnya ekor yang dimilikinya akan menghilang. Karena kecebong ini adalah tahapan dari hewan amfibia, maka tempat hidupnya ini juga di tempat yang basah atau berair, seperti habitat katak berekor yang akan berkembang.

Kodok dan katak hidup menyebar luas, terutama di daerah tropis yang berhawa panas. Makin dingin tempatnya, seperti di atas gunung atau di daerah bermusim empat (temperate),  jumlah jenis kodok cenderung semakin sedikit. Salah satunya ialah  karena kodok termasuk hewan berdarah dingin, yang membutuhkan panas dari  lingkungannya untuk mempertahankan hidupnya dan menjaga metabolisme  tubuhnya.

Hewan "berdarah dingin" (ektoterm) berarti suhu tubuhnya menyesuaikan  dengan kondisi lingkungan, sementara hewan "berdarah panas"  (endotermik) memiliki suhu tubuh internal yang relatif tetap oleh  mekanisme homeostatis. Dan bukan dalam arti yang kerap kita sandarkan kepada pembunuh yang tidak menampilkan ekspresi takut atau was-was.

Istilah  berdarah dingin bukan berarti hewan tersebut secara harfiah memiliki  darah yang dingin, melainkan istilah ini mengacu pada temperatur tubuh  yang bervariasi menyesuaikan dengan faktor lingkungan. Maka dalam sebuah percobaan, se-ekor kodok yang dimasukkan ke dalam wadah yang semula berisi air dengan temperatur 10 derajat dan secara pelan-pelan berangsur dinaikkan suhunya hingga bahkan mencapai titik didih tidak akan membuat kodok blingsatan dan reaktif. Konon kabar kodok tersebut mati tanpa reaksi apapun.

Bunyi kodok yang bersahutan-sahutan di malam yang basah sehabis hujan memang terkadang menimbulkan sensasi yang cukup inspiratif dan tak heran rasanya jika ada beberapa dari kita berniat atau bahkan memelihara puluhan kodok untuk dapat merasakan sensasi tersebut. Kodok dan kecebong adalah bagian yang diberikan oleh Tuhan Sang Pencipta Alam semesta.

Bahkan seorang anak bertanya kepada bapaknya, apakah boleh membunuh kodok atau kecebong yang tampak menjijikkan tersebut?

Artinya : dari Abdur Rahman bin Utsman Al-Qurasyie radhiallahu 'anhu :"  bahwa seorang tabib bertanya kepada Rasulullah shallawahu 'alaihi wasallam tentang katak yang dijadikan obat, lalu Beliau melarang untuk  membunuhnya "Hadits dikeluarkan oleh Imam Ahmad dan dishahihkan oleh Al-Hakim. Dan dikeluarkan oleh Abu Dawud dan Nasa'ie.

Salam Ujung Jari!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun